"Kita mau kemana, sih?"
Willy menoleh cepat. Suara deru mesin kendaraan terdengar bersahut-sahutan.
"Apaan? Gak denger!" seru Willy keras, mengimbangi riuh suara yang ada di sekitarnya.
"Kita mau kemana?!" Lei mengulang pertanyaannya. Kali ini ia mencondongkan kepalanya ke depan sampai dagunya menyentuh bahu Willy lalu mengeraskan suaranya. "Terus, ini kita naik motor siapa?!"
"Jalan-jalan aja! Pengin muter-muterin Surabaya sama lo!" jawab Willy tidak kalah keras.
"Terus?"
"Apa?"
"Ini?" Lei menghela napas, semakin sebal. Dari dulu, ia paling tidak suka mengulang kembali pertanyaan yang sudah ia katakan. Tidak tahu kenapa, menyebalkan saja. Apalagi saat ini, Lei sedang dalam mood tidak baik. "Motor siapa yang lo pake?"
"Yang kita pake, Lei," ralat Willy seraya tertawa renyah.
"Yang salah siapa?"
Nah, kan. Mulai lagi.
"Iya, gue yang salah. Ini motor gue yang dulu-dulu. Jarang gue pake, soalnya lo bilang gak mau naik motor yang jok belakangnya naik," jelas Willy.
Capek berteriak setiap menjawab untuk mengimbangi suara riuh lalu-lalang kendaraan di sekitarnya, Lei memilih untuk lebih merapatkan duduknya. "Terus kenapa dipake lagi kalo udah tau gue gak suka motor yang jok belakangnya naik gini?"
"Disuruh Caren, katanya biar romantis terus lo gak marah lagi." Willy terkekeh di balik helm hitamnya. "Padahal gue udah bilang lo gak suka motor ini soalnya jok belakangnya tinggi."
"Tapi gue masih marah!"
"Iya, gak apa-apa. Gue tungguin lo sampe gak marah lagi."
Lei cemberut kemudian berdecih. "Ditungguin doang, gak dibujuk."
"Gue gak pinter ngerayu, Lei."
"Dibujuk, bukan ngerayu!" koreksi Lei.
Helm Willy bergerak, menoleh ke belakang singkat. "Sama aja."
"Lo gak romantis banget, sih!" dengus Lei seraya memukul punggung Willy pelan, menarik dirinya sendiri agar lebih menjauh dari Willy.
Tidak sakit. Pukulannya lebih pelan dari biasanya. Willy diam-diam tersenyum di balik helmnya. Ternyata meski Lei masih marah, cewek itu tetap mendengarkan kata-katanya kemarin.
"Kenapa duduknya jauhan?" tanya Willy.
Lei mendekatkan kepalanya lagi. "Apa?"
"Gue tanya, kenapa duduknya jauhan?"
"Soalnya gue masih marah sama—eh!"
Tubuh Lei tiba-tiba saja terhentak ke depan. Beruntung sekali kepalanya dilindungi helm. Jadi, kepalanya tidak begitu sakit ketika terbentur dengan helm yang Willy kenakan. Kaca helm Lei sampai turun karena ulah Willy yang mengerem motornya secara mendadak.
Gadis yang saat ini mengenakan celana jins hitam dan kaus berwarna hijau lembut lengan panjang itu menaikan kaca helmnya. "Apaan, sih? Sengaja?!"
"Lampu merah, Lei." Kali ini Willy berani menoleh ke belakang lebih lama, karena angka yang tertera di papan lampu merah cukup besar.
Willy tersenyum tipis, memandang Lei yang justru melayangkan pandangannya ke tiang lampu merah di depan. "Ya jangan mendadak kalo mau berhent—lo jangan senyum-senyum!"
"Kenapa?" Buru-buru Willy mengerutkan dahi, memudarkan lengkungan di bibirnya begitu Lei mengatakan itu.
Nanti gue gak tega ngambekin lo, panjul, batin Lei—benar-benar merutukki kebodohan Willy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Talkzone
Teen Fiction"Lo terlalu sempurna, Pacar." "Gak ada manusia yang sempurna." "Pacar, tiba-tiba gue takut kehilangan lo." "Kenapa?" "Lo terlalu 'wah' buat gue yang terlanjur 'yah'." "Apaan, sih? Diajari siapa gombal gitu? Jelek tau." "Pacar, jujur sama gue. Pasti...