Hingga bus kedua telah meninggalkan Jungkook di sebuah halte. Pria itu masih terdiam memikirkan percakapannya dengan sang ibu tadi pagi sebelum ia berpamitan untuk menghadiri tes.
"Jungkook.. mengertilah nak Ayahmu melakukan itu untuk kebaikanmu. Selagi melanjutkan magister kau bisa bertunangan dengan Rose. Itu tidak akan mengganggu dan menjadi masalah", jelas ibu Jungkook
Jungkook tersenyum remeh "Kebaikan seperti apa yang Ayah maksud untukku, dari dulu Ayah hanya menyuruh kita untuk tidak membuat pergerakan. Memastikan kita aman menutup rapat kebohongan Ayah", senyum kecil itu beralih menjadi sebuah tatapan dingin.
"Kau bisa mengesampingkan yang itu tapi setidaknya lihatlah Rose ia adalah gadis yang baik, sayang"
"Tapi aku tidak mencintainya", perkataan Jungkook singkat sambil berlalu dari kamar sang ibu.
Jungkook tak habis pikir, meskipun jika dihadapkan pada pilihan antara memilih Ayah atau Ibunya, sudah mutlak ia akan memilih bersama Sang Ibu, bagi Jungkook itu bukan sebuah pilihan.
Namun selama ini mengapa kedua orang tersebut seolah memiliki perspektif pikiran yang sama--ah tidak, Ibunya lah yang selama ini terlalu mencintai Ayah Jungkook hingga mengiyakan setiap kata yang keluar darinya.
Apalagi saat hal tersebut dibumbui dengan dalih demi kebaikan Jungkook, tidak ada alasan bagi sang ibu untuk menolaknya dan berakhir dengan Jungkook yang luluh pada permintaan sang ibu.
Namun Jungkook tidak membiarkan untuk kali ini.
Hingga bus ketiga datang, Jungkook tetap pada prinsip bahwa 'ya mungkin Ayahnya telah mencukupi seluruh kebutuhan ia dan ibunya selama ini bahkan hingga ia bisa lulus kuliah tanpa kesusahan
tapi tidak dengan meminta balasan untuk menjodohkan ia dengan anak sesama rekan bisnis ayahnya, itu terlalu lucu bagi Jungkook.
Lalu yang memuakkan adalah alasan semua ini untuk kebaikannya, tentu Jungkook bukan remaja puber yang polos tentang semua itu.
Jungkook paham betul.
Ya, kini Jungkook telah paham, ini hidupnya lagipula bila nanti ia salah jalan hanya ia yang bisa merasakannya.
Semua rasa sakit dan hati yang mengalah, sudah Jungkook lewati selama ini. Mengapa itu tidak berlaku untuk nanti?
Dia berhak memutuskan apapun untuk hidupnya.
Jungkook kemudian mantap melangkahkan kaki menuju bus ketiga yang datang, ia tak akan melewatkannya lagi.
Bus telah melaju membelah padatnya kota pagi itu, Jungkook yakin saat sampai disana dia sudah pasti terlambat, tapi bukan Jungkook kalau ia menyerah dengan sesuatu sebelum mengetahui apa masih ada peluang bagi dirinya.
Bergumam seperti itu mengingatkan Jungkook saat pertama kali mengetahui posisinya, posisi sang ibu dan ayahnya.
Mungkin perasaan tidak mudah menyerah pada diri Jungkook waktu itu adalah salah satu sifat yang ia sesalkan.
Berawal saat mengetahui mengapa ayahnya tidak bisa tinggal bersama Jungkook dan ibunya, membuat lelaki kecil berusia 10 tahun kala itu nekat membuntuti ayahnya menggunakan taxi yang ia bayar dari hasil jerih payahnya menyisihkan uang saku setiap hari.
Sampai pada akhirnya pemberhentian taxi tersebut mengantarkan Jungkook pada salah satu wahana bermain terkenal di Seoul.
Jungkook kecil heran apakah tempat ini yang membuat ayah jungkook tidak bisa ada di rumah setiap hari.
Atensinya mengunci sosok pria yang berlari kecil, pria yang selalu ia rindukan setiap hari untuk ada bersamanya di rumah.
Sampai pergerakan mata itu berhenti pada satu orang wanita dengan dua anak perempuan yang langsung memeluk sang ayah, ya mereka memeluk ayah Jungkook dengan sangat erat.
Jungkook mengerjapkan mata memastikan bahwa yang dia alami bukanlah mimpi di siang hari, banyak pertanyaan yang ingin ia tujukan untuk sang ayah pada saat itu juga, tapi tubuh jungkook seakan beku dan lidahnya kelu.
Jungkook tanpa sadar menurunkan kaca mobil taxi tersebut, ia ingin mengetahui lebih apa yang sedang mereka bicarakan. Sekilas mereka terlihat seperti keluarga yang sempurna bagi Jungkook.
Samar-samar Jungkook mendengar kalimat dari satu orang wanita yang sepertinya sebaya dengan sang ayah.
"lama sekali, apakah bocah itu yang membuatmu terlambat 30 menit seperti ini", wanita itu terlihat kesal.
"Ayah, aku ingin cepat-cepat membeli bando princess di dalam tapi kata ibu kita harus menunggu ayah dulu", kini gadis kecil yang berada di dalam gendongan ayah jungkook ikut protes, gadis itu lebih kecil daripada anak perempuan satunya yang kini hanya diam sambil memakan lolipop yang ada di tangan kanannya dan Jungkook juga yakin gadis itu lebih tua darinya.
"Baiklah, maafkan ayah yang terlambat, mari segera masuk", kemudian keluarga bahagia tersebut berjalan menuju loket.
Tunggu sebentar, karena hanya fokus melihat keluarga--bahagia tersebut, Jungkook melewatkan sesuatu yang seharusnya dia sadari sejak tadi. Dua gadis itu memanggil ayahnya dengan sebutan 'ayah'? tapi mengapa pada ayah Jungkook? Ditambah wanita tadi menambah perspektif di pikiran Jungkook kecil, walaupun sangat rumit baginya, Jungkook paham situasi apa yang terjadi di depannya baru saja.
Seolah mendapatkan nyawa kembali, Jungkook terkejap saat bus berhenti pada halte pemberhentiannya.
Sudah cukup dengan mengasihani diri sendiri dan menjadi seperti tidak berguna,
Jungkook dengan langkah bersemangat berlalu keluar dari bus dan menuju salah satu gedung yang menjadi tujuannya.
"Akan ku buktikan bahwa aku bisa hidup meskipun jika nanti ayah tak akan lagi menjamin hidupku dan juga ibu, dan ku pastikan bahwa Nyonya Tan menarik kata-katanya mengenai diriku yang ingin mengambil alih dan menguasai perusahaan ayah".
Jungkook menekankan pada tiap kata-katanya dan berakhir dengan ia yang berlari menggunakan kakinya yang panjang menuju sebuah gedung.
Disinilah Jungkook, setelah gagal untuk dapat datang tepat waktu, namun ia masih diberikan kesempatan mengerjakan beberapa soal tes yang diberikan oleh calon perusahaan yang nantinya ia akan menjadi bagian di dalamnya.
Sempat berpikir untuk pesimis mengingat ia adalah fresh graduated tanpa memiliki pengalaman sebelumnya, tapi otak cerdas yang ia miliki membantu Jungkook menyelesaikan banyaknya soal tanpa kesulitan yang berarti.
Ia juga sempat heran, selama menempuh pendidikan mulai bangku sekolah hingga perguruan tinggi Jungkook sama sekali tak menemukan masalah berarti untuk menyesuaikan ritme dengan kesulitan materi-materi yang diberikan.
Jungkook bukannya tidak mencoba peruntungan untuk bisa mendapatkan beasiswa agar tidak terus menerus membiarkan sang ayah membayar seluruh biaya pendidikannya.
Sungguh ia teramat sangat tidak ingin menggantungkan hidupnya pada sang ayah, namun saat hasil dari beasiswa itu keluar tidak ada satupun Jungkook dapati namanya tertera disana.
Ada rasa sedikit kecewa awalnya, mengingat ia tak pernah tidak masuk 2 besar peringkat, atau yang terakhir mungkin saat mengecek transkrip nilai tak ia dapati nilai B+.
Hal itu berlangsung selama Jungkook menempuh pendidikannya sebagai seorang mahasiswa. Jungkook tak sama sekali mencurigai apa ada orang yang ingin menggagalkan dirinya untuk mendapatkan beasiswa.
●●●
Tzuyu harus cepat menyelesaikan pekerjaannya, ya kini Tzuyu membantu Jeongyeon mengecek hasil tes yang tadi telah dilakukan.
Jeongyeon melirik pergerakan kerja Tzuyu. "Jangan tergesa-gesa, akan kupastikan kau tidak telat masuk jam mata kuliah"
"Aku akan memberikan tumpangan", ujar Jeongyeon tanpa beralih menatap komputernya.
Tzuyu tersenyum dengan cantik, meskipun Jeongyeon adalah orang yang dingin dan sebisa mungkin orang-orang tak berurusan dengannya, namun ia memiliki hati yang hangat. Inilah mengapa Tzuyu betah bekerja bersama Jeongyeon selama ini.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
You Deserve Better [JJK & CTY]
FanficApakah karena memiliki perasaan yang sama lantas dua orang dapat dengan mudah bersama? Banyak hal yang yang mendasari. Salah satunya sudut pandang dan pola pikir dari keduanya. Bila hanya salah satu yang menginginkan apa masih bisa bersama? Jungkook...