10. Rahman jatuh cinta?

14 3 0
                                    

Seperti hari Jum'at biasanya, kami melakukan kerja bakti. Aku sebagai salah satu pengurus pondok, harus memantau kegiatan santri. Hari ini aku ditugaskan untuk mengawas kegiatan di halaman belakang. Mau gak mau harus ku jalani.

Saat melihat seorang santri yang bersusah payah mengangkat rumput, aku pun turun tangan membantunya. Sebelum itu, aku sempat menyimpan peci hitam ku di atas kursi.

Cukup lelah juga, mengawasi kegiatan mereka terus menerus, karena jika tidak diawasi pasti mereka akan bermalas-malasan. Kenapa aku bisa tau? Karena aku dulunya juga seperti itu.

Dari tempat ku berdiri, aku bisa melihat para santriwati yang juga tengah melaksanakan kerja bakti. Salah satu santri disana menarik perhatian ku, Dirinya yang memakai hijab navy, juga sarung berwarna abu-abu itu menarik sekali. Seperti ada sesuatu yang membuat ku betah menatap dirinya.

Karena tersadar akan perbuatan ku, aku pun segera memalingkan muka, dan fokus menatap para santri, bahkan di antara mereka sudah ada yang turun ke kali, untuk dibersihkan. Mata ku tetap mengawasi mereka, hingga satu suara dengan cepat menggagalkan fokusku.

"Assalamualaikum kang," ucap seseorang, suaranya itu lembut sekali, saat aku berbalik. Ternyata pemilik suara itu adalah santri yang menarik perhatianku tadi, langsung saja aku merapikan pakaianku, dan dengan segera memakai peci hitam yang ku simpan tadi.

"Wa-alaikummussalam," Entah apa yang terjadi, sehingga aku menjawab dengan terbata-bata.

"Ehm, kang jadi suami Najwa mau ga?" ujar gadis itu membuat ku terkejut.

"Hah? Emang k-aamuu kel-as berapa?" ujar ku, entah kenapa aku terus terbata-bata.

"Kelas dua belas kang," jawab gadis itu, wah kebetulan ataum emang rezeki anak soleh?

"Ya udah, ntar pas kamu lulus, aku ke rumah kamu," ucap ku mantap, yang ini ga boleh disia-siakan dong.

"Ngapain kang? Kan habis lulus, aku belum tentu ngadain hajatan di rumah," ujar gadis itu bingung, dan aku ikut binggung dan heran akan ucapan gadis itu.

"Bukan buat hajatan, tapi buat ngelamar kamu. Kan katanya tadi minta jadi suami?" ucap ku sambil menaik-turunkan alis, biar terkesan ganteng aku nambah gitu.

"Eh, ga kang. Tadi aku cuma bercanda, jangan dianggap serius ya," ujar gadis itu tampak panik, membuat wajahnya terkesan sangat lucu di mataku.

"Kalo aku anggap serius gimana?" ujar ku lagi, menambah kepanikan gadis itu.

"Jangan serius, aku cuma taruhan sama temen" ujar gadis itu, mungkin berharap aku akan marah. Marah ? Pasti. Tapi, mau bagaimana lagi kalo sudah terlanjur begini, tapi kan ada untungnya, dari taruhan itu aku bisa deket sama dia.

"Ya gapapa dong, selain kamu menang taruhan dan dapat hadiah kamu juga dapat hadiah dari aku," ujar ku lagi.

"Ha-diiah a-paa?" ucap gadis itu terbata-bata, ternyata lucu juga ya.

"Mahar, kan aku bakalan nikahin kamu," ucap ku lagi, kek nya dia semakin panik.

Gadis itu seperti nya tak tahan lagi, ia pun pergi dari hadapan ku, tentu hal itu tak lepas dari mata santri lain yang ada disana.

"Eh, kamu tunggu dulu. Namanya siapa? Biar aku bisa ngomong dengan pak Yai," teriak ku, namun diacuhkan oleh gadis itu. Ia pergi meninggalkan halaman belakang dan berlalu ke kamar sepertinya. Ku lihat Teman-temannya juga ikut menyusul gadis itu.

Dan untuk hal tadi aku memang bener-bener ingin memintanya pada pak Yai, tapi aku lupa namanya. Tapi, bukankah tadi dia sudah nyebutin namanya ya? Siapa tadi ya?

Na,,, Na apa ya? Nawa, ya Nawa. Yes, eh emang ada ya yang namanya Nawa? Bukan kali. Oke otak, mulailah berfikir....

Otak ku belike: Load °°°°°

Lama bener, dahlah kita mikir ga usah pkek otak, kita pakek hati aja. Oke hati, tentukan pilihan calon untukku....

Hati belike: Ogah, biarin situ jomblo!

Astaghfirullah, kok hati sama otak ga bisa diajak kerja sama.

Oke lupakan aku bakalan mikir lagi, Na dan Wa bakalan menjadi... hah! Najwa......
Yes, akhirnya aku bisa menebak calon makmum untuk diriku.... Senangnya dalam hati, bila jadi suaminya Najwa.

Bentar dah, Kok aku jadi gini? Kenapa kayak gini? Apa ini yang dinamakan Cinta? Oh Tuhan,,, apakah hamba mu ini sedang jatuh cinta? Aku tak menyangka bisa jatuh cinta secepat ini.

Tapi, apakah jatuh cinta rasanya seperti ini? Dasar cinta, kenapa harus datang sekarang, kenapa ga dari dulu aja. Eh, tapi kalo dari dulu berarti aku jatuh cinta bukan dengan Najwa dong. Ah, Cinta kamu datang disaat yang tepat. Disaat aku sudah lulus, dan dia tinggal setahun lagi menimba Ilmu.

Tak terasa khayalan ku, eh pemikiran ku memakan waktu cukup lama. Setelah tersadar, ternyata semua santri sudah mengerjakan tugasnya. Aku pun memutuskan untuk kembali ke kamar, dan kembali merencanakan kehidupanku dan Najwa di masa depan. Ah, sungguh tak sabar, kapan ya?

Eh, astaghfirullah, kenapa aku jadi seperti ini? Bukankah ini sudah termasuk dosa zina?
Ga, aku ga boleh kek gini, kalo aku memang cinta sama dia, aku harus meminta petunjuk dari Allah. Aku harus salat istikharah, apakah ini benar-benar cinta atau hanya kekaguman semata.

Tak terasa hari semakin siang, sebentar lagi azan dzuhur. Aku pun bergegas siap-siap dan berjalan pergi menuju ke masjid. Ku lihat banyak para santri yang masih berleha-leha di dalam kamarnya. Berhubung aku seorang pengurus pondok, mau tak mau harus menegur mereka semua.

"Hey!!! Bangun! Salat dzuhur! Lima menit belum di masjid, siap-siap menguras bak mandi!"

Setelah mengatakan hal itu, aku pun berjalan meninggalkan mereka, ku lihat mereka kocar-kacir, ketakutan akan di takzir sungguh mendarah daging bagi mereka.

'Allahu Akbar'
'Allahu Akbar'
'Allahu Akbar Allahu Akbar'

Gema adzan dzuhur memenuhi seisi pesantren, semua santri sudah berkumpul. Hari ini adalah bagianku untuk menjadi imam.

Selesainya, tidak ada kegiatan sampai jam satu, karena kegiatan selanjutnya adalah isoma. Aku pun berjalan ke dapur umum untuk mengambil jatah makan.

Di dapur aku melihat Najwa dan teman-temannya yang menjadi pengurus konsumsi, kesempatan sepertinya ini.

Aku pun berjalan dengan membawa piring menuju ke arah mereka. Saat sampai di sana, Najwa yang melihat ku cukup terkejut. Dan aku malah tersenyum melihatnya.

Aku menyodorkan piringku dan ia pun mulai mengambil kan nasi untukku.

"Segini kang?" tanyanya.

"Iya, terserah kamu," ucapku.

Setelah itu ia pun mengambil piringku dan mengisi nya dengan lauk pauk, dan setelah terisi ia pun mengembalikan kepada ku.

Aku pun berjalan keluar, setibanya di kamar aku malah tersenyum bukannya langsung makan. Entah lah, pengaruh cinta sekuat ini ternyata.

******

Mengejar Cinta sang UstadzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang