Bibi melangkahkan kakinya untuk memasuki kediaman Tirta Sanjaya. Hendak mengemas barang-barang miliknya, kemudian angkat kaki dari rumah ini.
Baru beberapa langkah Beliau jejaki, tetapi aroma besi yang menyengat langsung menyapa indra penciumannya. Pun kedua netranya dapat melihat jasad yang bergelimpangan di depan sana. Lengkap dengan liquid berwarna merah pekat yang menggenangi tubuh mereka.
"T-tolong..."
Suara yang lemah itu berhasil membuat Bibi menghentikan langkah. Mencari sumber suara yang ternyata berada di tengah ruang tamu megah ini.
Ah, ternyata sang Tuan Muda.
Narendra Sanjaya.
Bibi menggelengkan kepala. Berniat melanjutkan langkah kakinya. Toh Beliau tahu jelas bahwa sang Narendra adalah dalang dari semua bencana ini. Sudah sepantasnya ia terluka, bahkan mati.
Iya, 'kan?
Iya ... 'kan?
"Sakit... Bunda... Tolong segera jemput Nana..."
Bibi kembali menghentikan langkahnya. Kemudian menoleh ke arah sumber suara.
***
Cahaya mentari mulai menerobos gorden di kamar itu. Memaksa Narendra Sanjaya untuk membuka mata. Lalu menyadari bahwa dirinya sudah berada di salah satu ruangan di kediaman mewah milik pamannya. Bukan lagi terbaring di lantai ruang tamu yang dipenuhi darah.
Narendra meringis kecil tatkala merasakan perih di kaki kirinya.
Lelaki itu menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu mengetahui bahwa luka di sana telah terbalut rapi dengan perban. Mungkin pelurunya juga sudah dikeluarkan.
"Anda sudah bangun, Tuan?"
Suara keibuan itu terdengar. Mengalihkan perhatian Jaemin dan membuatnya menyadari keberadaan sang wanita paruh baya. Itu Bibi pelayan Nadisa.
"Anda yang menyelamatkan saya?"
"Iya, Tuan. Nurani saya sebagai manusia ... tidak mampu membiarkan Anda meregang nyawa."
Entah itu sindiran atau bukan, tapi Narendra Sanjaya merasa batinnya sedikit tercubit. Hingga ia berdehem kecil, menetralkan perasaannya.
"Bagaimana dengan yang lainnya?"
"Banyak yang tidak dapat diselamatkan, Tuan."
"Jeffrey Jung?"
"Beliau masih selamat, meski kondisinya sangat parah. Ada sebuah peluru yang nyaris mengenai jantungnya. Masih bersarang di sana."
Narendra Sanjaya kemudian menghela napas pelan. Memejamkan mata selama beberapa saat. Seperti tenggelam dalam pikirannya.
"Tuan," panggil Bibi. Serta merta membuat Jaemin menoleh lagi. "Maaf jika saya lancang. Tapi, saya ingin berhenti bekerja. Tuan Besar sudah tiada, begitu juga Nona Disa. Jadi saya ... tidak punya alasan lagi untuk bertahan."
Narendra menatap lurus pada wanita paruh baya itu. Dapat dengan jelas merasakan gelagat gugup dari Bibi. Kentara bahwa Beliau sedang menyembunyikan kegelisahannya.
Padahal itu tidak berguna.
Nyatanya, Narendra Sanjaya telah mengetahui semuanya.
Malam tadi, tepat ketika Narendra hendak memasuki kamar Johnny, matanya tanpa sengaja melihat sosok Bibi. Tengah bersembunyi di balik tembok yang dekat dengan tangga. Sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan menyelidik. Juga dipenuhi ketakutan, karena Bibi dapat melihat dengan jelas:
KAMU SEDANG MEMBACA
In Another Life || Jeno Lee
RomansaMalam itu menjadi titik balik dari kehidupan Nadisa yang amat sempurna. Malam di mana orang yang ia cinta justru memilih untuk mengkhianati keluarganya. Membuat Nadisa Tirta Sanjaya kehilangan ayahnya dan seluruh kekayaannya. Pun hanya menyisakan sa...