4. Teman Imajiner ( Bagian Dua)

2 0 0
                                    


Tujuh Bulan Pasca Meninggalkan Rumah.

Musim Hujan, 2014.

Apalagi, dua bulan sejak bekerja di restoran tersebut. Dae Hyeon mulai merasakan nuansa yang berbeda dalam hatinya. Tidak seperti biasa, hari ini pemuda itu lebih banyak tersenyum karena suatu alasan.

Bagaimana tidak? Sebab, secara dramatis, setelah dua puluh tiga tahun dirinya hidup dengan perasaan tersiksa karena kemampuan anehnya tersebut.

Entah sejak kapan, malam-malam yang biasanya penuh terror, akhirnya bisa Dae Hyeon nikmati tanpa gangguan berarti. Bahkan pemuda itu dengan leluasa dapat tertidur nyenyak.

Mungkin karena sudah hidup terpisah dengan Ayahnya? Sosok yang selama ini selalu meremehkannya? atau barangkali, unit apartemennya ini memiliki energi positif yang sangat kuat hingga para hantu tidak bisa menembusnya? Ah, apapun alasannya. Yang jelas, Dae Hyeon sangat bersyukur akan hal tersebut.

Meski begitu, terkadang Dae Hyeon juga merindukan Ayahnya. Bagaimanapun, sebagaimana umumnya terjadi. Sosok Ayah akan selalu menjadi pahlawan masa kecil, kan?

Sore hari kali ini tidak cerah, tapi juga tak ada curah hujan. Begitu-begitu saja, hanya awan kelam menggantung di langit Seoul sebagai pemandangannya.

Meski perasaannya selalu agak kesal. Namun Dae Hyeon pasrah saja ketika koki utama menyuruhnya berbelanja kebutuhan restoran untuk besok.

Tetapi kemudian, Dae Hyeon merasa bahwa ia tak layak untuk protes. Karena sebagai koki baru menetas kemarin sore, ia harus rela menerima apapun yang dibebankan padanya.

Terlebih lagi, selama ini Dae Hyeon hanya bermodalkan kemampuan memasaknya saja, berbeda dengan seniornya yang memang benar-benar lulusan akademi formal bidang tersebut.

Maka dengan berat hati, pemuda itu berangkat menuju supermarket. Di bawah langit mendung Seoul, pemuda itu berjalan menyusuri trotoar menuju ke halte bus.

Dae Hyeon tidak punya mobil. Jangankan mobil, unit apartemennya saja dibayari diam-diam oleh Ibunya. Meskipun sebenarnya kalau meminta pada Ibunya akan langsung dikabulkan, tapi pemuda itu enggan terus membebani wanita paling ia kasihi di muka bumi itu. Lagipula, sudah saatnya ia belajar hidup mandiri.

Jadi yang dilakukannya sekarang hanya menunggu Bus. Sedih memang, disaat teman-teman seangkatannya sudah sibuk magang di perusahaan besar. Ia hanya kerja serabutan.

Hujan masih belum sederas biasanya. Dae Hyeon merekatkan jaketnya agar terhindar dari tempias air hujan yang rintik-rintik. Tak apa pikirnya, dibanding musim dingin. Musim hujan ini lebih baik.

Musim dingin selalu mengingatkannya pada Insiden kecelakaannya tujuh bulan lalu. Dae Hyeon bergidik, berusaha menghapus ingatan buruk itu dalam sekejap.

Bus yang ditumpanginya tak kunjung datang. Padahal sudah nyaris tiga puluh lima menit ia menunggu di halte tersebut. Dae Hyeon heran, apa jangan-jangan busnya sudah berangkat ya? Apa ia salah jadwal? Ah, begini ternyata, sudah lama ia tak naik kendaraan umum.

Selain karena udara yang kian dingin, rasa bosan, dan tubuh yang kian terasa ngilu. Alasan Dae Hyeon ingin segera pergi dari halte juga lebih karena pemuda itu merasa kurang nyaman, sebab sejak tadi ia melihat seorang gadis yang menangis, terisak pilu di ujung kursi halte.

Gadis itu menangis segukan, menundukan kepalanya seakan tak peduli situasi terkini, dimana hujan mulai mengguyur tanah Seoul. Walau tidak deras, namun tetap saja air, akan basah jika mengenai kepala. Mendadak Dae Hyeon khawatir jika gadis itu akan terkena flu.

THE GHOST'S PROBLEMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang