08: Terlambat
pagi ini, sarapan pagi terasa sangat Canggung bagi Biru. Terlebih sekarang, bukan hanya bundanya yang sarapan bersama, tetapi ayahnya pun ikut serta. Mengapa dirasa canggung? Selama ini, ayah Biru tidak pernah sarapan bersama seperti ini. Tapi entah mengapa hari ini, lebih tepatnya pagi ini, ayahnya mau-mau saja sarapan.
Biru melirik kearah bundanya sekilas dan melirik kearah ayahnya yang nampak tidak peduli sama sekali dengan keadaan sekitar.
Biru menghela nafas pelan, jujur ia tidak menyukai suasana seperti ini, walaupun ia sangat menginginkan ayahnya sarapan bersama seperti ini. Tetapi, khayalan keharmonisan, kedamaian yang ia dambakan tidak sesuai kenyataan. Harapan tetaplah harapan.
Biru ingin bertanya kepada ayahnya yang kemana saja selama ini.
"Ay-"
Biru kembali menghela nafasnya pelan. Baru saja ia ingin bertanya, ayahnya lebih dahulu bangkit dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Entah kemana lagi ayahnya akan pergi.
Ia memijit keningnya pelan. Hanya ada satu pertanyaan yang selalu bersarang dibenaknya, ayahnya kenapa? Berkali-kali ia ingin berbicara dengan ayahnya, namun ayahnya selalu pergi, seakan-akan menghindar darinya.
Hati Biru tentu sakit melihat perilaku ayahnya yang selalu mengabaikannya. Ia sebenarnya bingung dengan keadaan sekarang. Apalagi saat ia melihat bundanya yang hanya mengadukan makanannya tanpa berniat memakannya, tentu saja hatinya bertambah sakit. Anak mana yang tidak bersedih melihat ibunya yang seperti tidak memiliki semangat hidup.
"Bunda, Biru ngga suka ngeliat bunda kaya gini." Ucap Biru sembari mendekat kearah bundanya. Ia memeluk bundanya dari samping.
"Bunda kaya orang yang ngga punya semangat hidup, tau ngga sih?" Lanjutnya sambil mengeratkan pelukannya. Biru merasakan seragam sekolahnya membasah. Ia tentu saja tau asal air tersebut adalah dari bundanya.
Wajah yang biasanya memancarkan kebahagiaan, kini kesedihan muncul seketika.
Mulut yang biasanya mengatakan kata-kata sayang, kini tertutup rapat.
Mata yang biasanya berbinar kala bersamanya, kini mengeluarkan air mata berharganya.
Memilukan sekali, tetapi Biru tidak boleh lemah akan hal ini. Ia harus menguatkan bundanya, apapun yang terjadi. Iya, harus.
Isakan demi isakan mulai terdengar dengan jelas dipendengarannya. Biru melepaskan pelukannya pada bundanya. Ia memegang kedua bahu bundanya agar menghadap dirinya.
Biru dapat melihat wajah itu memancarkan raut kesedihan, kekecewaan, kerapuhan yang selama ini ditutupi oleh bundanya. Bukannya Biru tidak pernah melihat bundanya menangis. Hanya saja, kali ini terasa sedikit berbeda. Ia tau, bundanya merasa kecewa pada ayahnya. Itu juga yang membuat Biru sedih. Sangat sedih. Terluka lebih tepatnya.
"Bunda, bunda dengerin Biru. Bunda ngga boleh kaya gini dalam jangka waktu yang lama. Bunda harus bangkit, bunda ngga boleh keliatan lemah kaya gini. Biru selalu ada disamping bunda, dan Biru ngga akan pernah ninggalin bunda. Bunda sendiri kan yang bilang, kalau 'kita itu ngga boleh keliatan lemah sama orang lain, ngga boleh larut dalam kesedihan, dan harus bisa menyemangati diri sendiri.' ingat kan, bunda?"
Bundanya semakin histeris mendengar ucapan anaknya yang membuatnya tersentuh. Ia segera memeluk anaknya dengan sayang. Menangis dipelukan anaknya. Tentu saja itu benar. Anaknya sudah besar sekarang.
Bundanya tersenyum miris kala mengingat suatu hal.
Cepat atau lambat, kamu bakal tau semuanya, sayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU (Hiatus)
Random[On Going] [⚠Slow Update] Dia Biru Aurora yang kerap di sebut Biru. Hanya seorang gadis lugu dan polos, jangan lupakan sifat dinginnya yang merekat pada dirinya. Kisah kekeluargaan? Kisah percintaan? Kisah persahabataan? Kisah penghianatan? Ia harus...