Methamphetamine

18.6K 3.1K 1.7K
                                    

Hari terus berganti dan tanpa Jeno sadari ia telah menghabiskan lebih dari satu bulan waktunya di Agartha, menikmati tiap dentingan jam yang mengalun lemah seolah menemani kebersamaannya dengan sosok manis berhati lembut seperti Renjun. Jeno tidak tahu apa yang sedang keluarga dan teman-temannya lakukan, mencarinya kah atau malah tidak menyadari kalau ternyata ia menghilang dan menyangka mungkin saja ia memenangkan diri di pelosok negeri setelah patah hati.

Ya, Jeno akan mengakui kalau ia begitu sakit hati saat tahu Jaemin mengandung anak dari laki-laki lain disaat ia menjaga hatinya, menjaga kesetiaannya walau hubungan mereka terasa begitu hambar. Cintanya telah lenyap, entah kapan itu terjadi namun baru Jeno sadari, tapi bukan berarti rasa kecewa dan marahnya dapat terlupakan begitu saja hingga ia dapat langsung berdamai dengan rasa sakitnya. Terkadang Jeno berpikir jika ia kembali ke permukaan satu atau dua tahun lagi, apakah ia akan melihat Jaemin bahagia bersama laki-laki pilihannya dengan sosok kecil diantara mereka dan apakah Jeno mampu tersenyum sambil mengulurkan tangan memberi selamat?

Entalah, Jeno pun tak tahu.

Tuk..

Jeno menatap secangkir teh chamomile hangat yang kini ada di depannya disusul sepiring biskuit gandum bertabur kismis, ia tersenyum sebelum melahap satu keping biskuit dengan senyum seadanya.
"Seperti biasa.." Jeno mendongak hingga mata tajamnya bertemu tatap dengan mata rubah nan menggemaskan milik Renjun.

"Manisnya pas, tidak seperti pembuatnya."

Renjun melotot kesal pada sang dominan, "menurut mu aku pahit, begitu?"

Jeno terkekeh, "tidak.. manisnya hanya terlalu tidak manusiawi."

Renjun merotasikan matanya malas, namun warna kulitnya yang mulai memerah tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa ia tersipu malu.
"Aku hanya memberi mu gula tambahan untuk berpikir."

Kali ini Jeno yang menyerit, apa Renjun tahu kalau Jeno mulai tumpul sejak tidak menggunakan otaknya untuk berpikir kritis seperti biasanya.
"Maksud mu?"

Renjun menghela napas sebelum kembali sibuk di depan wastafel untuk mencuci piring secara manual. Beberapa peralatan rumah itu tidak dapat berfungsi karena program yang dipasang di rumah mereka mengalami kerusakan dan Jeno berencana mengupgrade program itu agar Renjun tidak kesulitan, namun karena semuanya butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya dapat digunakan maka terpaksa Jeno harus merelakan tangan Renjun terkena air dan sabun cuci piring.

"Renjun, aku bertanya.. kenapa malah pura-pura sibuk mencuci piring."

Alis Renjun menukik tajam, "pura-pura kata mu? Astaga.. siapa manusia yang tadi malam diam-diam makan kue coklat, menghanguskan teflon dan menegak bergelas-gelas lemonade dingin hingga piring kotor menumpuk seperti ini.."

Jeno hanya bisa meringis, tidak jadi mengajukan protes pada Renjun saat submisif berparas ayu itu mulai memasuki mode galak.
"Renjun kau tahu Tamako Nobi"

Renjun menghela napas. "Tidak, kenapa?"

"Kau mirip dengannya ketika mengomel."

"Aku tidak akan mengomel kalau kau tidak menyebalkan. Berkali-kali aku ingatkan kalau cuaca semakin dingin dan kau bisa terkena flu, tapi masih saja meminum lemonade.. sekali lagi kau minum lemonade dingin tengah malam, aku bakar kulkas ini."

Jeno menghela napas lalu mencebikkan bibirnya, tidak sanggup melawan Renjun yang sudah beraura hitam, "iya aku salah, maaf."

Keheningan membungkus mereka berdua setelah gumaman Renjun terdengar samar, tidak ada yang mengeluarkan suara sedikitpun karena Jeno kembali sibuk dengan pemikirannya dan Renjun fokus dengan kegiatannya mencuci piring. Renjun yang sadar dengan keterdiaman Jeno yang tidak wajar kembali membuka suara walau tangannya masih sibuk membersihkan piring dan gelas.

AGARTHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang