Bab 3 Bagian 3

9 0 0
                                    

Selama di perjalanan, Adi bercerita bahwa dia termasuk anak yang berprestasi, bahkan dia masuk kuliah hanya bermodalkan nilai rapor saja. Tanpa mengikuti tes seleksi apapun, dia berhasil memasuki universitas negeri impiannya dengan mudah. Sedangkan aku, aku harus bersaing dengan ribuan orang untuk mendapatkan bangku kuliah yang sama.

Setelah lulus kuliah, dia menolak bekerja di pabrik milik keluarganya. Adi juga tidak mau bekerja di kantor rekan ayahnya ataupun bekerja di tempat lain dengan embel-embel ada link. Dia memiliki cita-cita sendiri untuk sukses tanpa ada bayang-bayang keluarga besar. Dia berdalih, tidak ingin orang lain menganggapnya rendah hanya karena meneruskan usaha keluarga. Meski dia harus memulai dari nol sebagai pegawai bank, tidak ada masalah buatnya.

Aku mencuri-curi pandang terhadap Adi.  Ketika dia sedang fokus memperhatikan jalanan, aku fokus memperhatikan dia. Jika aku punya kesempatan untuk bertanya pada Tuhan, aku ingin bertanya, mengapa Dia bisa menciptakan mahkluk sesempurna Adi. Tampan, pintar, kaya, baik, perhatian.

Tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Dia menangkap mataku yang sedang fokus memperhatikannya sedari tadi. Aku langsung membuang pandanganku ke arah depan. Aku gugup bukan main.

"M-m-macet banget, ya...." Dia terlihat menggaruk-garuk kening. Aku menangkap gesturnya juga sedang salah tingkah.

"E-eh iya macet banget nih, udah laper aku," ucapku pelan.

"Mau makan dulu? Jajan aja di resto fast food. Tuh depan ada rest area. Drive thru aja."

Aku mengangguk. Kami pun mampir ke restoran cepat saji dengan mengambil layanan cepat tanpa harus turun dari mobil. Adi memesan dua cheese burger, dua air mineral dan dua kentang goreng. Cukup untuk mengganjal perut selama di perjalanan. Lagipula aku tidak ingin memakan nasi di luar, ibuku pasti sudah memasakkan makanan enak untukku. Aku tidak ingin mengecewakannya dengan berkata, aku sudah kenyang atau tadi sudah makan.

Dengan cepat Adi membayarkan sejumlah uang dan dia mengambil pesanan yang sudah jadi. Dia menepikan mobil ke tempat parkir.

"Aku ke toilet sebentar, ya!" ucapnya sambil keluar mobil dan berlari kecil menuju toilet pom bensin.

Tak lama kemudian dia kembali lagi. Tanpa pikir panjang dia langsung mengambil burger dan membuka bungkusnya. Kami berdua dengan lahap  di dalam mobil.

"Pacarmu suka marah gak sih kamu kerja di kantor yang semuanya cowok gitu, Lun?"

Uhuk. Uhuk. Aku tersedak burger.
"Kenapa tanya gitu?" tanyaku padanya. Aku mengambil tisu lalu membersihkan mulutku.

"Tanya doang...."

Aku melayangkan pikiranku ke beberapa waktu yang lalu, saat Hanif masih menjadi pacarku. Waktu itu, Hanif merasa tidak cemburu ketika aku bekerja bersama Bimo atau Satria. Dia bahkan senang, Bimo dan Satria bisa menjagaku dengan baik. Sungguh, hubungan yang kujalani dulu adalah hubungan yang cukup aneh. Hanif terlalu dingin padaku.

"Enggak tau," kataku ketus. Aku menundukkan pandanganku.

"Enggak tau? Apa gak punya pacar?" Adi tersenyum memamerkan giginya yang rapi.

"Dua-duanya."

"Oh, gak punya pacar. Kasihan. Eh tapi gak apa ding. Aku juga gak pernah pacaran, aku cuma mau pacaran sama calon istriku aja," ujarnya sambil membersihkan mulut dengan kertas pembungkus burger.

"Jorok lu," kataku sambil melihat tingkahnya.

"Iya ini dilap pake tisu. Bawel kamu, kayak ibuku."

Aku melirik ke arahnya sambil tersenyum. Aku merasa aku sudah benar-benar sembuh. Aku senang hari ini. Aku senang ternyata dia belum punya pacar. Kedua, aku senang disamakan dengan ibunya. Aku tidak tahu mengapa seorang wanita begitu senang jika disamakan dengan ibu dari seorang lelaki. Meski yang disamakan adalah bawelnya.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang