Bab 2 Bagian 3

6 0 0
                                    

Suasana di Jalan Raya Puncak siang ini amat panas. Tidak ada hiburan yang menyenangkan. Bimo, Satria dan Mas Jaka sedang asyik berbincang tentang penyebab rusaknya mobil operasional kantor ini, beberapa waktu yang lalu. Aku yang tidak paham dengan obrolan mereka, memilih untuk diam.

Kondisi jalanan yang berkelok-kelok membuatku pusing. Sedari tadi mataku melirik ke arah dashboard mobil, di mana sebuah pengharum mobil berwarna oranye teronggok. Beberapa waktu lalu sebelum mobil ini masuk bengkel, pengharum ruangan itu tidak ada. Mungkin baru.

Sesekali aku menyeka keringat yang membanjiri pelipis dan menutup mulut, gestur tubuhku terlihat seperti orang ingin muntah. Aku mencubit paha kiri Bimo.

“Gue mau muntah!”

“Hah, lo mau muntah? Perlu kresek gak?” tanya Bimo.

“Hah, Luna mau muntah?” sahut Mas Jaka sembari membelokkan mobil ke bahu jalan di sebelah kiri dan menghentikan mobil.

“Nih gue punya kresek bekas,” kata Satria sembari menoleh ke arah belakang dan menyerahkan plastik kresek padaku.

Aku menutup mata dan menghembuskan nafas berulang kali untuk menenangkan diri. Bimo mengambil plastik itu dan menyuruhku menggenggamnya. Aku membuka kaca jendela mobil dan mulai merasakan angin semilir menerpa wajahku. Angin yang kuhirup dalam-dalam, telah sukses membuat gejolak yang ada di dalam perutku mereda sedikit demi sedikit.

“Gak apa-apa, Mas Jaka, jalan aja. Aku mual doang gara-gara itu,” ujarku sambil menunjuk pewangi mobil yang ada di dashboard. Mereka semua terkekeh mendengar perkataanku.

“Nih, Mbak Luna, aku punya minyak angin,” ucap Adi sambil menyerahkan minyak angin padaku.

Aku langsung meraihnya, membuka tutupnya dan membalurkan minyak angin itu ke perutku, dan leherku. Sensasi panas mulai kurasakan.Minyak angin itu membuatku jadi lebih baik. Meski tubuhku beraroma seperti kakek-kakek tua yang sedang mabuk perjalanan.

“Lagian siapa sih, taruh begituan di situ? Yang bau jeruk lagi,” kataku ketus.

“Bau jeruk kan seger, Lun,” ucap Satria.

“Aduhh, gak suka aja pokoknya bau itu.”

Mas Jaka kemudian melanjutkan perjalanan. Aku terus melihat pewangi mobil itu dengan mata nanar. Aku merasa sangat tersiksa dan terancam dengan keberadaan pewangi mobil aroma buah jeruk itu. Hubungan rumit macam apa yang sedang dijalani antara pewangi mobil dan buah jeruk. Perpaduan mereka berdua sangat erat. Saking kuat ‘chemistry’-nya sampai membuat kebanyakan orang menjadi mabuk, sepertiku. Tadinya aku ingin bersabar menahan aroma itu untuk beberapa waktu, tetapi ternyata tidak tahan juga.

“Mas Jaka, tolong buang dong pewanginya, nanti aku ganti bau yang lain deh. Pleaseeeeeee,” kataku sambil memohon.

Mas Jaka akhirnya mengambil pewangi itu dan menyuruh Satria membuangnya ke tepi jalan. Satria memegang pewangi itu, membuka kaca jendela dan melemparkan barang jahanam itu jauh-jauh dariku.

“Yess! Makasih Mas Jaka, makasih Satria,” sahutku.

“Masih mending lo cium bau itu, Lun. Gimana kalo lo tadi ikut Pak Bas? Bau mobil baru, masih ada plastiknya lagi, hahaha,” ujar Bimo menimpali.

Ah. Iya. Aku benci kedua wewangian itu, pengharum ruangan aroma jeruk, dan bau mobil baru. Huekk!

“Sebentar lagi sampe proyek kok. Langsung nyebar masing-masing ya biar bisa cepet pulang,” kata Bimo.

Kami mendapat pekerjaan untuk survei lokasi proyek pembangunan pabrik di Cianjur. Aku memiliki tugas sebagai tukang foto-foto lokasi, Bimo sebagai tukang interview orang di sekitar lokasi proyek, Satria sebagai operator drone, dan Adi sebagai asisten Satria. Mas Jaka? Dia sebetulnya bisa melakukan pekerjaan kasar apa saja. Tetapi dia lebih memilih menunggu di sebuah warung kopi. Bimo pernah mengatakan sesuatu tentang Mas Jaka. Selama menunggu kami bekerja, Mas Jaka lebih senang menunggu di warung kopi, karena bisa bertemu dengan penjual kopi yang cantik. Entah gadis atau janda yang penting bisa digoda, katanya.

***

Mas Jaka memberhentikan mobilnya di depan lokasi proyek yang tertutup pintu seng setinggi dua meter. Seseorang membuka pintu itu dari dalam dan mempersilakan mobil kami masuk ke dalam lokasi. Aku mengedarkan pandanganku. Lokasi proyek yang akan kami survei adalah lahan bekas areal persawahan dengan luasan lahan yang cukup luas. Sekitar tujuh puluh hektar. Terlalu luas untuk kami yang hanya berjumlah empat orang saja. Setelah berdebat cukup panjang dengan Mas Jaka, akhirnya dia memilih membantu kami bekerja dari pada menggoda wanita di warung kopi.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang