20

32.8K 1.5K 114
                                    

Malam itu juga, Gabriel membawa Ghea ke apartemen yang merupakan tempat terliarnya. Gadis itu tentu saja marah padanya, namun gadis itu tidak melawannya sama sekali. Kemarahan Ghea malam itu lebih mengarah pada diam dan tidak ingin melihat wajahnya. Namun, Gabriel tidak peduli. Gabriel sudah menetapkan keputusannya untuk bersikap keras dan disiplin pada gadis itu, meskipun Ghea tengah hamil muda anaknya. Gabriel tetap akan bermain aman, namun ia tidak akan berlaku lembut sama sekali.

Gabriel menarik Ghea hingga memasuki ruangan yang sering mereka tempati dulu. Ghea menelan ludahnya melihat ruangan yang cukup membuatnya merinding itu. Gabriel mengunci pintu kamar itu sepihak, kemudian berbalik menghadap Ghea.

"Berdiri di bawah tiang itu," pinta Gabriel dominan sambil menunjuk ke sebuah tiang dengan borgol menggantung di bagian atasnya. Ghea menatap tiang itu kaget, kemudian menatap Gabriel lagi.

"Bahkan sebelum anak ini lahir saja, kau sudah membuatnya tersiksa," ucap Ghea lagi dengan keberaniannya yang patut diacungi jempol. Gabriel yang tengah memilih hukuman yang cocok untul Ghea hanya bisa menggeram dan merenggangkan otot lehernya yang terasa pegal.

"Kau sungguh tidak takut padaku, bukankah begitu?" ucap Gabriel lagi sambil menaikkan alisnya menantang. Gabriel menghampiri Ghea dengan gerakan cepat, kemudian menarik gadis itu ke arah tiang tersebut. Ghea berusaha melepaskan dirinya, namun Gabriel malah semakin mempererat cengkeramannya. Gabriel menaikkan kedua tangan Ghea ke atas, menyatukannya kemudian memborgolnya.

Ghea berusaha menarik tangannya sendiri, namun ia tidak bisa. "Aku membencimu," seru Ghea penuh amarah.

"Benci aku sesukamu, aku tidak peduli," ucap Gabriel sambil meraih penutup mata sutra dari dalam laci, kemudian berjalan ke arah Ghea. Ghea melebarkan matanya panik melihat penutup mata itu.

"Don't you dare..." geram Ghea, namun Gabriel tetap memasang penutup mata itu, membuat Ghea semakin panik dan tidak berdaya.

Gabriel menatap Ghea yang tampak semakin tak berdaya dengan tubuh gadis itu yang gemetar. Gabriel mengusap rahang Ghea dengan lembut, memberikan rangsangan geli di tubuh Ghea. Gabriel menunduk hingga kini hidung keduanya bersentuhan. Gabriel menatap Ghea dengan intens sambil menelusurkan jemarinya di hidung, bibir dan pipi gadis itu. Ghea adalah segala yang ia inginkan. Gadis itu memang tidak secantik gadis yang ia tiduri, namun jelas Ghea memberikannya perasaan yang tidak akan pernah diberikan wanita yang tidur dengannya sebumnya.

"I love everything about you, Ghea. Everything than you can imagine. The more you reject me, the more you make me obsess with you," bisik Gabriel sambil memasukkan ibu jarinya ke mulut Ghea.

"You just want my body," geram Ghea sambil menggigit ibu jari Gabriel ganas.

"Kalau aku mencintaimu hanya karena tubuhmu, aku tidak mungkin menghamilimu, Ghea," bisik Gabriel membuat Ghea mengerutkan keningnya tidak percaya. "Aku menghamilimu, sebab aku ingin kau menjadi milikku seutuhnya. You're mine. Your thoughts, your sexual desire, your body -every inch of you are mine."

Ghea membuka bibirnya tidak percaya mendengar pernyataan gila seorang Gabriel Ducan padanya. Gabriel tersenyum miring melihat wajah kaget Ghea. Gabriel berbisik di telinga gadis itu dengan suara yang pelan, "You better remember that perfectly."

Setelah berkata demikian, Gabriel membuka kancing piyama gadis itu satu per satu hingga terlepas semuanya. Gabriel membiarkan piyama itu menggantung di tubuh Ghea yang kecil. Kebiasaan Ghea yang tidak memakai bra memberikan keuntungan bagi Gabriel untuk mempermudah aktivitasnya.

"You're sick, Sir. You need help," ucap Ghea lagi dengan berani.

Gabriel hanya tersenyum kemudian menarik turun celana piyama gadis itu, lengkap dengan celana dalamnya. Ghea kini telanjang dengan atasan piyama yang masih menggantung di tubuhnya. Gabriel meremas bokong Ghea sambil menciumi leher gadis itu.

BEHIND THE SCENETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang