Aku masuk ke kantor itu dan berjalan menuju ke ruangan di mana Pak Bas dan Pak Sudirman berada.
"Udah kan, Lun?" tanya Pak Bas.
"Udah, Pak."
"Oke lah, Pak. Kami pamit dulu. Nanti kita tunggu hasil laboratoriumnya, kemudian kita kerjakan evaluasinya, baru kita hubungi lagi," pungkas Pak Bas.
Setelah berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih, kami pun pergi meninggalkan kantor itu. Bukannya kembali ke kantor atau ke laboratorium, Si Kumis itu malah membawaku ke tempat lainnya.
"Sebentar ya, saya ke kantor itu dulu. Kamu tunggu di sini aja," katanya sambil menunjuk sebuah bangunan ruko dengan papan nama bertuliskan kantor notaris. Aku melihat Si Kumis keluar dari mobil dan berlari kecil memasuki kantor itu.
Aku menghela nafas panjang. Kucoba meregangkan kedua tangan dan kakiku yang kaku. Rasanya badanku remuk kalau mengikuti Si Kumis itu bekerja. Tenaganya seperti tidak habis-habis. Selalu ada saja yang dia kerjakan.
Awalnya aku mengira dia adalah seorang pekerja keras, namun belakangan ini aku menyadari kalau dia seorang workaholic. Perlu digaris bawahi, definisi pekerja keras dan workaholic ini berbeda. Pekerja keras masih memiliki waktu untuk bersantai menikmati hidupnya, tapi workaholic ini seperti orang gila yang selalu haus bekerja. Bahkan kami memiliki jam kerja yang tidak masuk akal. Masuk kerja jam 7 pagi, pulang kerja tidak tentu. Kadang kami pulang jam 8 malam, jam 10 malam. Bahkan pernah pulang jam 1 dini hari, karena rapat membahas isi dokumen yang kami buat. Rapat macam apa yang dilakukan dini hari? Oke, itu cukup gila.
Drrtttt ... Drrtttt ...
Aku mengambil ponsel yang bergetar di saku celana. Ada pesan dari Bimo. [Lun, besok temenin kondangan yuk. Mantan gue nikah, gue males dateng sendirian.]
Aku mengetik pesan balasan untuk Bimo. [Gue minta tolong dulu, bikinin iklan lowongan di web sama sosmed. Cari yang sesuai kualifikasi kita, suruh kirim CV ke email kantor. Kita cari karyawan baru.]
Drrtttt ... Drrtttt ...
[Oke] Bimo membalas pesanku.
Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku celana. Si Kumis nampak berlari kecil dan masuk ke dalam mobil. Dengan perlahan dia menyalakan mobil dan mengemudikannya. Dia menekan pedal gas dengan cukup kuat sehingga mobil yang kami naiki melaju dengan kencang.
"Pak, saya udah suruh Bimo bikin lowongan, Bapak lihat saja CV nya di email kantor. Nanti kalau ada yang sesuai dengan Bapak, kasih tahu saya saja, Pak. Biar saya hubungi dia. Saya takut kalau saya yang nentuin gak sesuai sama keinginan Bapak," kataku.
Pak Bas nampak menganggukkan kepalanya. Dia terlihat seperti malas berbicara. Mungkin dia sudah cukup lelah dengan aktifitasnya seharian. Aku pun sudah lelah. Badanku lemas tak bertenaga. Suara kendaraan yang menderu dan suhu dingin yang menyebar sempurna di dalam kabin mobil, membuatku mengantuk. Dalam tiga ... dua ... satu ... aku pun tertidur lelap.
***
"Lun ... Lun ... Bangun, udah sampe," kata Pak Bas membangunkanku dari tidur.
"Hah ...." Aku membuka mata dan menggosokkan kedua mata dengan jemariku. Pandanganku yang semula kabur karena sisa-sisa kantuk, makin terlihat jelas. Aku mengedarkan pandanganku. Si Kumis ini memberhentikan mobilnya di depan kos-kosanku.
"Loh, Pak. Kok ke kosan saya? Botol sampelnya gak dibawa ke laboratorium?" aku mengernyitkan dahi.
"Udah tadi, kamu tidurnya pules banget. Udah kamu pulang aja, besok kan libur. Nih uang jalan tadi," kata Pak Bas sembari memberiku dua lembar uang seratus ribuan.
"Makasih ya, Pak. Maaf, ya, Pak. Tadi saya ketiduran," ucapku.
"Gak apa-apa."
Aku turun dari mobil dan menutup pintunya. Kemudian aku masuk ke dalam kamar kosku. Fffiuuhhh ... untung gak marah Si Kumis tadi gara-gara ketiduran di mobil, gumamku. Biasanya dia menyindir kami jika kami ketiduran di mobil, apalagi jika dia yang menyetir. Kebetulan mobil khusus kantor sedang diperbaiki, sehingga kami harus naik mobil pribadi Pak Bas. Dia pun tidak mengizinkan siapa pun menyentuh mobilnya. Jadi, mau tidak mau dia yang menyetir.
Aku merebahkan diriku di atas kasur kecil yang beralaskan kain berwarna kelabu. Aku mengambil ponselku dan menghubungi ibuku. Aku harus mengabari dirinya, kalau akhir pekan ini aku tidak pulang ke Jakarta karena ada acara kondangan bersama Bimo.
Aku sebetulnya tidak nyaman berjauhan dengan keluargaku di Jakarta. Namun tubuhku juga tidak kuat jika harus melaju dari Jakarta menuju Bogor, pulang dan pergi setiap hari. Akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kos sederhana di Bogor. Sebuah kos-kosan bebas yang penghuninya boleh lelaki atau perempuan.
"Halo, assalamualaikum, Ma?"
"Wa'alaikumsalam ... Kenapa Lun?" tanya ibuku.
"Ma, besok aku gak pulang, ya. Aku mau kondangan," ucapku sambil memilin kerudung yang belum aku buka sedari tadi.
"Yaudah, minggu depan pulang, ya? Kondangan sama siapa?"
"Iya, Ma ... Aku kondangan sama Bimo."
"Hati-hati, ya ..."
"Oke Ma, udah dulu ya, aku mau mandi," kataku.
"Ya sudah. Assalamualaikum ..."
"Wa'alaikumsalam ...," pungkasku sambil menutup telepon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
RomancePerjalanan seorang wanita bernama Luna, yang berusaha keras melupakan mantan kekasihnya yang bernama Hanif. Ada begitu banyak konflik yang mewarnai cerita ini, baik hubungan percintaan, persahabatan maupun pekerjaan. Selamat membaca.