Ketika Ghea membuka matanya di pagi hari, yang terpikirkan dalam benaknya adalah memberitahukan Gabriel yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Amber. Ghea kemudian duduk di atas ranjang luas di penthouse Gabriel dengan rencana gila dalam benaknya. Ghea tidak peduli jika ia bisa menimbulkan perang antara ayah dan anak, namun hanya ini satu satunya cara yang terbaik.
Ghea merasakan tubuhnya pegal semua, termasuk di bagian pinggang, punggung dan selangkangannya. Gabriel benar-benar definisi pria kuat sesungguhnya. Bisa bisanya pria itu tetap fit padahal mereka bercinta semalaman. Ghea meringis saat merasakan lehernya terasa pegal sekali.
Tubuh Ghea masih gemetar, meskipun tidak separah semalam. Ia menginjakkan kakinya di karpet berbulu itu, lalu meraih kemeja Gabriel yang tersampir tak berdaya di sana. Ghea memakai kemeja itu tanpa mengancingkannya dan berjalan keluar dari kamar tersebut. Matanya langsung menangkap punggung telanjang Gabriel yang tengah memasak makanan pagi untuk mereka.
Ghea mendekati Gabriel dengan langkah agak tertatih, karena selangkangannya yang masih pegal. Bukankah Gabriel terlalu tua untuk tetap fit setelah kegiatan panas mereka semalaman? Bagaimana bisa pria itu baik baik saja, padahal semalam adalah kegiatan seks mereka yang sangat menguras emosi. Gabriel selalu punya posisi untuk membuat Ghea menyerukan namanya tanpa sadar.
Ghea meringis dan menyandarkan tubuhnya di meja makan yang luas itu. Gabriel menoleh mendengar suara suara di belakangnya. Ia tersenyum lembut pada Ghea.
"Kemarilah, aku ingin kau menyicipi makanan ini," ajak Gabriel dengan nada ramahnya.
"Aku... tidak bisa," bisik Ghea pelan. "Tubuhku sakit semua."
Gabriel menoleh kebingungan. Ia mendekati Ghea yang tengah bersandar di meja makan, lalu menaikkan gadis itu dengan mudahnya ke atas meja tersebut. Tangan kekarnya memeluk pinggang Ghea dengan erat, seolah takut gadis itu jatuh. "Yang mana yang sakit?" tanya Gabriel perhatian.
"Selangkangan, punggung... intinya semua," bisik Ghea dengan mata berair, karena rasa sakit yang ia rasakan pagi itu.
"Hey... that's okay," bisik Gabriel sambil mengelus kepala Ghea dengan lembut, sambil mencium dahi gadis itu.
"Kau bisa mengatakan seperti itu, karena kau tidak merasakannya, Sir," gerutu Ghea sambil menahan bibir Gabriel agar tidak menciumnya.
Gabriel tertawa hangat, lalu memeluk Ghea semakin erat dan mencium pipi gadis itu berkali kali, seperti mencium anak kecil. Ghea hanya meremas pundak Gabriel, menerima semua perlakuan pria itu dengan wajah pasrahnya. Gabriel benar benar memperlakukannya seperti boneka dalam arti yang sesungguhnya. Mungkin, karena dirinya yang jauh lebih kecil dari pria itu, sehingga Gabriel terus memanjakannya dan memperlakukannya seperti anak kecil.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Sir," bisik Ghea lagi sambil mendongakkan kepalanya ke arah Gabriel.
"Apa itu?" tanya Gabriel lembut sambil mengelus sisi wajah Ghea.
Ghea menelan ludahnya, lalu memantapkan hatinya untuk mengatakan kebenaran. Ghea menggigit bibirnya ragu, lalu mencicit, "Jangan marah."
Gabriel menaikkan sebelah alisnya. Ekspresi Gabriel berubah serius. Cengkeraman di pinggang Ghea semakin terasa. Ghea mengusap rahang tegas Gabriel yabg dipenuhi bulu halus itu kemudian berkata dengan nada pelan, "Amber... menyukaiku."
Ekspresi di wajah Gabriel semakin kebingungan. "Maksudmu?" tanya Gabriel tidak mengerti.
"Ya, Amber menyukaiku... sebagai wanita... umm... seperti... lesbi?" ucap Ghea ragu ragu sambil menilai ekspresi Gabriel dengan saksama.
"Ghea, ini terlalu pagi untuk bertengkar. Kau tahu bukan setiap kali kita bertengkar, kau akan selalu berakhir kesakitan di ranjang," jelas Gabriel sambil menghela nafas, berusaha sabar.
Ghea melebarkan matanya kaget dengan pipi merah padam, mendengar jawaban Gabriel. "Aku... serius," ucap Ghea lagi dengan kepolosan di matanya.
"Aku juga serius, Ghea," geram Gabriel menatap kedua mata Ghea dengan tatapan tajamnya. "Yang semalam saja sudah membuatmu seperti ini, Ghea. Semakin kau membuatku marah, aku semakin tidak bisa mengontrol diriku untuk bercinta dengan cara yang halus."
"Apa kau pikir ini hanya akal akalanku saja, Sir? Agar aku bisa lepas darimu?" tanya Ghea tidak percaya.
"Bukankah begitu?" balas Gabriel sinis, lalu menaikkan dagu Ghea ke arahnya. "Sekarang katakan padaku, kenapa kau sangat ingin lepas dariku? Bukankah kau sendiri yang memohon agar bisa bekerja denganku? Bahkan sampai memintaku mengambil keperawananmu? Apa kau berusaha bersikap suci sekarang, Ghea?"
"Aku memberitahumu yang sesungguhnya!" seru Ghea tidak percaya sambil memegang tangan Gabriel yang mencengkeram dagunya.
"Kalau pun itu benar, aku tetap tidak akan melepaskanmu," balas Gabriel dominan, sambil memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut Ghea. Ghea refleks menggigit lembut ibu jari Gabriel, sesuai dengan yang diajarkan pria itu padanya.
"Lagipula, kau juga sebenarnya tidak ingin melepaskanku, bukan?" bisik Gabriel dengan nada seraknya di telinga Ghea. Ghea menahan pundak Gabriel agar tidak semakin dekat dengannya. Ghea merasakan pipinya merah padam.
"Aku suka mendengar panggilan 'Daddy' darimu. Apa aku perlu bercinta denganmu seperti semalam, agar mendapat panggilan itu?" goda Gabriel sambil sengaja meniup lekukan leher Ghea, hingga membuat gadis itu menggelinjang geli. Ghea merasa amat malu, sampai ingin mengubur dirinya sendiri.
Gabriel melepaskan ibu jarinya dari mulut Ghea, lalu menjilat jari telunjuk dan tengahnya dengan erotis tepat di depan Ghea. Ghea menelan ludahnya melihat pemandangan sensual seperti itu di depannya, lalu tak berapa lama kemudian, ia pun tersadar. Gabriel akan melakukan sesuatu padanya dengan dua jari itu. Sial, pria ini akan menidurinya lagi pagi ini. Ghea langsung merapatkan kedua kakinya dan menahan tangan Gabriel.
"Masih sakit..." rengek Ghea pelan, sengaja memberikan tatapan memelas pada Gabriel agar pria itu mau mengampuninya pagi ini.
Gabriel tersenyum miring. "You're lucky, you're so cute, Ghea," balas Gabriel mengurungkan niatnya, lalu menunduk dan memberikan kecupan sekilas di bibir gadis itu, sebelum melanjutkan menyiapkan makan pagi mereka.
***
"We need to talk."
Ucapan itu membuat Amber yang baru saja pulang melompat kaget. Matanya langsung menerawang ke ruang tamunya yang cukup remang remang itu, karena hari sudah gelap. Dilihatnya ayahnya tengah duduk bersandar di sofa dengan dasi yang terurai dan kemeja yang telah kusut.
"Ya, Dad?" tanya Amber kebingungan.
Gabriel berdiri dan berjalan melewati Amber. Aura Gabriel begitu dingin dan mencekam, membuat Amber panik sendiri. Ayahnya tiba tiba marah seperti ini, membuat Amber bertanya tanya kesalahan apa yang sudah ia perbuat. Gabriel menarik kursi di ruangan makan untuk Amber, sedangkan dirinya sendiri berdiri di depan Amber. Amber menatap ayahnya yang tampak sangat marah itu dengan tatapan bingung.
"What happened?" tanya Amber kebingungan.
"Jujur pada Dad, Amber. Kau menyukai sahabatmu?" ucap Gabriel terang terangan.
Amber melebarkan matanya kaget. "How do you..."
Gabriel menghela nafas panjang sambil memijat tulang hidungnya dengan wajah lelah. "So, it's true?" tanya Gabriel lagi dengan nadanya yang terdengar lelah sekaligus dingin.
Ruangan itu hening sekali. Amber tidak menjawab pertanyaan Gabriel sama sekali. Keduanya terdiam satu dengan yang lain. Amber menatap meja di bawahnya, sedangkan Gabriel berusaha tenang dari segala macam perasaan yang menggelegak dalam dirinya.
"Dad," panggil Amber pelan.
Gabriel menatap anaknya dengan tatapan serius. "What is it?"
"You already know that I have feelings towards Ghea," gumam Amber pelan. "So, tell me, how about you?"
Gabriel mengerutkan keningnya tidak mengerti. "What do you mean, Amber?"
"Jujur pada Amber, Dad. Kau tidur dengan sahabatku sendiri?" tanya Amber pelan, membuat Gabriel syok luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEHIND THE SCENE
RomanceWarning: Explicit content, rough sex and bdsm. It's a semi porn story, so yeah... Ghea Tinsley berada di ujung tanduk. Ia harus membayar segala keperluan dan bahkan biaya pengobatan adiknya. Ia pun terancam putus kuliah, hanya karena masalah keuang...