Bab 1 Bagian 7

6 0 0
                                    

Aku melihat kedua wajah pengantin itu sangat bahagia. Mereka saling melemparkan senyuman satu sama lain. Apalagi saat melihat mereka menyuapi pasangan masing-masing dengan kue yang tersedia. Beberapa tamu undangan berteriak, cieee …. Sungguh pemandangan yang sangat memilukan bagiku yang masih lajang ini, begitu pun dengan Bimo.

Aku melirik ke arah Bimo, dia sudah nampak gusar dengan pemandangan menyedihkan itu. Tangannya terlihat meremas-remas dengkulnya. Sesekali dia juga menggaruk-garuk kepalanya yang mungkin sebenarnya tidak gatal. Aku tahu, dia mencoba bertahan di situasi sulit ini untuk beberapa waktu ke depan. Namun, tampaknya dia sudah tidak tahan lagi.

“Lun, cabut yuk. Gak tahan gue. Salaman dulu sama pengantin terus kita keluar. Makan di mall aja lah,” ucap Bimo padaku.

Aku menganggukkan kepala. Bimo berdiri dan memaksa memegang tanganku. Dengan gestur memohon, dia meminta izin menggenggam tanganku sebentar saja. Tangannya dingin dan gemetar. Karena merasa iba padanya, aku pun menggenggam tangan Bimo dengan sangat erat. Bak pasangan yang baru saja berpacaran. Kami berjalan menuju pelaminan.

Beberapa tamu yang mengenali Bimo, terlihat menunjuk-nunjuk wajah Bimo dan berbisik-bisik. Pasti mereka bilang, “Itu mantannya Ratna, sama pacar baru. Kondangan pake kacamata item lagi,” begitu kira-kira yang ada di pikiran liarku. Biarlah.

Tibalah saat kami menaiki panggung pelaminan dan bersalaman dengan kedua orang tua mempelai wanita. Sesosok wanita tua, yang ternyata ibunya Ratna, memeluk Bimo dan mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Wanita tua itu menunjuk diriku dan bertanya kepada Bimo, apakah aku adalah pacar barunya. Bimo menganggukkan kepala dan meminta doa restu agar hubungan (?) kami berjalan lancar sampai pelaminan, tidak seperti hubungannya dengan Ratna. Begitu juga saat bersalaman dengan mempelai wanita dan mempelai pria. Bimo mengenalkan diriku sebagai kekasih barunya. Setelah sedikit berbasa-basi dan menerima ajakan keluarga mereka untuk berfoto bersama, akhirnya kami turun dari panggung pelaminan, dan langsung berjalan cepat menuju parkiran mobil.

Brum … Brum …

Bimo melajukan mobilnya dengan sangat cepat keluar dari areal perumahan itu.  Kami memutuskan untuk pergi ke sebuah mall yang ada di Kota Bogor. Aku pikir, mall adalah tempat yang tepat untuk sekadar mencari hiburan atau mencari makanan. Aku menyalakan mesin pemutar musik di mobil Bimo, untuk mengusir kegundahan di hatinya. Namun ternyata, daftar lagu yang ada di pemutar musik itu kebanyakan berisi elegi patah hati. Lagu pertama yang kami dengarkan adalah lagu berjudul Januari dari penyanyi Glenn Fredly.

Berat bebanku … Meninggalkanmu …

Separuh nafas jiwaku, sirna …

Bukan salahmu … Apa dayaku …

Mungkin benar cinta sejati, tak berpihak pada kita …

Aku dan Bimo bernyanyi bersama dengan penuh penghayatan. Kombinasi lirik dan alunan musik yang mendayu, telah sukses membuat kami semakin pilu. Tiba-tiba Bimo membuka kaca mobilnya, mengeluarkan kepala dan berteriak dengan sangat kencang. Beberapa orang yang sedang berjalan di pinggir jalan memandang ke arahnya. Dipikirnya orang gila. Lalu Bimo tertawa terbahak-bahak. Aku tahu Bim, ini adalah hari yang tepat untukmu bertingkah seperti orang sakit jiwa. Aku memakluminya.

Kriiinggg … Kriiinggg … Kriiinggg … Ponselku berbunyi.

Aku melihat layar ponsel, Si Kumis meneleponku.

“H-Halo, Pak?”

“Halo, Lun. Saya udah lihat beberapa kiriman CV orang yang melamar kerja di email kantor. Ada satu yang menarik. Coba nanti kamu kirim email balasan ke dia, senin besok suruh datang ke kantor. Namanya Adi Laksono,” ucapnya.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang