Bab 2 Bagian 7

7 0 0
                                    

"Lun... Luna."

Tok... Tok... Tok...

Aku mendengar seseorang mengetuk pintu dari luar kamar. Aku membuka mata perlahan dan melirik ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul 6.35 pagi. Aku kesiangan (lagi, lagi dan lagi).

"Iyaa..." Kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju pintu dan membukanya.

"Lho? Belum mandi?" Adi mengernyitkan dahinya melihatku masih mengenakan pakaian tidur, dengan rambut yang masih berantakan.

"Ah iya kesiangan, Di. Berangkat aja duluan. Nanti aku nyusul. Kasian kamu masih anak baru, kalo telat masuk bisa dicap karyawan males sama Si Kumis. Haha."

"Ya udah aku berangkat duluan, ya."

"Oke," ucapku sambil menutup pintu.

***

"Lun, pagi ini kamu ke kantor pusat ya, sama Adi, Mas Jaka. Biar Bimo sama Satria selesaikan dokumen yang kemarin belum selesai," titah Pak Bas kepadaku.

"Ke kantor pusat, terus kemana lagi, Pak?"

"Ke tempat Bu Lusi dulu, tolong antarkan dokumen dan uang ini buat dia, Jaka tau tempatnya. Kamu kenal Bu Lusi, kan? Itu yang waktu ada rapat dia datang ke sini. Habis itu ke mall Botani ya, ke cafe biasanya. Saya mau ketemu klien di situ juga," jelasnya sambil menyerahkan bungkusan amplop berwarna coklat berisi uang.

Aku menganggukkan kepala. Aku masukkan amplop tebal itu ke dalam tas. Ini pertama kalinya Si Kumis menyuruhku menyerahkan uang kepada Bu Lusi. Aku tidak pernah tahu, uang apa yang sedang kubawa ini. Tetapi ini cukup membuatku takut.

"Aku takut deh kalo disuruh bawa-bawa duit begini," ucapku di dalam mobil, menuju ke kantor pusat.

"Saya juga sering ngantar Bimo kasih uang itu ke Bu Lusi, Mbak," kata Mas Jaka.

"Ini uang apa ya? Ngeri gak sih kalo ini uang suap? Secara kerjaan kita proyekan begini?" tanyaku.

"Yah, gak taulah, Mbak, haha." Mas Jaka tertawa sambil terus mengemudikan mobil.

Sesampainya kami di kantor pusat, Bu Lusi ternyata sudah menunggu di tempat parkir. Dengan sigap aku menghampiri dan langsung memberikan dokumen serta amplop berisi uang. Gerak-gerik Bu Lusi sangat mencurigakan, dia mengedarkan pandangan terlebih dahulu. Untuk memastikan tidak ada orang yang memperhatikannya.

"Saya terima, ya, Mbak. Salam buat Pak Bastian," ucapnya sambil berlalu pergi begitu saja.

Benar-benar mencurigakan.

Setelah dari kantor pusat kami pun langsung menuju lokasi mall di mana Pak Bas sedang bertemu dengan klien.
Mas Jaka lebih memilih menunggu di parkiran mobil dari pada mengikuti kami.

Aku dan Adi masuk ke mall dan langsung menuju lokasi cafe yang biasa dijadikan tempat meeting kami dengan klien. Namun ketika kami sampai di lokasi, Pak Bas ternyata belum datang.

Aku dan Adi lalu memutuskan berkeliling mall sembari menunggu Pak Bas dan klien kami datang. Dia mengajakku masuk ke sebuah toko jam.

"Mau ngapain?" tanyaku kepadanya.

"Ganti batere. Batere jamku mati."

Dia melepaskan jam tangannya lalu memberikannya kepada penjual jam. Sembari menunggu baterenya diganti, matanya yang tajam itu melihat ke arah jajaran jam yang terpajang dengan rapi dan cantik di etalase toko itu. Sesekali dia menopang dagunya dengan tangan kanannya.

"Kamu tuh pacarnya Bimo, ya, Lun?" Tiba-tiba saja Adi berkata dan membuatku terkejut.

"Ah, kagak. Siapa yang bilang?"

"Ya keliatannya, aku aja yang baru datang tahu kalo kalian dekat."

"Ah enggak, biasa aja, kok. Di."

"Tolong lah, Pak. Saya mau dapat proyek itu. Apapun saya lakukan, bapak butuh berapa? Bla... Bla... Bla..."

Seketika aku dan Adi melihat ke arah luar toko jam, Pak Bastian terlihat berbicara serius dengan seseorang melalui telepon. Suaranya yang terdengar sangat kencang membuat karyawan di toko juga menoleh ke arah luar. Perlahan suaranya mulai samar lalu menghilang seiring menjauhnya langkah kaki Pak Bas dari tempat itu.

Aku menatap wajah Adi. Mata kami bertemu, dan dia menatapku lekat-lekat.

"Pak Bas kayaknya gak beres, Lun."

"Tuh... Kan... Kontrakku masih lama lagi."

"Apalagi aku, Lun. Baru masuk kemaren." Adi tersenyum kecut.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang