Beberapa lampu stadion menjadi satu-satunya sumber cahaya di lapangan pada malam musim semi terakhir ini. Di antara suara riuh para pendukung dan anggota marching band di tribun, serta gadis-gadis pemandu sorak di pinggir lapangan, aku bisa melihat bagaimana sekumpulan lelaki berbahu besar, bercelana ketat yang memamerkan keindahan otot kaki mereka, dan mengenakan helm sedang berusaha berebut bola rugby.
Namun, dari semua pemandangan serta keriuhan di stadion, hanya ada satu bintang paling bersinar di mataku. Sosok yang memiliki tubuh tinggi tegap, rambut cokelat berkilau, serta ekspresi penuh tekad terpancar jelas setiap kali bertanding, dan dia adalah ....
Aiden Kowalsky.
Lelaki yang sejak tahun pertama berhasil mencuri hatiku, tetapi belum mampu meyakinkanku untuk menyatakan perasaan padanya.
Dan ... oh, jangan bertanya tentang alasan mengapa Aiden belum mampu membuatku yakin untuk menyakatakan perasaan. Sebab aku sendiri pun, juga tidak mengetahui kenapa bisa merasa puas dengan hanya menyukai Aiden secara diam-diam.
Yeah, atau mungkin akunya saja yang tidak terlalu menyukai orang-orang populer di mana sialnya, Aiden adalah salah satu dari mereka.
Jackson berkata, "Aku tidak mengerti bagaimana para pemandu sorak bisa berteriak, sambil menari di waktu bersamaan dan itu dilakukan secara terus-menerus. Maksudku, mereka terlihat memiliki energi melebihi manusia biasa."
"Apa kau secara tidak langsung mengatakan bahwa gadis-gadis seperti kami terlalu biasa?" tanya Alma dengan nada ketus akibat ungkapan Jackson barusan.
"Kurasa tidak."
"Benar. Tapi kenapa justru kau yang menjawab?"
Aku melihat aksi protes Alma akibat ucapanku yang seharusnya dikatakan Jackson. Topi berbulunya pun ikut bergoyang sebab terdapat tekanan dari setiap kata yang ia sebutkan barusan. Namun, karena tidak ingin merusak fokus, aku menolak untuk menjawab--apalagi mendebat--dan kembali menatap ke arah sosok bintang lapanganku.
Setengah mendengar, bisa kuketahui bahwa Jackson serta Alma sedang berdebat mengenai kelompok pemandu sorak lalu beralih pada para atlet dan terakhir, pada tim kami--marching band--yang penampilan tidak pernah menjadi sorotan visual karena sama sekali tidak seksi atau pun tampan nan cantik. Kenyataan pahit, memang, di mana hal tersebut menjadikan kami harus berusaha ekstra, demi memberikan penampilan luar biasa melalui seni musik dan atraksi.
Alma mengatakan bahwa menjadi anggota marching band bukanlah hal yang mudah. Sama seperti pemandu sorak, kita diharuskan mampu membagi fokus yaitu; fokus penglihatan agar tidak menabrak saat mengubah formasi, menghitung langkah dalam benak agar serempak, memainkan alat musik tanpa mengintip not, serta mengingat isyarat yang diberikan oleh mayoret. Aku setuju dengan pemaparan Alma barusan, tetapi belum cukup kuat untuk mengalihkan perhatianku karena suasana stadion terlalu bising dan netraku hanya diizinkan fokus pada sang bintang lapangan, Aiden.
Dari tribun penonton, aku bisa melihat bagaimana Aiden menangkap bola rugby dengan begitu keren, menahan tubuh agar tidak jatuh saat lawan menabrak pundaknya, serta seberapa gesit ia berlari demi mempertahankan rugby agar sampai di garis akhir di bagian belakang sisi lapangan tim bertahan dan ....
... aku berteriak sekencang-kencangnya. Bersama para suporter dari Santa Monica High School dan para pemandu sorak pun berseru mengucapkan 'Go Tiger' (yang aku sendiri tidak begitu mendengar apa saja perkataan mereka) sambil menyebutkan nama Aiden. Tentunya.
Aku yang memegang saxophone pun tidak ingin ketinggalan memeriahkan keberhasilan Aiden dengan cara meniupkannya sekuat tenaga, lalu berteriak lagi menyambut keberhasilan Aiden dalam mendapatkan touch down.

KAMU SEDANG MEMBACA
After Aiden Kissed Me
Teen FictionMegan diam-diam menyukai Aiden dan tidak pernah sekali pun memimpikan untuk berkencan dengan sang Bintang Lapangan. Namun, bagaimana jika satu ciuman di tengah lapangan, ternyata malah membuat Aiden secara tiba-tiba mengklaim Megan sebagai miliknya...