Satu

10K 123 1
                                    


Kuhirup udara dengan menarik napas dalam. Kurentangkan tangan seolah memeluk angin yang berembus kencang menerpa wajah dan raga yang lelah setelah perjalanan panjang.

Belasan jam kutempuh untuk kembali ke tanah ini. Ke negeri, tempatku dilahirkan juga dibesarkan. Lama berada di negeri orang tak membuat diri lupa akan aroma tanah merah yang begitu harum ketika terguyur sang bayu saat penghujan menyapa.

Desir angin yang berembus membawa serta debu dan aroma khas tanah tropis begitu kurindukan. Bertahun lamanya aku hidup di negeri empat musim.

Negeri kincir angin. Belanda. Aku mendapatkan beasiswa dengan sponsor perusahaan ternama. Bagaikan mimpi di siang hari bagi seorang anak petani miskin bisa hidup nyaman di negeri orang.

Berlimpah fasilitas yang mewah bagi ukuran seorang mahasiswa. Uang saku juga yang bisa lebih dari cukup bahkan bisa kukirimkan kembali ke tanah air untuk tambahan biaya sekolah adikku yang di Indonesia.

Setiap orang iri akan peruntungan seorang Azam. Lelaki pintar tapi tak bermodal hingga bisa menggapai strata dua di tanah orang. Itupun dengan modal keberuntungan semata.

"Hai, sudah lama?" Seorang gadis cantik berpenampilan sangat modis dan trendy berdiri mematung di hadapanku dengan memasang senyum termanis.

"Rima! Apa kabarmu? Belum lama ini kok. Baru landing. Kamu sengaja menjemputku?"

Aku terpaku akan pesona gadis berusia terpaut 3 tahun dariku. Berkat bantuan dirinya yang meminta Papanya untuk mensponsori biaya kuliah aku bisa jadi sarjana. Rima memang selalu jadi orang yang perduli padaku. Menjadi orang yang berada dibalik kesuksesanku.

"Yes, Mr. Kami punya perayaan kecil-kecilan atas raihan prestasimu. Kami mengundang kamu untuk makan malam bersama. Papa sudah reservasi loh. Kamu tinggal ikut aku saja, ok!"

Kutelan saliva tanpa daya. Apakah aku harus mengikuti gadis manis berbaju minimalis ini atau segera pulang menyapa ayah dan ibu yang sudah pasti menunggu anak kesayangannya datang?

Menolak tak enak. Mengikut merasa tersudut. Merasa menjadi anak tak berbakti tak menjadikan orang tua tujuan pertama pulang ke rumah.

Walau enggan aku ikut karena segan. Mengingat jasa besar Rima dan keluarga atas segala pencapaian yang ada. Aku sungkan menolak mereka.

******

"Apa?!" Seketika makanan yang kumakan hampir aku muntahkan kembali. Perkataan Tuan besar membuatku tersedak dan sakit tenggorokan.

"Seperti yang aku katakan tadi. Kamu sudah kembali saatya memegang anak perusahaan. Aku percaya jika kamu punya bekal yang mumpuni untuk memimpin salah satu perusahaan keluarga kami, Azam.

Sebagai langkah pertama kami ingin kamu dan Rima segera menikah. Agar tidak sungkan merealisasikan rencana ini jika kita sudah menjadi bagian keluarga.

Kamu juga tahu kami berinvestasi tak sedikit dengan mengirim kuliah di universitas ternama. Kami juga beri fasilitas super mewah selama di sana.

Saat ini waktunya kamu membalas semua yang kamu terima. Tak ada yang gratis di dunia. Betul kan, Azam, Rima?"

Suara pelan penuh kharisma itu seakan menjadi guntur yang mengelegar. Menghancurkan harga diri dan kebanggaan yang kubawa serta dengan titel yang berada di belakang nama.

Aku merasa seperti sapi perahan yang diberi makan enak dan segera harus diperah diambil susunya.

Umpama ayam pedaging yang diberi pakan penuh nutrisi juga vaksin kebal penyakit tapi bersiap disembelih dan jadi santapan enak di meja makan.

Pembantuku Maduku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang