Part 14 : Khitbah

210 15 2
                                    

Raina membuka pintu rumahnya dengan lesu. Seharian ini, rasanya beban pekerjaan benar benar bersekongkol untuk membuat dirinya lelah bukan main. Kepergian Pak Bosnya dengan tiba-tiba meninggalkan setumpuk pekerjaan yang harus ia handle. Hingga hari ini, terhitung hari ke tujuh ia selalu lembur dalam menjalani hari.

"Lembur lagi Rain?" Tanya Mama Raina ketika melihat wajah yang tidak bersahabat dari putri tunggalnya.

Raina menghela napas, "Iya ma." Raina tetap tersenyum, karena bagaimana pun ini sudah menjadi resikonya bekerja di perusahaan sebesar kantor Pak Bosnya.

"Kamu bersih bersih gih, terus makan. Mama mau bicarain sesuatu sama kamu," Raina menatap mamanya sekilas. Tak biasanya mamanya memberitahu tentang apa yang ia ingin sampaikan. Tapi sudahlah, Raina malas berpikir lebih jauh untuk kali ini.

Dibawah guyuran shower, mata indah Raina terpejam damai. Mencoba mengenyahkan hal hal negatif yang selalu ada dipikirinnya sejenak. Namun nyatanya, pikiran negatif itu hanya seputar interaksinya dengan Raka. Bagaimana takdir membawa mereka kembali bertemu, setelah ada hati yang bersusah payah untuk sembuh.

"Mama mau ngomong apa?" Raina duduk dis ebelah mamanya dengan handuk yang bertengger manis di kepalanya.

"Rain belum makan? Udah malem banget loh," Mama Raina mengusap lengan Raina, seolah memberinya kehangatan.

Raina tersenyum. Mamanya ini benar benar posesif mengenai makanan. Tak ingin mendengar alasan untuk Raina tidak makan sekalipun. Pernah suatu ketika, mamanya melarang Raina untuk pergi sekolah, hanya karena Raina kesiangan bangun dan alhasil ia tak sempat sarapan. Dan untunglah, Raina yang pandai meluluhkan hati mamanya ini, menjanjikan akan makan di kantin sekolah untuk memberikan pengertian kepada mamanya.

"Saking seriusnya nonton sinetron sih, mama ga nyadar kalau Raina udah makan tadi," Raina terkekeh, mengingat bagaimana mamanya ini akan lupa segala hal ketika sudah berada di dunia sinetron favoritnya. Anaknya saja bisa dilupakan.

"Mama belum jawab pertanyaan Raina loh, mama mau ngomong apa sih sebenernya?"

Mama Raina menatap anaknya ini seraya tersenyum hangat, "Umur kamu udah 23 tahun kan Rain? " Raina mengangguk hati-hati. Perasaannya mulai tak enak.

"Diumur kamu yang sekarang, apa kamu gaada niatan untuk mengenalkan calon kamu ke depan mama? Teman teman sebaya kamu udah banyak yang berumah tangga loh Rain,"

Raina menahan napasnya. Benarkan feeling seorang anak yang tiba tiba diajak mengobrol serius dengan sang ibunda. Pasti ujung ujungnya tak jauh dari masalah pribadinya. Dan Raina membenarkan fakta ini.

"Ma, Raina mau fokus karir dulu. Masih banyak hal yang belum Raina raih, bahkan bahagiain mama aja belum Raina lakuin, jadi mama sabar dulu ya,"

Sungguh. Satu hal yang sulit Raina lakukan dalam hidupnya adalah menolak ucapan mamanya. Bahkan tak pernah terpikirkan dalam benak Raina untuk melakukan itu. Namun kini, bukan hal main main yang bisa Raina lakukan dengan mudahnya.

"Kamu salah Rain. Mama udah bahagia untuk semua yang udah kamu dapatkan sampai hari ini, bahkan hari hari mama selalu bahagia saat ada kamu dihidup mama. Dan sekarang, mama ingin kamu yang bahagia karena mama ga bisa ngasih kebahagiaan dalam hidup kamu nak," Mata Raina memanas mendengar ucapan mamanya.

"Ma, mama ngomong apa sih? Raina juga selalu bahagia bisa sama sama terus sama mama. Jangan ngomong kaya gitu. Kebahagiaan Raina itu cuma sama mama, " Raina tak kuasa menahan air matanya. Katakan ia cengeng. Namun apapun yang berkaitan dengan mamanya mampu membuatnya menjadi gadis paling rapuh yang pernah ada.

Mama Raina tersenyum, "Sekarang mama mau liat kamu lebih bahagia daripada sama mama. Kamu harus bahagia ya nak,"

Raina tak menjawab. Ia memeluk mamanya erat tak tau harus berucap apa. Lidahnya seaakan kelu, bahkan lebih kelu dibandingkan ketika sedang di interview.

𝐌𝐲 𝐁𝐞𝐥𝐨𝐯𝐞𝐝 𝐌𝐚𝐧𝐭𝐚𝐧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang