Bab 1 Bagian 1

38 9 5
                                    

Sudah dua puluh menit aku menyandarkan kepala di atas meja kerja. Mataku tertuju pada layar komputer yang sedari tadi menyala, namun pikiranku melayang entah ke mana. Sesekali aku mengetuk meja kaca dengan ujung kuku jemariku. Aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Terlalu banyak yang membuatku tak selera melakukan apa-apa.

"Lun, muka lo gitu amat?" ejek Bimo.

"Eh, enggak ah, biasa aja," kilahku sambil merubah posisi tubuh dan kembali mengetik pekerjaanku.

Aku melirik ke arah Bimo, sejak kapan dia memperhatikanku. Memang akhir-akhir ini aku seringkali murung dan kurang bergairah bekerja. Mungkin aku perlu istirahat sejenak dari rutinitasku. Pekerjaan ini membuatku bosan, atau ....

"Bosen ya?" bisik Bimo ke arahku.

"Kok lo tau sih, Bim? Haha," aku pura-pura tertawa.

Bimo menepuk bahuku. "Udah ah, gak usah galau. Makan siang, yuk! Ada yang mau titip makanan gak? Gue mau beli makan nih," ucap Bimo sambil menawarkan diri untuk membeli makan siang.

"Nih gue titip makan. Biasa nasi rames aja, ya!" sahut Satria sambil menyerahkan uang dua puluh ribu kepada Bimo.

"Lun, gak mau nitip?" tanya Bimo kepadaku.

"Gak ah, gue bawa makan dari rumah."

"Yaelah, Lun. Makan gitu doang mana kenyang?" kata Bimo sambil menunjuk bungkusan bubur bayi rasa beras merah, yang ada di atas meja kerjaku.

"Bodo ah! Gue diet!"

"Hahahaha, gak banget sih jadi cewek. Timbangan naik sekilo aja udah langsung diet," pungkas Bimo sambil berlalu pergi.

Aku memicingkan mata ke arah Bimo. Dasar lelaki banyak bicara, gumamku. Dia tidak paham, kalau beberapa perempuan akan menjadi malas makan jika hatinya sedang patah. Aku menghela nafas panjang. Hmmhhhhh ... Patah hati. Betul sekali. Mungkin aku tidak bergairah bekerja karena hal itu.

Aku mengambil ponselku dari tas dan melihat kembali isi pesan terakhir yang dituliskan Hanif, mantan pacarku.

[Lun, maaf. Kita sepertinya harus berakhir di sini. Aku gak bisa terus melanjutkan hubungan ini, karena sampai sekarang aku belum mendapatkan restu dari orang tuaku untuk menikahimu. Ibuku menyuruhku untuk mencari perempuan yang asal usulnya lebih jelas. Aku masih mencintaimu, tapi aku hanya ingin berbakti pada ibuku. Maafkan aku, Lun.]

Cih. Semudah itu dia mengatakannya. Hatiku kembali bergetar, ada sesuatu yang panas, menggenang, hendak turun dari sudut mata. Hubunganku yang terjalin selama tiga tahun, harus kandas begitu saja. Hanya karena statusku adalah anak angkat, kemudian orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami. Dia selalu berdalih, khawatir akan kejelasan nasabku nanti saat ijab kabul, karena aku sama sekali tidak mengetahui keberadaan keluarga kandungku. Aku juga sudah berkali-kali menjelaskan padanya, kalau hal itu bisa diatasi dengan menggunakan wali hakim sebagai waliku yang sah. Namun keluarganya tetap tidak peduli. Dan tentu saja, Hanif lebih memilih keluarganya dari pada aku. Padahal kalau dipikir kembali, apa yang salah dengan status anak angkat? Apa aku bisa memilih dari rahim siapa aku dilahirkan? Apa aku bisa menyalahkan Tuhan karena keadaanku yang seperti ini? Atau barangkali dia memang ingin memutuskan hubungannya denganku, tapi terlalu pengecut untuk berterus terang, sehingga menjadikan hal itu sebagai alasan, agar aku tidak curiga. Entahlah. Pastinya aku harus mencoba sekuat hati untuk melupakan Hanif. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untukku. Cintaku sudah terlalu dalam padanya.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang