Bab 1 Bagian 5

7 0 0
                                    

Aku menyalakan laptop dan membuka aplikasi pemutar lagu. Alunan musik akustik terdengar ke seluruh penjuru kamar. Aku membuka kerudung dan bajuku, lalu aku membersihkan diri. Kota Bogor sore ini sangat dingin, sampai membuat air di bak mandi menjadi sedingin es batu. Setiap aliran air yang menyentuh dan membasahi tubuh, sukses membuatku menggigil. Saking menggigilnya, hingga gigi-gigiku bergemeretak dan tubuhku bergetar mengeluarkan hawa hangat. Setelah mandi dan mengenakan pakaian, aku pun kembali merebahkan diri di atas kasur.

Aku mengambil ponselku dan membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Aku menghela nafas panjang. Aku melihat foto profil Hanif yang ada di aplikasi chatting itu. Masih terlihat sangat tampan. Matanya yang besar dan teduh, senyumannya yang manis, hidungnya yang bangir, sukses membuatku terpesona.

Aku bisa memandangi foto itu untuk waktu yang cukup lama. Aku juga tidak tahu, sejak kapan aku jadi suka melihat isi percakapanku dengan Hanif dahulu. Sewaktu aku masih menjadi kekasihnya. Kadang aku tersenyum kecil membaca setiap kalimat yang dia lontarkan kepadaku. Namun jika aku mengingat pesan yang terakhir dia kirimkan untukku, seketika aku bisa menitikkan air mata. Aku masih tidak bisa menerima keputusannya. Bahkan aku belum sempat membalas pesannya yang terakhir. Terlalu sakit.

Hanif sebetulnya adalah orang yang sangat baik. Dia orang yang sabar, pengertian. Kesabarannya bisa meredam amarahku. Dia bisa membuatku jatuh hati berulang kali. Banyak sekali kelebihannya yang bisa menutupi kekuranganku. Kami adalah dua orang yang saling melengkapi, saling mencintai. Sangat terikat satu sama lain. Hanya saja, dia terlalu penurut dengan apa kata orang tuanya, bahkan dia juga rela kehidupan percintaannya diatur.

Aku masih ingat saat pertama kali berjumpa dengannya. Aku masih ingat baju apa yang dia pakai waktu itu. Aku masih ingat saat kami berpelukan untuk melepaskan kerinduan. Aku masih ingat dengan aroma tubuhnya. Aku masih ingat semuanya dengan jelas.

Aku menutup aplikasi percakapan itu dan membuka sosial media untuk mencari hiburan. Namun, apa yang kutemukan malah semakin membuatku berduka. Aku melihat Hanif mengunggah foto terbaru dengan teman-temannya di sebuah bioskop. Hatiku seketika porak-poranda memandangi foto itu. Memang, dia bersama dengan beberapa temannya, dua lelaki dan dua perempuan. Tapi pandanganku fokus pada satu perempuan cantik yang terlihat sangat dekat dengannya. Perempuan itu terlihat agak menyandarkan kepalanya ke bahu Hanif. Hanif pun memasang wajah bahagia dengan senyuman lebar. Aku betul-betul terluka. Secepat itu dia melupakanku. Aku melempar ponselku ke lantai dan membenamkan muka dengan bantal. Hanif brengsek! Lalu aku menangis.

***

Kriinggggg … Kriiiinggg …Kriiiiingggg …

Aku meraba-raba kasur mencoba mencari ponselku yang sedari tadi berdering. Aku membuka satu mataku dan mengangkat telepon dari Bimo.

“Halo, Bim … Masih pagi ganggu aja,” kataku dengan suara terdengar seperti meracau.

“Woy, bangun Lun! Udah jam segini, sebentar lagi gue jemput ya. Acara akadnya pagi jam 9. Dandan yang cantik biar gak malu-maluin gue,” ucapnya sambil menutup telepon, tanpa memberiku kesempatan bicara.

Aku melirik ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul 7.35 pagi. Aku kesiangan. Kucoba untuk bangkit dari kasur dengan perlahan. Aku merasa kepalaku sangat berat, mataku sakit. Aku lupa kalau hari ini ada acara kondangan. Dan aku sudah menangis semalaman hingga …

Arrrgghhhhh …

Aku berkaca di cermin dan mendapati kedua mataku merah dan bengkak! Nampak seperti habis kena pukul seseorang. Aku menepuk-nepuk mataku yang masih terasa perih. Harus diapakan ya ini?

Kriinggggg … Kriiiinggg …Kriiiiingggg …

Ponselku berbunyi. Bimo meneleponku lagi.

“Halo, Bim?”

“Gue udah mau nyampe kosan nih, lagi isi bensin sebentar. Cepetan ya!” katanya sambil menutup telepon.

Aku melihat lagi jam di dinding, waktu seakan berputar sangat cepat. Tanpa pikir panjang, aku langsung mandi, menunaikan salat dan bersiap-siap.

Setelah membuka lemari pakaian dan melihat-lihat isinya, aku menjatuhkan pilihan pada gamis berwarna biru dongker. Tak lupa mengenakan kerudung berwarna senada. Aku terlihat lebih ramping dan cantik jika mengenakan dress berwarna gelap. Namun tetap saja, orang pasti fokus melihat mataku yang bengkak ini. Aku membuka laci berisi kosmetik dan mengaplikasikan concealer di bawah mataku, serta menimpanya dengan alas bedak. Aku memperhatikan dengan saksama pantulan wajahku di cermin. Mataku masih terlihat seperti habis kena pukul. Sepertinya harus mengenakan kacamata hitam, gumamku. Aku mengambil kacamata hitamku dan menyapukan lisptik berwarna ungu pucat ke bibirku yang tipis. Sempurna!

Tin … Tin … Tin …

“Lunaaaaaa!” suara Bimo terdengar memanggil namaku.

Aku langsung keluar kamar, mengunci pintunya, memakai sepatu, berlari dan masuk ke dalam mobil. Bimo mengernyitkan dahinya melihatku mengenakan kacamata hitam.

“Ngapa lo? Tumben pake kacamata item? Kayak mau ngelenong lo,” kata Bimo sambil membuka kacamata hitam yang sedang kukenakan.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang