Bab 1 Bagian 6

9 0 0
                                    

“Eh kampret, main buka aja,” tukasku sambil mengerucutkan bibir.

“Mata lo kenapa? Abis nangis ya lo?” tanya Bimo sambil mengemudikan mobilnya.

“Menurut ngana?”

“Lun … Why? Just tell me.”

“Udeh buruan jalan, nanti gue ceritain.”
Bimo menganggukkan kepalanya.

Setelah menghela nafas dan mengumpulkan sedikit tenaga, akhirnya aku menjelaskan dengan singkat padanya bahwa aku sudah putus hubungan dengan Hanif. Setelah sekian lama menjalin kasih dan berniat melangkahkan kaki ke jenjang yang lebih serius, Hanif malah memutuskanku. Sungguh keterlaluan. Aku juga menceritakan bagaimana Hanif menunjukkan senyumannya yang paling manis di foto sosial medianya, berdampingan dengan seorang perempuan yang kukenal itu adalah rekan kerjanya. Di sebuah bioskop. Double kill attack.

“Tragisan mana sama cerita gue, Lun? Gue tiba-tiba diputusin, eh dia langsung nikah sama orang lain. Ngundang gue lagi. Gue sebenarnya males dateng. Tapi dia udah ngundang gue, kalo gue gak dateng, gue disangka gak move on. Gengsi lah ya. Jadi ya … Gue paksain dateng." Tiba-tiba Bimo menunjuk sebuah toko di pinggir jalan."Eh bentar ya, gue mampir toko bunga dulu,” pungkas Bimo sambil menepikan mobil dan memberhentikannya tepat di depan sebuah toko bunga.

Dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam toko itu. Bunga-bunga segar berwarna-warni nan cantik, yang diletakkan di depan toko itu, menggugah jiwaku untuk ikut turun dan melihat-lihat. Aku mendekati Bimo yang terlihat sedang memilih-milih bunga mawar.

“Wah bagus-bagus bunganya …,” kataku sambil mengambil seikat bunga mawar berwarna merah.

“Itu mawar grade AA, Mbak. Kalo yang itu grade A, itu grade B dan yang di pojok sana mawar grade C,” jelas tukang bunga itu sambil menunjukkan bunga yang dimaksud.

“Wah bisa beda-beda gitu ya, Bang. Bedanya apaan?” tanyaku antusias.

“Beda ukuran potongan tangkai. Mawar tipe standard Grade AA tuh yang potongan tangkainya 60 cm, grade A 54-55 cm, grade B 40-54 cm, grade C 25-39 cm.”

Aku menganggukkan kepala tanda mengerti.

“Bang, minta bunga yang grade C itu satu ikat, sama yang grade AA warna merah satu ikat ya. Yang grade C potong kecil aja masukkin ke kotak kado, yang grade AA dirangkai biasa aja,” titah Bimo kepada penjual bunga.

Setelah menunggu beberapa saat, pesanan Bimo akhirnya selesai dibuat. Bimo langsung membayarkan sejumlah uang dan mengambil rangkaian bunga serta kotak kado berisi bunga itu. “Nih Lun, buat lo,” ucap Bimo sambil memberikanku rangkaian buket bunga mawar merah segar yang aku pegang tadi. “Jangan sedih lagi ya,” sambungnya sembari mengusap-usap kepalaku.

Aku tertegun dan menjadi salah tingkah dibuatnya. Dia mengacak-acak kepala, kenapa hatiku yang berantakan.

“Makasih, ya, Bim,” kataku sambil tersenyum.

“Iya. Sama-sama Lun. Yuk berangkat, bentar lagi mulai acara,” pungkas Bimo.

Selama di perjalanan, aku dan Bimo banyak bercerita soal mantan kami masing-masing. Soal ketegaran dan keikhlasan Bimo melepaskan Ratna, mantannya, untuk menikah dengan lelaki lain. Dia berbicara, untuk apa mempertahankan seseorang yang tidak ingin dipertahankan lagi. Biarkan saja pergi. Mencintai itu belajar memaafkan dan mengikhlaskan. Mau sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa memaksa perasaan seseorang. Jangan lupa, kalau Tuhan itu Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Pagi itu aku melihat sosok Bimo berubah menjadi seorang lelaki dewasa. Tidak seperti biasanya, yang urakan dan suka bicara sesukanya.

Bimo memutar kemudi setirnya ke arah kiri. Aku melihat janur kuning melambai-lambai di sudut jalan. Dari dalam mobil yang kami naiki, terdengar suara alunan gamelan dari pengeras suara yang terpasang. Aku tahu, perasaan Bimo tidak karuan hari ini. Dia harus menyaksikan sesuatu yang amat sulit diterima oleh lelaki mana pun.

Dia memarkirkan kendaraannya dan terdiam beberapa saat.
“Hhhhhmmhhhhh … Yuk cabut, Lun.”

“Kuat gak lo, Bim?” tanyaku ragu-ragu.

“Mau gak mau, Lun. Gue tahan aja sebentar,” kata Bimo sambil memegangi dadanya, yang mungkin berdetak sangat kencang.

“Yuk, kadonya biar gue yang bawa,” pungkasku.

Aku berjalan bersama Bimo dengan membawa kado untuk Ratna. Kado itu kuserahkan pada penerima tamu, saat Bimo mengisi buku tamu. Orang-orang mulai memperhatikan Bimo dan memperhatikanku. Aku sadar, kacamata hitam yang masih melekat di mataku ini mencuri perhatian banyak orang. Tapi aku masih bersyukur, acara ini diadakan di areal perumahan, bukan di gedung. Setidaknya aku masih bisa berpura-pura silau, karena sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tenda.

Pembawa acara mulai memberikan pengumuman bahwa acara akad nikah sebentar lagi akan dimulai. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, banyak bunga-bunga indah menghiasi tenda dan panggung pelaminan. Kain tenda dekorasi yang didominasi warna putih dan krem membuat perpaduan warna menjadi sangat cantik dan terkesan mewah. Kemudian aku melihat sesosok wanita anggun dengan pakaian kebaya berwarna putih keluar dari sebuah rumah. Diikuti dengan lelaki tampan dengan balutan kemeja putih dan jas hitam. Mereka berdua duduk di kursi yang telah dihiasi oleh bunga-bunga.

“Yak kita mulai akadnya, ya Bapak-bapak, Ibu-ibu. Bismillahhirohmannirrohim ….” Pembawa acara itu mulai membuka sesi acara akad nikah.

Mempelai pria terlihat menggenggam tangan ayah mempelai wanita. Mempelai pria mulai mengucapkan kalimat ijab kabul. Aku melirik ke arah Bimo, wajahnya tegang.

“Sah? Sah?”

“Sah ….”

“Alhamdulillah ….”

Setelah melantunkan doa-doa, mempelai pria dan wanita kemudian melakukan sungkeman dengan kedua orang tua mereka. Entah mengapa kegiatan itu selalu membuatku menitikkan air mata. Pemandangan yang cukup langka, melihat sebuah keluarga menangis bersama. Apalagi melihat ayah sang mempelai wanita, yang mencoba kuat memberikan restu kepada anaknya itu.

Seorang ayah biasanya terlihat sangat kuat dan tegar, namun pada acara sakral itu, dia bisa berlinang air mata karena harus mengikhlaskan kepergian anak perempuannya untuk mengarungi kehidupan baru bersama lelaki lain.

Setelah kedua mempelai melakukan sungkeman, mereka akhirnya berjalan menuju pelaminan dengan bergandengan tangan. Aku jadi membayangkan diriku berada di posisi itu, bersama dengan Hanif. Bergandengan tangan menuju pelaminan. Mengucapkan janji suci, sehidup semati. Tentu saja, aku dan pikiran liarku juga membayangkan saat malam pertama dengan Hanif. Saat Hanif dengan lembut melepaskan kancing kebayaku dengan perlahan. Saat Hanif dengan kumis tipisnya menyentuh pipiku. Saat aku membuka kemejanya dengan perlahan. Saat Hanif membuka ikat pinggangnya dengan penuh gairah. Saat … ah … aku benci pikiranku.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang