Bab 3 Bagian 9

8 1 0
                                    

Kepalaku terus berputar karena pertanyaan yang dilontarkan Bimo kepadaku. Hati dan pikiranku tak karuan. Aku menggigit bibirku dan mencoba memejamkan mata. Aku benar-benar tidak bisa menerima Bimo, untuk menjadi kekasih atau pun calon suami. Bukan karena Bimo buruk. Dia baik, juga tampan. Hanya saja dia bukan tipeku. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk hal itu.

Aku juga tidak mengerti apa yang membuatku tidak menyukainya, padahal dia begitu baik padaku. Ah... Begitu lah cinta. Tidak ada alasan yang pasti mengapa seseorang bisa jatuh cinta, atau malah tidak bisa jatuh cinta, meski sudah diperlakukan begitu baik. Hati bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan.

Beberapa perempuan memiliki tipe lelaki yang berbeda untuk dijadikan pasangan hidup. Ada perempuan yang suka dengan tipe lelaki tampan, kaya, atau bahkan malah ada yang suka dengan lelaki berjanggut tebal, bertubuh gempal, atau berwajah seperti om-om. Sah-sah saja. Dia berhak menentukan siapa lelaki yang cocok untuk menemaninya, baik sebagai kekasih atau pun suami. Termasuk diriku punya hak untuk tidak menerima Bimo. Keputusan itu sudah bulat.

Beberapa kali ponselku berbunyi. Aku tidak berani melihat notifikasi pesan yang masuk. Aku takut itu dari Bimo. Sengaja ku abaikan pesan yang masuk, dan memilih untuk tidur.

Tok... Tok... Tok...

Aku membuka mataku perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Dengan langkah gontai aku membuka pintu kamar. Kulihat Adi berdiri di depan pintu.

"Kenapa, Di?" Aku menggaruk-garuk kepalaku. Dia terlihat kaget melihatku. Mungkin karena aku masih nampak berantakan.

"Ayo, kita diajak makan malam. Pasti belom mandi deh," ucapnya pelan.

"Hehe. Kalo kalian mau pergi, pergi aja duluan. Aku lagi gak enak badan," kilahku padanya. Aku hanya takut bertemu dan melihat wajah Bimo.

"Loh kenapa? Kamu sakit lagi?"

"E-enggak. Maksudku... Hmm... Yaudah deh, bilang tunggu aku, ya. Aku mau mandi dulu," jelasku padanya.

"Oke."

Aku menutup pintu kamar dan segera membersihkan diri. Tadinya aku ingin menolak pergi, tetapi aku pikir, rugi sekali jika kulewatkan kesempatan jalan-jalan ini. Apalagi hanya karena Bimo.

Setelah membersihkan diri, aku langsung berdandan dan bersiap. Aku mengenakan tunik berwarna hitam berbahan kaus, dipadu dengan celana jeans biru gelap dan kerudung berwarna abu-abu. Kemudian aku mengambil ponsel dan dompetku kemudian keluar dari kamar hotel menuju lobby.

Dari sofa lobby hotel, nampak Satria, Bimo dan Adi sudah menunggu. Bimo terlihat canggung ketika dia melihatku keluar dari lift. Dia membuang mukanya ke arah pohon dalam pot yang ada di sebelahnya.

"Mas Jaka mana?" tanyaku pada mereka.

"Ikut Pak Bas ketemu klien. Yuk, di luar udah ditunggu sopir yang tadi jemput kita," ucap Satria sambil bangkit dari sofa.

Aku berjalan mengikuti mereka keluar dari hotel menuju mobil. Aku duduk di depan bersama sopir, sedangkan Satria, Bimo dan Adi duduk di belakang. Selama di perjalanan kami semua diam membisu. Tidak seperti biasanya yang ramai. Kali ini Bimo menjadi lebih pendiam.

Sesampainya di restoran pun kami hanya  bicara ketika memilih menu makanan, selebihnya tak ada percakapan yang terlontar di antara kami. Satria yang menyadari ada yang tidak beres  akhirnya membuka pembicaraan.

"Eh, kok pada diem semua, kenapa nih. Tumben banget."

Bimo melirik ke arahku, aku pun melihat Bimo. Manik mata kami bertemu. Kami berdua nampak canggung. Dia langsung menundukkan pandangan lalu berpura-pura menggaruk kepalanya.

"Gak ada apa-apa kok, Sat," kataku sambil memainkan ponsel.

Adi yang tidak paham apa-apa, memasang wajah konyol. Antara bingung tapi berusaha mengerti. Dia melemparkan senyuman kepadaku, kepada Satria, juga Bimo. Air mukanya seperti orang yang sedang diberi kejutan ulang tahun, padahal bukan hari ulang tahunnya.

Setelah menikmati makan malam, sopir membawa kami berjalan-jalan mengitari kota lalu kembali ke hotel. Sesampainya di hotel aku turun dan izin untuk pergi ke minimarket untuk membeli beberapa cemilan dan yang lain.

"Gue ikut!" Tiba-tiba Bimo berlari kecil mengikutiku ke minimarket.

Bimo membuka pintu minimarket bermaskot semut itu. Aku masuk dan langsung memilih cemilan. Bimo terlihat tak gentar mengikuti langkahku. Sampai akhirnya aku merasa risih.

"Lo ngapain, sih, Bim?"

"Lo gak jawab pertanyaan gue!"

"Gak bisa, Bim. Gue masih trauma. Lo tau sendiri gimana sakitnya gue putus sama Hanif." Aku mengambil keripik singkong dan meletakkannya di atas keranjang.

"Kan gue udah bilang, kalo gak mau  pacaran kita nikah aja sekalian." Bimo memegangi tanganku.

"Gak semudah itu, Bim." Aku kembali melangkahkan kaki mengitari rak-rak besi berisi makanan.

"Bisa kita coba, Lun," ucapnya sambil mengikutiku.

"Bim, please. Gue udah anggep lo sahabat gue, gue gak ada perasaan lebih. Sorry to say, Bim. Tapi gue harus jujur."

Bimo menghela nafas panjang.

"Kalo gue Adi, apa lo bakal terima?"

Aku mendelik ke arahnya.

"Apa hubungannya sama Adi?Ngaco lo, Bim. Gue kenal Adi aja baru." Aku memberikan keranjang belanjaanku pada kasir minimarket.

"Orang jatuh cinta gak perlu waktu kali, Lun. Yang cinta pada pandangan pertama aja banyak. Gue tau kok, lo semenjak Adi dateng jadi aneh. Suka kan lo sama Adi?"

"Apa sih lo, Bim!" hardikku pada Bimo.

Kami akhirnya kembali ke hotel tanpa bicara sepatah kata pun. Aku marah pada Bimo. Aku sangat terganggu dengan pertanyaannya yang terkesan mengintimidasi. Bimo sudah merusak semuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 31, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang