Bab 3 Bagian 5

8 1 0
                                    

Adi terlihat gelisah seusai makan malam dengan keluargaku. Berkali-kali dia melihat ke arah jam tangannya. Aku menoleh ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 9.30 malam. Aku tahu Adi ingin pulang, namun dia terlalu sungkan untuk langsung pulang setelah menikmati makan malam.

"Di, udah malem, pulang aja. Kasian besok kerja lagi," ucapku sambil menyusun piring kotor untuk kubawa ke washtafel.

"Oh, iya. Sudah malam. Ndak apa, pulang saja kalau mau pulang, Mas," timpal ibuku.

Setelah berpamitan dengan ayah ibuku, akhirnya Adi pulang. Tak lupa aku mengucapkan banyak terima kasih, karena dia mau mengantarku pulang ke rumah.

Seperti dugaanku, setelah Adi pulang, ibuku mencecarku dengan pertanyaan mengapa aku bisa putus hubungan dengan Hanif.

"Ntar ya, Ma. Aku mandi dulu," ucapku sambil berlalu menuju kamarku untuk membersihkan diri.

Setelah aku mandi, ternyata ibuku sudah menungguku di atas ranjang tidur. Ibuku tidur di atas ranjang sambil memegangi remote televisi dan mengganti-ganti siarannya. Aku membalut rambut basahku dengan handuk. Kemudian aku menghampiri ibuku dan merebahkan diri di sebelahnya.

Malam terasa begitu panjang. Aku menceritakan dengan detil apa yang terjadi antara aku dan Hanif. Aku mengobrol lama dengan ibuku hingga larut malam. Seolah lupa aku harus beristirahat.

Ada rasa nyaman ketika aku bisa meluapkan semua keluh kesahku kepada keluarga, khususnya ibu. Meski dia hanya ibu angkatku, tetapi bagiku dia lebih dari segalanya.

Kabar putusnya hubunganku dengan Hanif, akhirnya diketahui oleh ayah. Dengan tegas dia menyuruhku untuk segera melupakan lelaki itu. Meski tidak mudah buatku untuk melupakannya dengan cepat. Semua butuh waktu. Ada hati yang harus disembuhkan terlebih dahulu, agar aku bisa menerima cinta atau mulai mencoba mencintai orang lain lagi.

Tetapi kali ini aku akan lebih tegas dalam hal percintaan. Aku tidak mau lagi menjalin hubungan dengan lelaki mana pun, kecuali jika lelaki itu berani melamarku langsung. Aku sudah lelah bermain dengan hatiku. Bertahun-tahun menunggu, tak ada kejelasan. Sampai akhirnya dia menyudahi semuanya. Aku telah merugi. Semua yang aku perjuangkan, semua yang aku impikan, semua yang aku tunggu adalah sia-sia saja.

Selama di rumah aku menggunakan waktuku dengan sebaik-baiknya untuk bersantai. Sesuatu yang langka untuk dilakukan jika aku berada di Bogor. Di rumah, aku bisa menonton televisi selama seharian penuh. Dan yang paling penting, aku bisa memperbaiki asupan gizi.

Rumah adalah tempat terbaik untuk mengistirahatkan diri dan hati. Suatu tempat yang tidak akan pernah bisa ditemukan di tempat lain. Menyewa sebuah resort semahal apapun, kenyamanannya tidak akan pernah bisa menyaingi ketika berada di rumah. Apalagi jika kita masih memiliki orang tua. Suatu hal yang sangat tidak ternilai, bagiku.

Aku merasa ini lah saat-saat terbaik untuk membahagiakan orang tua. Aku tidak ingin tergesa-gesa dalam mencari jodoh. Aku pun tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan karena putus hubungan dengan Hanif. Aku sadar, mungkin ini cara Tuhan untuk membuatku fokus membahagiakan orang tuaku. Waktu dan perhatianku sudah terlalu banyak kuhabiskan untuk Hanif.

Aku masih muda dan cantik. Aku tidak ingin menjadi wanita yang lemah hanya karena putus hubungan dengan seorang lelaki. Selama ini aku hanya takut. Takut kehilangan Hanif, takut kehilangan seseorang yang kucintai, takut dengan rutinitas yang harus aku jalani tanpa Hanif, takut kesepian. Ketika di rumah, ibuku menyadarkanku, bahwa ternyata dunia masih tetap berputar, hidupku masih berjalan dengan baik, meski Hanif sudah tidak ada lagi.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang