Bab 3 Bagian 7

5 0 0
                                    

Sesampainya di bandara kami dijemput oleh supir dari pihak perusahaan klien. Kami langsung menuju lokasi proyek yang berada di pinggir jalan. Lokasi proyek merupakan lahan bekas bangunan ruko yang sudah diratakan dengan tanah.

Pada saat kami ke lokasi, ternyata sedang ada proyek pembuatan gorong-gorong di sekeliling lokasi.

"Pak, saya gak bisa lompat sejauh itu," kataku pada Pak Bas yang sedang melompati lubang sedalam satu setengah meter dengan lebar lubang sekitar satu meter. Mungkin lebih sedikit. Satria, Bimo dan Mas Jaka sudah lebih dulu berada di dalam lokasi untuk melakukan dokumentasi.

"Jangan manja, kerja di proyekan semua sama. Laki-laki perempuan harus bisa semua." Pak Bas berjalan ke dalam lokasi dengan angkuh. Kata-katanya sungguh menyayat hati.

Aku bukannya manja, tapi aku takut kakiku tidak sampai. Aku perempuan imut dengan tinggi 150 cm, dengan kaki mini yang aku tak yakin bisa melompati lubang besar itu.

"Kenapa?" Adi menghampiriku yang sedang berdiri mematung, memandangi lubang besar galian gorong-gorong.

"Gak bisa lompat, kejauhan."

Adi terlihat melompat lebih dulu. Dia mengulurkan tangannya padaku.

"Ayo cepet lompat, aku pegangin."

"Kalo jatoh gimana? Takut banget." Aku menelan salivaku berkali-kali.

"Gak apa-apa, jatuhnya ke bawah kok. Aku doang yang liat. Enggak bercanda, Lun. Ayo cepet aku pegangin kalo jatoh."

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku mundur beberapa langkah ke belakang, lalu memasang posisi bersiap untuk melompat. Aku berlari dan Satu... Dua... Tiga...

Brukkk!!

Aku melompat dan menimpa Adi. Tubuhku mendarat tepat di atas tubuhnya. Adi tak cukup kuat menahan tubuhku sehingga kami jatuh di atas tanah merah. Aku memandangi wajah Adi dengan jarak yang sangat dekat. Jantungku berdebar kencang.

"Kamu gak apa-apa kan?" tanya Adi sambil memegangi bahuku.

"Gak apa-apa, Di." Aku segera bangkit dan menepuk-nepuk kedua tanganku untuk membersihkannya dari serpihan tanah merah dan kerikil. Ada goresan-goresan halus berwarna merah muda di telapak tanganku. Ternyata tanganku terluka mengenai batu kerikil.

Dia bangkit dan terlihat merapikan pakaiannya. Baju Adi kotor terkena tanah.

"Luka, ya?" tanya Adi sambil meraih kedua tanganku dan melihat luka itu. Dia mengambil botol air mineral dari tasnya dan mengalirkan air itu ke atas tanganku.

"Aduh!" Aku meringis kesakitan. Goresan luka itu terasa perih ketika terkena air.

"Pulang dari sini nanti aku mampir apotik atau minimarket dulu, beli plester."

Aku hanya mengangguk. Aku bingung memikirkan nasibku ketika pulang nanti dari lokasi proyek. Bagaimana caraku untuk melompat agar tidak terjatuh lagi. Aku benci Si Kumis. Terlalu memaksakan diriku.

Begini lah nasib seorang 'kuli' proyek. Tak peduli lelaki atau perempuan. Mau tak mau, harus dijalankan. Aku berpikir, ternyata ini lah yang membuat perempuan tidak mau bekerja seperti ini di lapangan. Perempuan yang bekerja di proyek, diharuskan menjadi tangguh, tak banyak mengeluh, bisa melakukan pekerjaan kasar yang biasa dilakukan lelaki.

Aku belajar begitu banyak dari pekerjaan ini. Aku belajar bagaimana menjadi perempuan yang kuat, tahan menghadapi tekanan yang datang dari berbagai arah.

"Lun, lo dari tadi liatin Adi mulu deh," Bimo berbisik padaku sambil melangkah mengikuti Pak Bas mengelilingi lokasi proyek.

"Perasaan lo doang kali," aku berkilah.

"Lo pikir gue gak tau, ya? Gue tau kali. Dari semenjak dia dateng pertama kali ke kantor, lo jadi aneh. Gak asik."

"Masalahnya buat lo apa?"

Bimo menghentikan langkahnya dan menatapku lekat-lekat. Aku melihat Pak Bas dan yang lain melangkah menjauh.

"Gue..."

"Kalian ngapain disana, ayo cepet! Bentar lagi selesai." Pak Bas berteriak kencang mengagetkanku.

Bimo belum sempat melanjutkan pembicaraan, aku langsung mempercepat langkahku mengikuti Pak Bas.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang