Bab 3 Bagian 1

8 0 0
                                    

Aku terbangun pada pukul tiga dini hari. Suhu tubuhku panas dan hawa dingin Kota Bogor membuatku menggigil. Gigi-gigiku bergemeretak. Aku meriang. Demamku tinggi.

Dengan kepala berat aku mencoba mencari parasetamol. Namun aku teringat, tas kecil berisi obat-obatan ku tinggalkan di laci meja kantor. Aku membenamkan tubuhku dengan selimut dan mencoba tidur kembali.

Tok... Tok... Tok...

"Lun... Ayo berangkat..."

Aku membuka mataku perlahan, Adi sedang memanggil-manggil namaku dari luar kamar.

"Lun... Udah siang, ayo berangkat," ucapnya sambil mengetuk pintu.

Aku mencoba berdiri dan berjalan perlahan menuju pintu. Aku membuka pintu kamar, Adi terkejut dengan wajahku yang memerah.

"Lun, sakit?"

"Kayaknya gara-gara kecapekan sama kehujanan kemaren...." Aku kembali berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri.

Adi membuka sepatunya dan masuk ke dalam kamarku. Dia menyentuh keningku dengan telapak tangannya.

"Panas banget, Lun."

Aku menggelengkan kepala. Kusuruh dia untuk memberitahu Pak Bas, bahwa aku tidak bisa masuk kantor pagi ini. Dia mengambil ponselku dan memasukkan nomor teleponnya di kontakku.

"Ini nomer teleponku, Lun. Kalo ada apa-apa telepon aku, ya! Aku keluar dulu, jangan dikunci pintunya."

Aku hanya mengangguk. Dia terlihat mengenakan kembali sepatunya dan bergegas keluar dari kamar. Suara langkah kakinya terdengar sangat cepat keluar dari kos.

Tak lama kemudian dia kembali datang ke kos dengan membawa sekantung plastik yang aku tidak tahu apa isinya.
Dia masuk kembali ke dalam kamarku dan menyentuh keningku lagi. Masih panas.

"Ini aku beliin sarapan buat kamu, sama parasetamol. Nanti dimakan ya! Siang aku dateng lagi bawain makan siang. Kalo kamu belom turun panasnya, kita ke dokter," jelas Adi sambil mengeluarkan bungkusan makanan dan parasetamol.

"Makasih, ya, Di," kataku sambil tersenyum kepadanya.

"Iya, Lun. Sama-sama." Dia membalas senyumanku. Senyumannya tak kalah manis dengan senyumanku. Bahkan lebih manis.

Dia menaruh nasi bungkus itu di atas piring dan meletakkannya di sampingku. Dia juga menyiapkan obat dan air untukku. Aku hanya tertegun melihatnya. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya oleh seorang lelaki selain keluarga. Dan dia lah yang pertama kali melakukannya! Tanpa disuruh!

Setelah dia menyiapkan semua, lalu dia berpamitan pergi ke kantor. Setelah langkah kakinya kudengar agak jauh, aku langsung memakan nasi dan obat yang sudah dia beli dari warung. Kemudian aku tidur lagi.

***
Brakk!
Aku terbangun kaget dan melihat Bimo sudah ada di depan pintu kamar.

"Lo sakit, Lun??" Dia melepaskan sepatunya dan masuk ke dalam kamar. Dia membawa plastik, mungkin berisi makanan.

"Udah mendingan kok, Bim."

Tangannya menyentuh keningku, persis seperti yang dilakukan Adi kepadaku.
"Oh iya mendingan. Tadi gue dikasih tau Adi lo sakit. Gw khawatir."

"Adi ke mana?"

"Dia ikut Pak Bas ke lokasi. Dia titip salam buat elo, dia udah chat sama telepon elo tapi gak direspon. Mungkin lo masih tidur." Bimo duduk di lantai sambil membuka kaus kaki dan melemparkannya ke luar kamar.

"Oh..." Aku tersenyum kecut.

"Cepet dimakan! Apa perlu gue suapin?"

Dia beranjak dari lantai dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci tangan. Kemudian dia mengambil piring bersih dan menuangkan nasi rames itu ke atasnya. Tak lupa dia raih sendok lalu menghampiriku.

"Nih... Aaaaaa...."

Aku menampik tangannya.
"Gue bisa makan sendiri kali."

Dia mengusap rambutku dengan lembut.
"Cepet sembuh, ya. Kantor sepi gak ada yang berisik."

Aku mencoba untuk bangkit dan mengambil ponselku di atas meja. Aku mendapati beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari Adi.

[Maaf, Lun. Aku gak bisa ke sana siang ini, aku diajak Pak Bas ke luar. Maaf, ya. Semoga cepet sembuh.]

Jantungku berdebar. Mungkinkah....

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang