Dia, dua kali lipat lebih tampan dari Hanif. Aku bangkit dari sofa dan berjalan perlahan menghampiri orang itu. Dia mengulurkan tangannya.
“Adi Laksono,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“Luna …,” kataku sambil menjabat tangannya.
Ada desiran aneh yang menjalar di sekujur tubuh. Jantungku berdebar. Jiwa wanitaku seperti bergejolak. Pesona lelaki di hadapanku ini begitu memukau, hingga membuatku terpana pada pandangan pertama.
“Dia ini anak teknik lingkungan juga, umurnya 27 tahun. Datang dari Jogja. Nanti tolong kalian bantu carikan kosan ya,” kata Pak Bas memecah konsentrasiku pada karyawan baru itu.
Aku, Bimo dan Satria menganggukkan kepala.
“Oh, iya. Hari ini kita ke Cianjur ya, survei lokasi pabrik baru,” kata Pak Bas melanjutkan.
“Kok mendadak, Pak?” tanyaku.
“Iya, semalam saya diburu-buru suruh survei, jadi nanti kalian survei, saya bertemu klien. Nih uang jalan buat semua. Pegang, Lun,” jawab Pak Bas sembari memberiku uang sebanyak satu juta rupiah.
“Alat surveinya dibawa semua, Pak?”
“Yaiyalah, Lun. Gimana sih. Bimo sama Satria siapin alat ya, saya berangkat duluan,” pungkasnya sambil menepuk bahu Adi dan keluar dari kantor.
Aku mengambil mangkok bekas bubur yang kumakan tadi dan mencucinya di washtafel. Aku masuk ke ruanganku untuk mengambil kamera, beberapa lembar kertas dan bolpoin kemudian memasukkannya ke dalam tas. Bimo dan Satria tampak sibuk sendiri mempersiapkan peralatan survei. Sedangkan Adi membantu Mas Jaka memasukkan peralatan ke dalam bagasi mobil. Aku membawa tasku, berjalan menuju mobil lalu membuka pintu mobil bagian belakang dan duduk di dalamnya.
“Udah siap semua kan? Yuk berangkat keburu siang,” pekik Mas Jaka.
Satria terlihat berlari kecil menuju mobil, dia memilih duduk di depan, di sebelah kursi sopir, sedangkan aku duduk tepat di belakang Satria. Bimo terlihat sedang mengunci pintu kantor dan menutup gerbangnya disusul oleh Adi dan Mas Jaka. Bimo masuk mobil dan duduk di sebelahku. Sedangkan Adi duduk di sebelah kanan Bimo, di belakang Mas Jaka.
“Bismillah ….”
Brum … Brum …
Mas Jaka menginjak pedal gas dan melajukan mobil dengan cukup kencang. Di dalam mobil kami hanya diam, sampai tiba-tiba Bimo membuka percakapan untuk memecah keheningan.
“Mobil Pak Bas tadi baru lagi ya?”
“Iya, baru mulu mobilnya,” sahut Satria.
“Namanya juga horang kayah, suka-suka dia lah. Sirik aja lo!” aku menimpali.
“Galaknyaaaaaa …,” ucap Mas jaka sambil tertawa.
“Galak dia, Mas. Habis putus sama pacarnya. Hahahaha,” Bimo membocorkan rahasiaku lalu tertawa tanpa dosa.
Aku meremas kerudungku. Rasanya ingin sekali kudaratkan pukulan maut tepat di wajahnya. Tak ingin kalah, aku pun menimpali perkataanya.
“Sok-sokan dia, Mas Jak. Kemaren aja mau nangis dia dateng ke kawinan mantan,” kataku ketus.
“Oh, Si Ratna udah kawin ya? Hahaha. Kasian nasibmu, Bim,” ujar Mas Jaka.
“Udah, udah diem. Gue punya quote bagus nih buat kalian. Kemaren gue abis liat di TV. Mau tau gak? ‘Hidup itu kadang memang tidak adil … biasakanlah!’ Hahahaha,” kata Satria sembari menirukan suara Patrick Star dalam film kartun Spongebob.
“Bener-bener ya lo, Sat! Goblok emang! Hahaha,” Bimo tertawa terbahak-bahak.
Sialan sekali lelaki-lekali ini, gumamku. Terkadang aku benci bekerja di tempat yang lingkungan kerjanya kebanyakan lelaki. Mereka itu kalau bergosip, lidahnya lebih tajam dibandingkan lidah perempuan. Apalagi kalau meledek, sampai membuatku malu sendiri. Aku melirik ke arah Adi, dia terkekeh mendengar guyonan Satria. Hari ini, aku hanya bisa tertawa kecil karena menjaga image di depan karyawan baru. Entah kalau besok.
“Oh iya, di daerah kantor ada kos-kosan gak? Aku mau cari kos nanti,” ucap Adi dengan logat jawanya yang kental.
“Itu kosan Luna kan kos campur, ada yang kosong gak?” tanya Bimo padaku.
“Ada sih kosong, nanti aku tanya yang punya kosan dulu,” pungkasku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
RomancePerjalanan seorang wanita bernama Luna, yang berusaha keras melupakan mantan kekasihnya yang bernama Hanif. Ada begitu banyak konflik yang mewarnai cerita ini, baik hubungan percintaan, persahabatan maupun pekerjaan. Selamat membaca.