03. The Nightmare

324 53 3
                                    

Nadisa menapakkan kakinya di atas rerumputan. Terus saja berjalan mengikuti setapak yang seakan tak berujung. Hingga sebuah suara yang sangat familiar baginya tiba-tiba menyapa.

Suara Johnny. Ayahnya.

"Disa! Tolong Ayah! Disa!"

Nadisa tersentak kaget. Langsung menolehkan kepalanya ke segela arah. Tapi sejauh matanya memandang, hanya ada hamparan hijau rerumputan.

"Ayah ada di mana?! Ayah jawab Disa! Ayah!"

"Tolong Ayah, Disa!"

Nadisa berlari sekuat tenaga. Mengikuti sumber suara yang sebenarnya entah ada di mana. Wajah cantiknya sudah dihiasi keringat. Benar-benar panik mencari eksistensi sang Ayah.

Lalu suasana di sekitar Nadisa berubah. Yang awalnya terang benderang tiba-tiba saja meredup. Seakan malam telah datang. Menelan sang gadis yang masih sibuk berlari menyongsong suara ayahnya.

Hingga kemudian, Nadisa tiba di ujung jalan setapak. Menghantarkannya menuju sebuah jurang. Lalu mendapati Johnny tengah berpegangan pada akar tumbuhan di sana. Berusaha bertahan agar tidak terperosok menuju jurang yang seolah tak berdasar. Gelap.

"Ayah!" Nadisa berteriak kencang. Ia segera memegang tangan sang Ayah. Berusaha sekuat tenaga menariknya.

Tapi sulit. Tubuh Johnny yang besar membuat Nadisa kesulitan untuk menariknha.

Johnny pun sudah kehabisan tenaga. Tangannya mulai melemah. Hingga akhirnya ia berkata dengan lirih, "Disa, Ayah sudah lelah... Disa bisa lepaskan Ayah. Ayah takut Disa ikut jatuh bersama Ayah..."

Nadisa menggelengkan kepala sekeras mungkin. Air mata meleleh dari sisi-sisi matanya. Bahkan beberapa tetesnya jatuh menuju pipi Johnny yang masih berpegangan di tepi jurang.

"Disa nggak mau sendirian! Jangan tinggalin Disa! Disa nggak mau kehilangan Ayah!"

Johnny tersenyum lemah. Tangannya perlahan kehilangan pegangan. Sudah benar-benar pasrah akan keadaan.

"Selamat tinggal, Disa..."

Lalu Johnny melepaskan tangan Nadisa dari lengannya. Membuat Johnny terperosok masuk ke jurang. Hilang ditelan pekatnya kegelapan.

"AYAAH!!!"

Nadisa Tirta Sanjaya terbangun dari tidurnya. Mendapati dirinya masih berada di atas ranjang. Mengenakan setelan piyama panjangnya yang berwarna biru gelap.

Helaan napas lega keluar dari bibir Nadisa.

"Syukurlah hanya mimpi..."

Netra kelam milik Nadisa bergulir menuju jam dinding di sudut kamar mewahnya. Kini, jam itu menunjukkan pukul tiga pagi. Baru dua jam berlalu sejak pesta ulang tahunnya berakhir.

Hati Nadisa terasa tidak tenang.

Nadisa bangkit dari ranjangnya. Membawa serta boneka beruang favoritnya. Ia hendak berkunjung ke kamar Johnny. Berniat meminta maaf pada ayahnya. Sekaligus memaksa sang Ayah untuk menemani sisa tidurnya.

Nadisa melangkahkan kaki mungilnya. Menyusuri satu per satu langkah menuju kamar tidur ayahnya yang juga berada di lantai dua, tapi berada di sisi lain kediamannya.

***

Jevano Lee berjalan keluar dari kamarnya yang berada di lantai satu kediaman Tirta Sanjaya. Hendak berkeliling untuk memeriksa keadaan. Juga untuk mengisi waktu luangnya lantaran insomnia yang mendadak menyerang.

Angin malam menjelang pagi yang dingin menyapa kulit putih Jeno. Membuat lelaki keturunan Korea itu mengeratkan jaket denim yang ia kenakan.

Kedua matanya berpendar. Memandangi sekitar.

In Another Life || Jeno LeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang