2. Pergi

40 3 0
                                    

Saat ini, matahari masih malu-malu untuk menyapa, membuat awan membantu menutupinya.
Seorang gadis cantik sedang berada disekolah, tepatnya berada di tengah-tengah lapangan sendirian. Ia sedikit bernafas lega setidaknya matahari tidak menyerangnya saat ini.

Najwa Khairunnisa, seorang gadis cantik yang petakilan juga dikenal cukup nakal, kini harus menanggung resiko karena ketahuan bolos sekolah. Dijemur di tengah lapangan sama sekali tidak membuatnya jera, karena ini sudah menjadi rutinitas setiap paginya.

Di skor? Tidak perlu ditanyakan, sudah sering sekolah menerapkan. Tapi, hal itu justru membuat Najwa semakin senang, baginya ia tidak perlu membolos lagi karena sekolah dengan sukarela membiarkan dia bolos.

Aneh? Tentu, dirinya terlalu aneh bagi orang yang normal. Dia tak pernah mengeluh saat dihukum, dia juga enggan menggubris saat orang lain mencelanya, baginya selagi masih dalam batasan tidak akan ia hiraukan, tetapi jika sudah kelewat batas jangan harap ia akan toleran, begitulah dirinya saat menghadapi kenyataan.

Berada di lingkungan orang kaya tidak membuatnya bahagia, karena yang ia butuhkan hanyalah kehangatan sebuah keluarga. Tetapi, itu semua tidak lagi ia dapatkan, membuat dirinya menjadi sosok yang pendiam.

Tak ada lagi senyum tulus di bibirnya, hanya ada senyum penutup luka yang ia perlihatkan kepada dunia. Kesedihannya mampu ia sembunyikan dengan sempurna, sehingga banyak yang menganggap hidupnya terlalu bahagia. Ia berhasil menyembunyikan lukanya dengan senyum palsu yang ia tampakkan.

Tak bisa dipungkiri, ia tidak memiliki satu pun teman, banyak yang memilih untuk menjauhinya, dirinya yang introvert tidak memperdulikan hal itu. Baginya, akan sangat bagus jika orang-orang menjauhi diri darinya, sehingga dia tidak perlu repot-repot untuk menjauh. Sungguh sependek itu pemikirannya.

Sekarang sang bagaskara sudah tidak merasa malu, yang membuat Najwa merasa tersiksa akan semangat dari sang mentari.

"Gila, panas banget, ni lagi matahari kenapa harus panas sih? Ntar kulit gue kebakar gimana? Ntar kalo gue jadi jelek gimana?" rutuknya.

Karena merasa tidak kuat melawan panasnya sang Surya, membuatnya segera pergi dari lapangan menuju kantin sekolah. Ia juga menulikan pendengarannya dari omelan rohani pak Tono si guru BK.

"Biii, pesen bakso sama es teh satu, cepetan ya Bi," teriaknya kepada pemilik kantin, membuat Bi Ijah menggelengkan kepalanya.

"Iya non, sabar," sahut Bi Ijah.

Tidak perlu waktu lama, semangkuk bakso dan segelas es teh sudah tersaji di depan matanya. Hal ini sontak menaikkan tingkat kelaparan dan kehausannya semakin menjadi-jadi. Tidak ingin membuang-buang waktu lebih lama lagi, ia langsung menyantap makanan yang tersaji.

"Kenyang juga, nih perut gua," ujarnya sembari mengusap-usap perutnya, di akhiri sendawa yang  cukup keras.

"Masuk kelas aja kali ya, udah jam kedua juga," monolognya.

"Udahlah, masuk kelas aja, siapa tau tiba-tiba jadi pinter hhi," cekikiknya, sembari berjalan menghampiri pemilik kantin yang sedang memasak.

"Nih bi uangnya, makasih," ujarnya sembari menyodorkan uang sepuluh ribu.

"Iya non, sama-sama."

Kemudian ia pun bergegas menuju ke kelasnya yang berada di lantai 3. Sekolah ini terdiri dari 3 lantai, lantai pertama kelas 10, lantai kedua kelas 11, dan lantai ketiga kelas 12. Sekolah ini juga memiliki 4 gedung, gedung pertama gedung IPS, kedua IPA, ketiga Perpus, Kantor, dan Ruang guru. Terakhir, gedung olahraga dan kesenian.

Sampainya di kelas ia langsung menyelonong masuk, tidak memperdulikan bu Tita yang tengah mengajar, membuat guru tersebut mengeram marah.

"Najwa!!!" teriak bu Tita membuat Najwa memutar bola matanya.

Mengejar Cinta sang UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang