Hilang TanpaMu

590 40 5
                                    

Tinggal 2 bab terakhir, nih...
Terima kasih bagi teman-teman yang sudah bersedia meluangkan waktu sampai bab ini.

________________________

"Pa, Ai pulang, ya," pamit Ai pada papanya, saat mereka sudah hendak masuk ke ruang check in di bandara King Abdul Aziz di Jeddah.
"Iya, kamu baik-baik, ya. Terima kasih untuk kehadiran kamu di sini," balas papanya. Keduanya pun saling memeluk sedikit lama.
Sangat berat di hati Ai untuk melepaskan, ia pejamkan mata dan mengeratkan pelukan, lalu melepasnya.
"Sebulan lagi kalau tidak ada kendala Ai akan datang lagi. Sekalian lihat perkembangan kesehatan papa. Mungkin akan bawa mama juga," ucap Ai, setelah bersalaman mencium tangan papanya.
"Dira pamit juga, ya, pak. Terima kasih untuk semuanya selama Dira di sini," ucap Dira, tulus.
"Saya yang harusnya banyak berterima kasih," balas Pak Toha. "Oh, iya. Sabar-sabar, ya, kerja sama Ai. Dia emang ngeselin, tapi sebenarnya baik," gurau Pak Toha, sambil tersenyum.
Hari itu mereka berdua pulang ke Jakarta. Bertemu lagi dengan orang rumah yang tentu saja sudah sangat mereka rindukan. Bagi Dira pengalaman kerja ini adalah pengalaman yang tidak akan mudah ia lupakan. Perjalanan dua bulan bukan lah perjalanan singkat. Ia harus berjibaku dengan banyak hal, mengalami banyak kejadian, dan mencoba memahami segala hal. Baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun dengan kehidupan pribadi.
Jakarta dan segala hiruk pikuknya membuat semua penghuninya selalu ingin kembali. Dira diberikan libur tiga hari setelah sampai rumah, dan itu dia manfaatkan untuk berkumpul keluarga serta menikmati segala sesuatu yang dia rindukan. Tentu saja hal paling istimewa yang sekarang sudah bisa dijamah adalah suami tercinta.
"Yang, aku tahu uang kamu sudah banyak, sekarang. Tapi kamu masih mau, kan, nongkrong di tempat favorit kita biasanya?" Tanya Hikam, usai mereka melaksanakan salat isya.
"Ya masih, dong Mas. Udah dua bulan kita nggak ngobrol di situ," jawab Dira.
Mereka punya sebuah tempat ngobrol yang sejak lama menjadi tempat favorit mereka. Jadi di dekat rumah ada masjid yang juga ada tempat untuk sekolah madrasahnya, nah di situ ada mainan ayunan, jungkat jungkit dan beberapa mainan khas warna warni yang biasanya ada di sekolah TK maupun di depan masjid yang ada madrasahnya. Selepas isya biasanya sudah sepi dan gerbang masjid dikunci, tapi Dira dan suaminya bisa masuk karena Hikam adalah pengurus masjid dan madrasahnya. Dan biasanya mereka berdua mengobrol santai di ayunan yang berjejer.
"Bagaimana rasanya menjadi tenaga profesional di negeri orang?" Tanya Hikam.
"Menyenangkan, sih, Mas. Tapi mungkin akan lebih menyenangkan kalau sama kamu," jawab Dira, manja.
"Maaf, tidak bisa menemani," balas Hikam, sambil terus tersenyum bahagia.
"Harusnya Aku yang minta maaf, udah tinggalin kamu," kata Dira.
"Kalau begitu tidak ada yang perlu minta maaf, semua pencapaian ini adalah kesepakatan kita. Iya, kan?"
"Iya, Mas. Tapi selama dua bulan kita berjauhan kemarin, sempat beberapa kali aku marasa tak aman pada hubungan kita. Dan perasaan itu selalu datang ketika aku..." ada hal berat yang ingin Dira ucapkan.
Lalu Hikam menyahuti ucapan istrinya, "Merasa bersalah karena tidak bisa memberikan keturunan?" Hikam mengambil tangan kanan Dira, sambil keduanya tetap berayun. "Dengarkan aku. Yang berhak mengadakan segala sesuatu itu bukan kita. Aku memiliki dirimu, dan hanya ingin memilikimu tanpa meminta sesuatu. Apa yang kamu inginkan aku juga mau, dan kita akan tetap berjuang bersama."
"Terima kasih, Mas," ucap Dira, berat.
"Kamu kenapa, Yang?" Tanya Hikam, masih merasa tak nyaman dengan ekspresi Dira.
Dira menghela napas untuk mengatakan sesuatu yang dia simpan,
"Aku ingin mengatakan kalau aku ingin berhenti bekerja untuk membantu usahamu, tapi aku tidak bisa, karena aku merasa senang dengan pekerjaan ini."
"Aku tidak memintamu berhenti," balas Hikam, bingung.
"Iya, aku tahu, tapi bagaimana jika aku selalu pergi sementara ada perempuan lain yang selalu ada buat kamu, bahkan dia membantu mewujudkan semua impian kamu," akhirnya ketahuan kalau ternyata Dira masih merasa tidak aman dengan kehadiran Rani, adik perempuan teman Hikam yang membantunya mengembangkan bisnis mi ayam.
"Maksud kamu Rani?"
"Jangan sebut namanya, deh," ucap Dira, manja.
"Ok, ok, maaf. Jadi dia itu membantuku karena diminta kakaknya, sambil mengisi waktu. Besok lusa dia sudah harus berangkat ke Jepang untuk melanjutkan beasiswa S2 nya di sana," Hikam mencoba menjelaskan sejujur-jujurnya.
"Kok kamu tahu detil, pasti kalian sudah dekat," Dira masih sengit.
"Dia itu lima minggu bekerja di kedai kita untuk menjadi konsultan. Konsultan itu pekerjaannya temporari, jadi akan berhenti jika kita sudah selesai dengan jasanya," jelas Hikam, mulai capai dengan sikap Dira. "Nona manis, udah, dong cemburunya," rayu Hikam.
"Ya udah deh, aku percaya aja sama kamu," ucap Dira.
"Pulang, yuk," ajak Hikam.
"Lapar. Kita ke toko buah Bu Jum, yuk," pinta Dira.
"Lapar kok beli buah. Nasi goreng tek tek, dong, enak," kata Hikam.
"Ogah, ntar tidurnya ngorok, terus bangunnya males," jawab Dira.
"Kalau ngorok bales kentut aja, kan jadi rame kamar kita," balas Hikam. "Eh, Yang, aku perhatikan gaya makan kamu kayanya udah ketularan orang kaya, deh. Mulai kurangin garem, lah, bebas gula, lah, makan malam pakai buah aja," komentar Hikam, tak penting.
"Yang. Kita itu bukan pegawai negeri, nggak punya BPJS, ntar kalo aku sakit, sayang dong tabungan kita. Udah hemat-hemat, bukannya buat seneng-seneng, malah dipakai sakit-sakit," kata Dira.
"Iya juga, ya. Ya udah deh aku ikut."
"Ikut ke mana?"
"Ke mana saja kamu pergi," Hikam menggombal.
Dira semakin menyadari bahwa yang terpenting baginya saat ini adalah tetap menjalankan semua tugas dengan baik. Tugas sebagai istri, tugas sebagai anak dari orang tua yang masih utuh, juga tugas dalam mengemban pekerjaan yang sudah dipilih. Tanggung jawab terhadap sesama manusia harus dijalankan dengan baik, sebagai tolok ukur hubungan baik dengan sang pencipta.
***
Sehari setelah sampai rumah Ai sudah langsung mengambil pertemuan penting dengan pihak peminjam dana yang menjadikan gudang bersejarah menjadi jaminannya.
"Sesuai permintaan bapak, uangnya saya kembalikan secara tunai," kata Ai, sambil memberikan tas berisi tumpukan uang.
"Jangan pergi sebelum staf saya selesai menghitung," pinta peminjam.
"Bapak tak perlu meragukan akurasi perhitungan saya. Saya akan tinggalkan asisten saya untuk menunggu perhitungan selesai. Kalau ada kurang-kurang bapak tinggal minta sama dia," kata Ai, seraya berdiri dari tempat duduknya dan mendudukkan Janu di tempatnya. "Dia juga orang akuntan, pak."
"Ai, kamu apa-apaan, sih?" Kata Janu bingung.
"Aku ada janji makan siang sama mama," bisik Ai. Dan dia pun melenggang pergi meninggalkan Janu.
Seringkali Ai memang malas berurusan dengan peminjam dana seperti itu, untung ada Janu yang selalu bisa diandalkan. Selepas dari sana Ai menjemput mamanya untuk makan siang bersamanya.
"Mama pingin makan siang apa?" Tanya Ai.
"Mi ayam kayanya enak, deh," kata mamanya.
"Kita ke warung Mas Hikam aja. Itu lo, mbak suaminya Mbak Dira yang asisten Mbak Ai," sahut sopirnya.
"Suaminya Dira buka usaha mi ayam?" Tanya mamanya.
"Iya, ma. Udah lama, tapi baru buka kedainya bulan lalu, sepertinya," jelas Ai.
"Boleh, deh, kita coba makan di sana."
Sesampainya di kedai Hikam merasa terkejut, karena baginya Ai adalah atasan istrinya yang dia hormati.
"Mbak Ai kenapa repot-repot datang, harusnya tinggal telepon saja. Ada layanan pesan antarnya, kok," sambut Hikam, ramah.
"Mama pingin makan siang mi ayam di luar, jadi sepertinya kedai kamu bisa jadi pilihan," balas Ai.
Kedai mi ayam milik Hikam itu memiliki penataan yang cukup baik dan nyaman. Memang seperti kedai mi ayam pada umumnya yang terbuka dan hanya menggunakan bantuan kipas angin sebagai penyejuk, namun kebersihannya terjaga, meski sedang ramai pengunjung. Meja kursi yang digunakan juga terlihat bagus dan kokoh secara keamanan dan kenyamanan. Senyum Ai sedikit tersenyum ketika melihat di pojokan meja ada label KIN Galeri.
"Mbak Ai, benar-benar singgah ke sini?" Tetiba Dira muncul, mengejutkan. "Eh ada Ibuk juga," sapanya pada Mama Ai, dan menyalaminya.
Lalu obrolan mengalir di antara mereka, sambil menikmati mi ayam yang sudah tersaji di hadapan mereka. Ada banyak cerita lucu dan seru mengenai pengalaman selama di saudi, tak jarang tawa menghiasi obrolan mereka, sampai tiba-tiba obrolan terhenti saat Dira menyebut nama Azura.
"Eh, Mbak, si Azura penyelam itu apa kabar, ya, mbak? Kangen juga sama dia," kata Dira, tanpa beban.
"Pasti baik-baik saja," balas Ai, canggung.
"Ah iya, mama ingat sama dia, dia itu teman kamu waktu di amerika, kan?" Balas mamanya, mengingat.
"Ma, mama jadi belanja tas baru, kan? Ai sudah telepon teman Ai yang supervisor di sana," Ai mengalihkan pembicaraan dan mengajak mamanya untuk segera pergi, karena memang makanan mereka sudah habis.
Ai segera ke kasir dan membayar makanan mereka, lalu pergi. Dira dan Hikam mengantar mereka hingga ke mobil.
"Mie-nya enak. Nanti akan tante promosikan ke teman-teman tante. Good luck ya buat kalian..." ucap mama Ai. "Tapi Dira masih tetap kerja sama Ai, kan?" Tanyanya pada Dira.
"Masih, dong Buk," balas Dira, sambil tersenyum.
Dalam perjalanan Ai masih diam saja, ada rasa khawatir jika mamanya mengingat semua tentang Azura yang memang sudah dia kubur sejak empat belas tahun yang lalu. Tak ada obrolan hingga terlewat waktu lima menit, sampai akhirnya mamanya mulai angkat bicara.
"Jadi Dira tidak tahu mengenai Azura?" Tanya mamanya, tanpa basa basi.
"Azura yang dia katakan tadi..."
"Jangan bohong!" Sahut mamanya, dengan nada cukup tegas.
Ai melihat ke arah sopirnya, memberikan isyarat pada mamanya untuk tidak melanjutkan pembicaraan perihal Azura.
"Kita langsung pulang saja, pak," pinta mamanya.
"Baik Bu."
Sesampainya mereka di rumah, Ai masih saja diam, dan takut membuka pembicaraan.
"Kalau kamu tidak bohong mama tidak akan kecewa," ucap mamanya sambil mengupas jeruk di meja bar dekat ruang televisi. "Duduk sini," perintah mamanya pada Ai.
"Apa yang ingin mama dengar dariku? Dua bulan kemarin cukup berat bagiku, banyak hal tak terduga terjadi, saya juga berat meninggalkan mama, papa sakit tanpa sepengetahuan saya, kehadiran Azura juga menambah deretan beban yang memberatkan," kata panjang itu terderet di benaknya, namun seperti biasa, yang keluar hanya kata, "Maaf, Ma."
"Ai, nama itu tidak akan mudah hilang dari ingatan mama, karena dia sampai tiga kali kamu batal menikah. Mama membencinya, sangat benci. Dan itu adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan seumur hidupku, membenci orang yang tidak pernah kutemui," suara mamanya masih terdengar penuh kemarahan.
Ai merundukkan pandangannya, kali ini dia benar-benar diliputi ketakutan atas kekecewaan sang mama.
"Maaf, kalau aku terdengar sangat marah. Sepertinya aku butuh beristirahat," ucap mamanya sambil beranjak dari tempat duduk.
"Ma, saya sayang sama mama, meski selalu mengecewakan mama," Ai berusaha memegang tangan mamanya, lalu mamanya menyambut genggaman tangan putrinya, dan mereka saling berhadapan.
"Kalau begitu katakan padaku, bagaimana perasaan kamu setelah bertemu dengannya lagi? Mama hanya ingin memastikan bahwa doa tangis mama agar nama itu terhapus dari hati kamu terkabulkan. Katakan dengan jujur!"
Sedikit lama Ai memberi jawaban, namun mamanya sama sekali tak melepaskan pandangannya dari sang anak.
"I don't know," hanya itu yang dia ucapkan. Ai pun merundukkan pandangannya.
"Ai, please say something that would calm me down," mamanya masih berusaha ingin mendengar sesuatu.
"I always need your pray to protect me from many faultes," kata Ai, sangat berat.
Mamanya melepaskan genggaman, lalu keduanya berlalu tanpa kata. Ai langsung keluar rumah karena takut, resah, kesal dan tak karuan. Dia memang punya rumah tinggalan papanya, yang setiap kali terjadi perselisihan dia pasti ke rumah itu.
***
"Bu, mulai hari ini Pak Darwis akan praktek selama sebulan di jakarta, jadi Bu Aisha bisa datang kapan saja," pesan singkat itu dari asisten Darwis, terapis mental teman Ai yang biasa dia temui.
Kebetulan sekali Ai sedang butuh konsultasi. Sebelum pergi dia kirim pesan pada Dira.
"Dira, kamu datang ke alamat ini, ya." Ai meminta Dira untuk menjemputnya di klinik Darwis.
Sesampainya di klinik seperti biasa Darwis sudah menunggunya. Di awali dengan Ai bercerita. Lalu Darwis memberi tanggapan.
"Kamu selalu bisa mengendalikan perasaan senang, sedih, menahan kebahagaiaan dan kesulitan agar tidak berlebihan. Mental kamu selalu tangguh untuk menghadapi kehampaan. Padahal tempat ini saya bangun untuk mereka yang butuh penanganan mental,"
"Saran kamu tidak membantu," balas Ai, sambil tersenyum.
"Ini bukan saran, Ai. Tuh baca tulisan di dinding saya, "Don't come to me if you are not crazy."
"Kayanya terapisnya deh yang paling gila di sini," komentar Ai diiringi tawa kecilnya. Lalu keduanya saling melempar senyum.
Obrolan pun berakhir dan konsultasi juga selesai, Darwis mengantar Ai keluar hingga ke pintu, Dira yang menunggu di luar pintu segera berdiri saat Ai dan Darwis sudah keluar.
***
Dira memenuhi panggilan Ai, dan sampai di klinik tujuh menit kemudian. Sedikit lama Dira menunggu hingga Ai selesai.
"Jadi kamu akan praktik di sini selama satu bulan?" Tanya Ai.
"Yup, beberapa hal harus saya urus sendirian di sini," kata Darwis.
"Sindiri?" Tanya Ai, tak mengerti.
"God loves her more than i can do. Jadi aku harus jaga anak-anak kami sampai tiba juga waktuku bertemu dengannya," jelas Darwis, terlihat menahan beban.
"I'm sorry. Saya baru tahu," balas Ai.
"Dia meninggal saat melahirkan. Saya ambil cuti dan jual rumah yang di KL. Rasanya berat jika harus tetap tinggal di rumah kami, ada banyak kenangan yang dia tinggalkan" kata Darwis, sedikit curhat mengenai rasa kehilangannya.
"Jadi kamu ambil tugas di Jakarta saja? Sampai kapan?"
"Belum tahu."
"Ya udah, saya pamit," Ai berpamitan pergi.
"Terima kasih sudah mampir. Lain kali kita ngobrol lagi."
Di dalam mobil sebenarnya Dira ingin menggoda Ai, karena dia pikir Darwis itu memiliki rasa berbeda pada Ai, tapi sejak masuk mobil Ai sibuk dengan panggilan-panggilan.
"Pak, kita ke rumah Slipi, ya!" Pinta Ai pada sopirnya.
"Baik," jawab sopirnya.
"Mbak Ai punya rumah di Slipi?" Tanya Dira.
"Iya, itu rumah lama kami," jawab Ai.
Sesampainya di Slipi lagi-lagi Dira terkejut, ternyata rumahnya juga cukup besar. Masih terawat namun sebenarnya tidak ditinggali. Tapi Ai membayar orang untuk merawat dan menempati rumahnya.
"Besar juga, ya, Mbak. Kalau tidak ditempati kenapa tidak dijual juga?" Tanya Dira.
"Ada banyak kenangan papa di sini. Dulu setelah mama membeli rumah yang sekarang kami tempati sudah ingin menjual rumah ini, tapi kemudian papa membalikkan nama menjadi atas namaku. Jadi kemudian hanya aku yang berhak menjualnya," kisah Ai.
"Waaah, hebaat. Anggota keluarga cuman tiga, masing-masing punya rumah sendiri," komentar Dira.
"Rumah-rumah dan segala kemudahan ini yang justeru sering kali membuat kami selalu punya tempat untuk saling melarikan diri," kata Ai.
Dira hanya tersenyum menanggapi ucapan Ai, karena sejujurnya dia tidak benar-benar memahami rasanya hidup dalam kesepian dan kesendirian, seperti yang dia lihat dari sosok Ai.
"Mbak, saat usia 30 tahun apa pencapaian kamu?" Tanya Dira membangun obrolan.
"Tidak ada. justeru aku kehilangan semuanya di usia itu. Perusahaan bangkrut, banyak karyawan yang terpaksa di PHK, dan aku harus mengumpulkan semua tabungan untuk memberikan pesangon. Pertunangan sudah dua kali gagal ke jenjang pernikahan. Bahkan buruknya lagi papa menghabiskan seluruh tabungannya untuk membayar hutang-hutang perusahaan yang harusnya menjadi tanggung jawabku sebagai CEO," kenang Ai.
"Wah, jauh lebih sulit dari saya ya, mbak. Jadi sebenarnya saya tidak patut mengeluh. Malah di usia saya sekarang saya bertemu Mbak Ai yang mau percaya pada potensi saya," balas Dira.
"Lebai..." komentar Ai.
"Dira. ada yang ingin kutanyakan padamu," ucap Ai, sembari memberikan sebotol air mineral dingin pada Dira yang duduk bersila di lantai, kemudian Ai duduk di sofa dekat Dira duduk.
"Sebentar, saya ambil buku agenda dulu," kata Dira, seraya mengambil buku agenda dari tasnya. Kebiasaan mencatat Dira itu memang sudah sangat akut. Tapi memang dia selalu senang dan menyenangkan untuk menjadi teman diskusi. Bahkan diskusi dengan suaminya pun juga ia catat, tujuannya sederhana, hanya supaya dia bisa mengontrol ucapannya sendiri. Dan bisa melihat perkembangan pola pikirnya dalam menanggapi berbagai hal.
"Sebenarnya, apakah ada standard minimum ketaatan seorang anak pada orang tuanya?" Tanya Ai.
"Kenapa Mbak Ai menyebut standard minimum?"
"Karena sebesar apa pun yang kita lakukan untuk mereka tidak akan sebanding dengan perjuangan mereka untuk kita, Isn't it?"
"Surat Al-isra' ayat 23-24, yang artinya : Dan tuhanmu telah memerintahkan untuk jangan menyembah pada selain dia. Hendaklah kamu berbuat baik sebaik-baiknya pada ibu bapakmu. Jika salah satu keduanya, atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam mengurusmu maka janganlah sekali-kali mengatakan "Uff" dan janganlah membentak mereka dan ucapkanlah pada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu dengan penuh kasih serta ucapkanlah, "Yaa Rabb... kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka telah mengasihiku waktu kecil." Dira menterjemahkan langsung dari teks berbahasa arab yang sudah dia hafal. Lalu ia mencoba menjelaskannya sesuai dengan kefahaman yang pernah ia pelajari.
"Kata "Uff" berarti celaan kekesalan maupun kebencian. Bentakan adalah segala kata yang menyakiti hati, perkataan yang mulia adalah tentang cinta dan segala doa kebaikan bagi mareka, merendah di sisi mereka adalah sopan dan santun dalam berucap, bersikap dan berperilaku. Lalu karena sebagai manusia kita tak mungkin bisa membalas kebesaran cinta mereka, maka doa untuk rahmat Allah bagi mereka harus senantiasa kita panjatkan."
"Aku mencintai mereka. Aku banyak melakukan hal besar untuk mereka, tapi ternyata semua itu hanya menjadi pelarianku dari satu keinginan mereka yang tak pernah bisa kupenuhi. Pada akhirnya cintaku itu seperti kebohongan yang tak pernah ada ujungnya," Ai mencoba melepaskan beban itu pada Dira untuk menemui sebuah jawaban. Membicarakan orang tua selalu berhasil membuat Ai menangisi semua yang tak bisa dia berikan.
"Saat kita merasa bahwa diri ini hanyalah kekecewaan bagi mereka, ada tiga hal yang bisa kita lakukan, mendengarkan, memberikan senyum terbaik setiap hari, menyembunyikan semua tangis dalam doa."
***
Waktu maghrib menyapa, Dira pulang bersama sang suami yang menjemputnya, lalu Ai pulang bersama sopirnya.
"Pak, kita singgah ke toko bunga sebentar, ya," pinta Ai.
Dia beli rangkaian bunga anyelir berwarna merah muda untuk mamanya. Sesampainya di rumah Ai segera turun dari mobil dengan penuh kebahagiaan juga keinginan kuat untuk minta maaf dan memeluk erat mamanya.
"Ceklek," Ai membuka pintu rumah, "Assalamualaikum."
"Waalaikum salam..." sambut mamanya, hangat. "Terima kasih masih mau pulang," lanjut mamanya. "Sudah makan? Mama masak buat kita makan malam," kali ini mamanya merangkul gemas pada Ai untuk mengajak ke ruang makan.
"Ma," Ai menghentikan langkah mereka. "I love you," ucapnya sembari memberikan bunga yang tadi dia beli.
"Ini buat mama?"
Ai mengangguk, tulus.
"Teriam kasih," ucap mamanya, sambil mencium wangi bunga tersebut.
Lalu mereka makan malam bersama dan mengalir obrolan hangat penuh tawa seperti yang biasa mereka lakukan di malam hari sebelum pergi tidur.
"Saya akan selalu pulang pada mama, meskipun selalu mengecewakan," kata Ai.
"Ai, kamu harus tahu kalau "kekecewaan" itu mengajarkan sesuatu."
"Apa itu?" Tanya Ai.
"Bahwa menjadi sempurna itu bukan tugas manusia. Mudah kecewa pada sesama manusia? Siapa kita? Bahkan Allah sang maha sempurna pun tetap menghidupi semua ciptaan-Nya meski tak semua manusia mengimani-Nya," nasihat itu terasa begitu menghangatkan hati. Apalagi terucap dari kebijaksanaan seorang ibu.

Hilang TanpaMuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang