Bab 1 | Teman

485 20 6
                                    

"Gen, can you handle it from here?" tanyaku sambil memakai coat panjang untuk menutup diri dari cuaca dingin. Genevieve beralih memandangku sebentar lalu dengan sigap kembali menatap laptopnya.

"Just a sec, aku masih punya satu pertanyaan untukmu," dia menarik napas panjang, memasang wajah santai, dan entah apa itu aku bisa merasakan dia menyengir jahil.

"Apalagi? Ayo, cepat katakan saja aku harus buru-buru. Kamu tahu, kan, jika aku terlambat sedikit saja, jalan menuju rumahku akan banjir karena hujan seperti ini," aku mendengus kesal.

"Apa kamu akan menerima tawaranku waktu itu? Ayolah, temani asistenmu ini pergi ke acara pernikahan mantanku," Genevieve memasang wajah sedihnya, membujukku lagi.

Hmm, lagi-lagi pernikahan itu yang ada dipikirannya. Aku berpikir cepat. Lalu menatap wajah Gen yang hampir menangis.

"Baiklah, tapi kamu harus janji untuk tidak melakukan hal yang bodoh pada pernikahan bajingan seperti itu," aku menjawab tegas dan mengambil tasku. Mata Genevieve seketika berbinar kegirangan. Tiba-tiba dia memelukku erat.

"Ya, ampun! Terimakasih banyak bosku yang cantik! Aku bersumpah tidak akan melakukan hal bodoh di pernikahan orang-orang sialan itu. Sebagai gantinya aku akan menjamin kita harus memiliki pria sepulang dari sana," Gen masih memelukku erat. Dia berbicara seperti itu diiringi dengan tawa jahatnya.

"Well, tunggu apalagi Ayva Angelique Guinandra. Kamu tidak ingin kebanjiran di jalan pulang, bukan?" Gen menunjuk pintu keluar ruanganku. Aku menggeleng heran dengan kelakuan temanku yang satu ini. Dengan cepat berjalan menuju lift yang pintunya sebentar lagi tertutup.

Ding,

"Hei, tunggu!" aku berseru seraya berjalan lebih cepat lagi. Ugh, heels sialan. Kalau begini aku akan kebanjiran di jalan pulang. Dan tentu saja pintu lift itu sudah menutup sempurna ketika aku sudah berada di depannya.

"Huh, what a lucky day!" aku bergumam sambil tertawa kecil. Mau tidak mau aku harus menunggu lift selanjutnya. Kaca jendela kantorku yang lebar menunjukkan pemandangan kota yang diguyur hujan petang ini. Indah sekali, cahaya lampu-lampu gedung lainnnya terlihat remang-remang tersamarkan rintik hujan.

Aku terseyum kecil. Memutar otak menghitung detik-detik yang kuhabiskan untuk menunggu lift ini agar bisa sampai di rumah tanpa terjebak banjir. Yap, tidak mungkin. Sudah pasti hujan ini akan menggenang beberapa jalan di Ibukota. Hingga aku tidak menyadari jika sudah ada seorang pria yang juga menunggu lift di sebelahku.

Aku berdiri gugup karena hampir tidak ada jarak yang tersisa di sebelah kananku ini. Pria ini sangat mendominasi ruangan ini, pikirku. Lengan kemejanya sudah dia gulung setengah. Jasnya juga sudah ia sampirkan di bahunya. Tapi dia masih terlihat rapi dan tampan.

"Mau ke lantai berapa, Pak?" aku bertanya dengan senyum yang sopan.

"Pak? Kamu kira aku sudah tua?" pria itu menatapku tertawa pelan.

"Well, tidak. Tapi itu sopan, bukan?"

"Saya Darrell, senang bertemu dengan anda," Pria itu menjulurkan tangannya untuk bersalaman.

"Hai, saya Ayva senang bisa berkenalan dengan anda juga, Pak," aku tersenyum jahil. Darrell tersenyum mendengarnya.

"Jadi kamu bekerja disini Darrell? Baru kali ini aku melihatmu di kantor," aku kembali memulai percakapan. Sungguh aku bingung kenapa mulutku ini tiba-tiba tidak bisa diam? Padahal aku selalu bisa bersikap profesional di kantor. Pria itu menatapku lembut.

Setangkai Anggrek Bulan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang