Adi menyalakan mesin mobil dan kembali melanjutkan perjalanan. Bogor Jakarta sebetulnya tidak terlalu jauh. Namun karena kepadatan kendaraan yang terlalu tinggi, membuat perjalanan menjadi begitu panjang dan sangat melelahkan. Kota ini memiliki penyakit yang tidak pernah bisa disembuhkan. Ya, kemacetan.
Aku dan Adi sampai membahas mengapa penyakit kota ini tidak pernah sembuh. Aku menyalahkan pemegang kekuasaan, mengapa tidak membuat pembatasan jumlah kendaraan baru yang diproduksi. Adi berdalih, pemasukan negara bisa berkurang kalau sampai hal itu diberlakukan. Terjadi perdebatan cukup sengit di antara kami. Namun dari adanya perdebatan ini, aku jadi tahu bagaimana kualitas berpikirnya. Kami terus saja bicara, sampai akhirnya tiba di komplek perumahanku.
"Yang mana rumahnya? Itu bukan?" tanya Adi kepadaku.
"Iya itu yang pagar hitam," jawabku sambil menunjuk rumah bercat putih dan berpagar hitam.
Rumah tua yang cukup terawat. Terdapat pohon palem yang berjajar dengan rapi di taman. Aku melihat sebuah sedan putih ayahku sudah terparkir di garasi mobil. Ayahku sudah pulang. Tak lama, seorang wanita tua berkerudung hitam keluar dari dalam rumah. Ternyata suara deru mobil yang kami naiki, terdengar oleh ibuku. Adi mematikan mesin mobil.
Ibuku membuka pagar rumah kami, aku langsung turun dari mobil dan mengampirinya. Sebuah kecupan dariku, mendarat sempurna di keningnya. Manik hitam ibuku nampak mengarah ke sosok pria yang ikut bersamaku.
"Itu siapa?" bisik ibuku.
"Anak kantor baru, Ma."
"Assalamualaikum, Tante," sapa Adi sambil mencium punggung tangan ibuku dengan sopan.
"Baru, ya?" tanya ibuku padanya.
"Iya, Tante. Saya karyawan baru di kantor."
"Ayo masuk dulu. Tante udah masak sayur asem, pasti laper kan kalian," ucap ibuku sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Adi mengeluarkan barangku dari mobil dan membawanya ke dalam rumah. Ibuku menunjuk tas besar itu dan bertanya barang apa yang ada di dalamnya. Seingatnya dia tidak meminta oleh-oleh. Aku menjawab isi tas itu adalah baju kotorku. Sebuah pukulan pelan mendarat di bahuku. Dasar anak jorok, ucapnya. Adi terkekeh mendengar perkataan ibuku.
Ayahku tiba-tiba keluar dari kamar dan menyapa Adi. Aku mencium punggung tangannya sambil berlalu pergi ke dapur untuk mengambilkan air untuk Adi yang duduk di ruang tamu bersama ayahku.
Aku mendengar percakapan Adi dan ayahku dari dapur. Ayahku melontarkan pertanyaan klise. Sebuah obrolan basa-basi. Seperti rumahnya di mana, kerja jadi apa, lulusan kampus mana. Membosankan. Aku membawakan mereka dua gelas air es dan sepiring gorengan tahu isi lengkap dengan cabai rawit hijau yang montok.
"Ayo dimakan ini, makanan sederhana," ayahku menyuguhi Adi dengan makanan yang kubawa dari dapur.
"Iya, Om. Terima kasih," ucap Adi sambil mengambil sebuah tahu dan cabai rawit.
Aku meninggalkan mereka dan kembali lagi ke dapur untuk melihat hidangan malam yang telah disiapkan oleh ibuku. Aku membuka tudung saji, makanan yang tersaji sangat menggugah seleraku. Sayur asam, dengan sepiring ayam goreng, beserta sambel dan lalapannya. Sempurna. Ini lah hidangan yang selalu dirindukan oleh perantau. Hidangan yang dibuat dengan penuh cinta, dan kasih sayang dari seorang ibu. Makanan yang tidak akan pernah bisa ditemukan di manapun selain di rumah kita sendiri.
"Hanif gimana kabarnya, Lun?" tanya ibuku memecah konsentrasiku pada makanan itu.
Aku menggelengkan kepala.
"Gak tau, Ma.""Kok gak tau?" Ibuku mengernyitkan dahinya sambil menata piring dan sendok di meja makan.
"Putus."
"Pantes kamu sakit," goda ibuku.
"Apaan sih, Ma." Aku mendengus mendengar ucapan ibuku.
"Udah sana Adi suruh makan dulu, udah siap."
Dengan langkah gontai, aku menghampiri mereka dan mengajaknya ke ruang makan. Kami pun makan bersama dalam satu meja.
Ayahku terus memperhatikan Adi. pandangan matanya seolah tidak mau lepas dari sosok Adi. Mungkin ayahku sedang menilai lelaki yang kubawa pulang ke rumah ini adalah anak baik atau tidak.
Aku mengingat-ingat kembali ke masa lalu. Ayahku memang selalu seperti itu. Siapa pun lelaki yang datang ke rumahku, tidak pernah lepas dari pandangannya. Bahkan sampai lelaki itu pulang ke rumahnya, ayahku mengintimidasiku dengan pernyataan aneh. "Awas kalau berani macam-macam."
Apalagi, aku bilang bahwa Hanif berniat untuk menjalin hubungan serius denganku. Semenjak saat itu ayahku selalu meminta diriku untuk menjaga diri lebih ketat lagi. Dia tidak ingin aku dekat dengan siapa pun hingga pernikahan kami tiba. Ayahku tidak ingin aku mengecewakan calon suamiku. Tetapi dia tidak tahu, bahwa anaknya dikecewakan oleh orang dia anggap sebagai calon mantu. Sungguh ironis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
RomancePerjalanan seorang wanita bernama Luna, yang berusaha keras melupakan mantan kekasihnya yang bernama Hanif. Ada begitu banyak konflik yang mewarnai cerita ini, baik hubungan percintaan, persahabatan maupun pekerjaan. Selamat membaca.