Bab 2 Bagian 1

5 0 0
                                    

Aku melihat jam yang terpajang di dinding kamarku, waktu sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Artinya, aku harus segera berangkat ke kantor. Jarak dari kos menuju kantor cukup dekat, sekitar delapan ratus meter. Aku biasa berjalan kaki pulang dan pergi. Kadang aku meminta Bimo menjemputku, tapi lama-lama aku sadar diri aku sudah terlalu banyak merepotkan dia. Aku tidak berani kalau harus meminta jemput Satria atau Mas Jaka. Di antara kami berempat, hanya aku dan Bimo yang belum menikah. Aku tidak ingin dituduh menjadi perebut lelaki orang, hanya karena meminta diantar jemput.

Saat berjalan memasuki area lingkungan kantor, nampak dari kejauhan ada dua mobil sudah terparkir di depan gerbang kantorku. Satu adalah mobil operasional kantor dan satu lagi mobil sedan hitam … nampaknya mobil baru. Aku berjalan mendekati mobil, yang ternyata Civic keluaran terbaru dan mengintip ke dalamnya, joknya masih terbungkus oleh plastik. Aku membuka pintu gerbang dan melihat sebuah koper besar teronggok di depan pintu masuk kantor. Punya siapa nih, gumamku.

“Mobil Civic siapa itu di depan?” tanyaku pada Mas Jaka yang sudah tiba di kantor.

“Punya Pak Bas … mobil baru,” jawabnya pelan.

“Trus itu koper siapa?” aku menunjuk sebuah koper besar berwarna hitam di depan pintu kantor.

“Punya karyawan baru, dia lagi ngobrol di ruangan Pak Bas,” bisik Mas Jaka.

Oohhh. Aku membulatkan bibirku membentuk huruf o tanpa suara. Aku berjalan kembali ke ruanganku, meletakkan tas di atas meja kerja dan menyalakan komputer. Lalu aku melangkah dengan gontai menuju dapur untuk membuat sarapan. Seperti biasa, bubur bayi rasa beras merah, kesukaanku. Saat aku menuangkan air ke mangkok yang berisi bubuk bubur bayi, tiba-tiba Satria dan Bimo masuk ke kantor.

“Yaelah, Lun. Bubur bayi lagi gak bosen apa?” tanya Bimo.

“Biarin aja sih, Bim, ngurusin banget. Jangan-jangan lo suka nih sama Luna,” kini giliran Satria mengejek Bimo. Satria dan Mas Jaka tertawa dan diikuti oleh tawa Bimo.

Aku mengaduk-aduk bubur bayi itu tanpa memedulikan perkataan mereka. Kulangkahkan kakiku menuju sofa di ruang tamu, kemudian duduk dan menyantap sarapan pagiku. Aku memandang ke arah luar, cuaca begitu cerah. Nampak beberapa burung hinggap di dahan pohon depan kantor. Mereka dengan asyiknya bersenda gurau dan berkicau, sesekali melompat-lompat kecil dari satu ranting ke ranting lainnya. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Alhamdulillah. Pemandangan pagi, dan manisnya bubur bayi rasa beras merah ini membuat hidupku terasa sangat indah. Aku menikmati buburku sesuap demi sesuap, sampai aku terkejut mendengar suara pintu ruangan Pak Bas yang dibuka secara tiba-tiba.

“Lun, Sat, Bim, ayo sini kenalan sama temen baru kita nih,” kata Pak Bas.

Aku menoleh ke arah karyawan baru itu. Satria dan Bimo berjabat tangan dengan orang itu lalu memperkenalkan diri masing-masing. Aku memandangi karyawan baru itu cukup lama, dari atas kepala hingga ujung kaki. Seketika rasa manis bubur di mulutku berubah menjadi hambar, karena manisnya telah berpindah ke sosok lelaki itu. Aku menelan salivaku. Lelaki itu sangat tampan. Sorot matanya tajam, hidungnya mancung, bibirnya tipis bagian atas dan tebal di bagian bawah, alisnya tegas, dagunya seperti terbelah dua dan ditumbuhi rambut-rambut tipis. Rambutnya lurus rapi disisir belah pinggir, postur tubuhnya sempurnya. Tingginya mungkin sekitar 170 cm.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang