"Yaudah, Lun. Gue balik ke kantor lagi, ya. Dimakan pokoknya makanannya," ucap Bimo sambil mengacak-acak rambutku yang memang sudah berantakan.
"Iya, Bim. Thanks ya makanannya." Aku mulai menyuapkan makanan ke dalam mulut.
Bimo keluar dari kamar, mengenakan kaus kaki dan sepatunya.
"Cepet sembuh, ya! Assalamualaikum."
"Walaikumsalam...."
Bimo menutup pintu kamarku. Suara langkahnya perlahan menjauh. Aku kembali membuka ponselku. Aku mengetik pesan balasan untuk Adi.
[Makasih banyak, ya, Di. Udah mendingan kok aku.]
Tak lama kemudian dia membalas pesanku.
[Alhamdulillah kalo udah mendingan. Oh iya, Pak Bas ngizinin kamu buat cuti 2 hari Lun. Dia mau hubungi kamu tapi takut ganggu tidur. Kata dia kamu istirahat dulu aja sebelum kita pergi ke luar kota. Aku diizinin nganterin kamu pulang kalo mau istirahat di rumah. Pake mobil kantor.]
[Nanti sore atau besok?]
[Nanti sore, Lun. Besok mobilnya mau dipake ke kantor pusat.]
[Ok, bilangin makasih, ya, buat Pak Bas.]
Aku pun langsung menghubungi ibuku. Awalnya dia terkejut mengetahui aku sedang sakit, tetapi pulang adalah jalan yang terbaik, dari pada harus tetap berada di rumah kos.
Sebenarnya aku sudah tidak apa-apa. Tetapi kapan lagi Si Kumis memberikanku hari libur selama dua hari. Ini adalah kesempatan emas untuk bisa berlama-lama di rumah.
Aku mengambil tas dan menyiapkan barang apa saja yang ingin aku bawa pulang ke rumah. Biasanya aku hanya membawa barang penting saja. Namun, karena kali ini aku diantar pulang dengan menggunakan mobil, ini kesempatanku untuk membawa pakaian kotor yang belum kucuci beberapa hari yang lalu.
Kriiingg... Kriiingg... Kriiingg...
"Halo, Di. Ada apa?"
"Aku mau ke kosan sekarang, siap-siap, ya."
"Oke."
Aku menutup telepon. Dengan masih memakai piyama tidur, aku langsung mengenakan kerudung dan jaket. Aku berniat mandi di rumah saja.
Tin... Tin...
Terdengar suara pintu pagar kos dibuka. Adi mengetuk pintu kamarku dan masuk ke dalam kamar.
"Udah kan? Mana barang bawaannya?"
"Tuh..." jawabku sambil menunjuk dua buah tas besar berisi pakaian kotor.
Dengan sigap dia mengambil tas itu lalu membawanya ke dalam mobil. Aku berjalan perlahan keluar kamar dan menguncinya. Jantungku mulai berdegup kencang. Aku tidak tahu apa yang sedang kualami, namun aku merasa gugup.
Aku ingat bagaimana dia memperlakukan aku. Bagaimana wajahnya yang khawatir kepadaku. Bagaimana dia menyentuh keningku. Bagaimana dia membelikanku makanan dan obat. Padahal aku baru mengenalnya. Tetapi yang dia lakukan seperti sudah mengenalku lama.
Aku masuk ke dalam mobil.
"Aku ganti baju sebentar ya, Lun. Cepet kok."
Aku mengangguk. Dia terlihat berlari kecil menuju kamarnya. Aku menunggunya selama lima menit. Lalu dia keluar kamar dalam keadaan sudah berganti pakaian dan mengenakan sandal jepit.
Dia mengenakan kaus polos berwarna hitam dengan sandal jepit berwarna senada. Namun dia menjadi lebih wangi dari pada sebelumnya. Mungkin dia menggunakan parfum sebelum pergi. Aku mengendus ketiakku, aku tidak mandi, bahkan tidak menggunakan parfum apapun. Wangi keringatku seperti bercampur cuka.
"Alamat rumahmu di mana?" tanya dia sambil mengemudikan mobil.
"Jakarta timur. Tau gak? Ini aku bukain google map aja, biar gampang," sahutku sambil membuka aplikasi google map dan mengetik alamat rumah lalu menaruh ponselku di penyangga dashboard.
"Ohh, tau kok. Rumahku dulu di Jakarta."
"Oh ya? Di mana? Kok bisa ke Jogja?" tanyaku.
Senyumnya mengembang. Dia mulai bercerita awal mula bisa tinggal di Jakarta dan bagaimana dia bisa pindah ke Jogjakarta. Adi lahir dan dibesarkan di Jakarta. Ketika dia duduk di bangku sekolah menengah atas, pabrik tekstil milik ayahnya mengalami masalah cukup serius, sehingga memaksa ayah Adi untuk berhenti dari pekerjaannya dan fokus mengurusi pabrik warisan keluarga. Karena alasan itu, akhirnya dia ikut pindah bersama keluarganya di Jogja.
Selagi dia bercerita, aku memperhatikan bagaimana dia mengemudikan mobil dengan lihai dan lincah. Bahkan sangat mahir. Ketika Bimo atau Mas Jaka sedang membawa mobil, aku bisa saja teriak-teriak karena ketidak hati-hatian mereka. Belok secara tiba-tiba, atau mengerem mendadak adalah hal yang lumrah. Namun Adi tidak seperti itu. Di tangan Adi, mobil bisa melaju dengan cepat namun menenangkan.
"Nyetir umur berapa, Di? Kok kayaknya jago banget?"
Dia melirikku dan tersenyum.
"Kenapa? Enak, ya? Aku bawa mobil udah dari SMP. Malahan SMP itu sering ikutan balapan liar.""Wow. Pantesan. Hehe. Wah pasti kamu banyak fans, ya, waktu sekolah?"
"Yang suka ya ada lah. Tapi aku gak gimana-gimana." Dia terlihat meregangkan tangannya.
"Yah, macet...."Jalanan yang macet, membuat kendaraan yang kami naiki menjadi tidak dapat berjalan. Tetapi aku jadi punya kesempatan untuk mengenal Adi dengan lebih dekat lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
RomancePerjalanan seorang wanita bernama Luna, yang berusaha keras melupakan mantan kekasihnya yang bernama Hanif. Ada begitu banyak konflik yang mewarnai cerita ini, baik hubungan percintaan, persahabatan maupun pekerjaan. Selamat membaca.