Happy reading!!!
"Lo kenal dekat kayaknya sama si bos, kok bisa?" tanyaku kepada Shasa—panggilan akrab dari Sharaza—mahasiswi magang itu. Kami berdua tengah makan siang di kantin karyawan.
"Dia temannya sepupu aku, Mbak. Dulu sering main ke rumah. Terus kita jadi dekat gitu," jawab Shasa.
Aku manggut-manggut paham. "Dia emang begitu ya orangnya?" tanyaku.
"Begitu gimana maksudnya Mbak?"
"Ya gitu. Cuek, angkuh, galak, banyak lagi deh kejelekannya," sungutku—menyebutkan segala macam sifat minusnya dimataku.
"Aslinya enggak gitu kok. Mungkin karena belum mengenal dia lebih dekat aja," bela Shasa.
"Menurut lo dia udah punya pacar belum?" tanyaku kepo. Aku cuma ingin tahu aja sih. Cowok modelan kayak dia itu seperti apa sih kriteria cewek yang disukainya.
Shasa menyipitkan matanya—menatapku. "Hayoo... Mbak suka ya sama dia?"
Mukaku langsung memerah mendengar pertanyaan Shasa. "Ih, nggak kok! Nggak bakalan gue suka sama cowok modelan gitu. Lagi juga tua-an gue kali. Gue cuma pengen tahu aja kalau cowok kayak dia, apa ada yang betah emang jadi pacarnya?"
"Jangan gitu Mbak. Nanti jadi suka beneran loh! Perbedaan umur nggak masalah. Nggak menjamin juga buat kedewasaan seseorang." Shasa mengatakan hal yang sama dengan apa yang juga papa ucapkan padaku minggu lalu. "Paling cuma beda 2 tahun doang. Mbak masih 23 tahun kan?" tebak Shasa. Aku menggangguk—tebakannya benar.
"Kok lo tahu sih?"
"Cuma nebak aja. Mbak Mitha masih mudah banget kelihatannya. Berarti lulus kuliah umur 21 tahun ya?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaan Shasa, suara seseorang mengagetkan kami. "Hai, boleh duduk di sini?"
Aku dan Shasa menoleh kepada si penanya, saat itu juga mukaku berubah pucat. Aku menundukkan kepala. Orang itu adalah Revan, cowok yang sedang kami bicarakan.
"Boleh kok," sahut Shasa. Dia melirikku sekilas dan tersenyum.
Duh, sejak kapan si bos di sini? Barusan dia dengar nggak ya apa yang kita omongin? batinku bertanya-tanya.
Banyak karyawan yang tengah berbisik-bisik. Ini pertama kalinya sang CEO makan di tempat ini. Aku pun heran melihatnya yang tiba-tiba saja muncul.
Angin apa yang membawanya ke tempat ini?
Aku meremas rokku—gugup. Biasanya aku santai, malah sering berani menatap matanya. Kali ini nyaliku ciut, bisa jadi pepes nanti kalau ketahuan ngomongin dia yang enggak-enggak.
"Kalian ngomongin apa sih? Serius banget kayaknya," ucap Revan.
Alhamdulillah dia berarti dia nggak dengar.
"Kita lagi ngomongin cowok yang lagi ditaksir sama Mbak Mitha," ujar Shasa polos. Shasa melirikku ketika aku mendongakkan kepalaku, aku menatap Shasa tajam. Tapi, nampaknya dia tidak peduli itu. Shasa melanjutkan pembicaraannya. "Cowoknya masih di kantor ini juga loh!" lanjutnya menahan tawanya.
Sial. Benar-benar anak satu ini!
"Oh ya?" Revan menaikkan alisnya. Dia melirikku, kemudian mengalihkan pendangannya kembali ke arah Shasa. Sedangkan aku, aku melotot kepada Shasa.
"Kamu sendiri, ada cowok yang kamu suka nggak?" tanya Revan kepada Shasa. Aku mencium aroma sesuatu di sini. Apa Revan menyukai Shasa?
"Ada," jawab Shasa tersenyum.
Aku melihat ekspresi muka Revan yang tampaknya kaget dengan jawaban Shasa.
"Siapa orangnya?" tanya Revan lagi. Aku menatap Shasa, aku juga penasaran siapa orang yanh disukainya. Apa Shasa sudah punya pacar? Lah, kenapa aku yang jadi kepo?
"Kepo deh!" seru Shasa sambil terkekeh. "Rahasia!"
***
Sharaza Geonefa—nama yang cantik sesuai dengan orangnya. Sifatnya yang ramah, nggak macam-macam membuat siapa pun pasti menyukainya. Aku sebagai wanita aja mengaguminya, walau usianya 2 tahun lebih muda dariku.
Shasa menarik perhatian banyak kaum hawa di sini. Aku rasa bosku yang menyebalkan itu juga menyukainya. Terlihat dari tatapan matanya ketika melihat Shasa. Dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa dia masih jomblo. Namun, sepertinya diam-diam menyukai Shasa.
Sejak Shasa menjadi sekretarisnya juga, Revan tidak pernah mengajakku menemui client di luar kantor. Dia selalu meminta Shasa yang menemaninya. Aku bukannya iri, aku hanya merasa tidak dianggap sebagai sekretaris utama CEO. Seharusnya aku lah yang mesti mengurus segala urusan penting termasuk menemaninya bertemu dengan client. Dan Shasa bisa mengerjakan tugas lain di kantor. Aku ingin protes, tapi aku malas melakukannya. Bisa-bisa dia kegeer-an juga nanti.
Aku lihat Shasa nampaknya juga tidak nyaman dengan permintaan Revan. Mungkin karena merasa tidak enak denganku. Beberapa kali aku mendengarnya menolak untuk menemaninya meeting. Revan punya banyak cara supaya Shasa harus tetap menuruti perintahnya. Jam makan siang pun, wanita itu kadang menolak ajakan Revan dan memilih makan siang bareng denganku.
"Mbak, besok aku datang siang kayaknya. Aku ada perlu datang ke kampus," ucap Shasa. Kami sedang makan siang bersama di restoran yang tidak jauh dari kantor.
"Ya udah. Lo udah ijin sama bos?" tanyaku.
"Udah. Kata bos besok itu dia ada meeting sama client di luar. Aku benar-benar nggak bisa nemanin dia, Mbak. Tapi kok kayaknya dia nggak mau ngertiin ya?"
Karena dianya mau ditemanin sama lo kali.
"Lo ke kampus aja. Nanti gue yang urus semuanya. Ada dokumen yang mau dibawa?"
"Ada, Mbak. Kata Revan-eh, bos kita maksudku, semuanya ada sama Mbak Mitha. Mbak diminta nyiapin semuanya," cicit Shasa pelan. Pasti dia sedang merasa tidak enak denganku.
"Oke, nanti lo sebutin aja apa yang mesti gue siapin."
"Iya. Maaf ya, Mbak. Tadi aku udah bilang sama dia kalau aku aja yang nyiapin,"
"Nggak papa kok. Nggak usah minta maaf gitu. Ini emang tugas gue kok. Gue malah terima kasih banyak sama lo. Seenggaknya sejak ada lo, gue bisa sedikit bernapas. Nggak semua gue yang kerjain, belum lagi harus ketemu orang di luar kantor juga," jelasku padanya agar dia tidak merasa bersalah.
"Sebelumnya pasti repot banget ya sendirian?" tanya Shasa.
"Ya begitulah. Lo nggak tahu aja gimana kelakuan bos kita satu itu. Nyebelin! Suka semena-mena sama gue. Ini ya gue kasih tahu, gue sering pulang telat. Sabtu sering disuruh masuk. Di rumah pun, gue masih sering direcokin sama WA-nya yang berisi tentang kerjaan. Kebayang nggak gimana sebelnya gue diganggu saat lagi istirahat di rumah juga?" Aku bercerita pada Shasa tentang semua kekesalanku pada Revan. Shasa bukannya simpati, malah menertawaiku.
"Kok lo ketawa sih dengerin penderitaan gue?" ucapku sedikit kesal.
"Habis Mbaknya lucu sih ceritainnya. Aku jadi ketawa lah. Aku mikir, gimana ya kalau kalian berdua jodoh?" ujarnya cekikikan.
"Amit-amit deh! Kayak nggak ada cowok lain aja di dunia ini. Dari awal dia udah ngibarin bendera perang sama gue. Dan gue juga sama sekali nggak tertarik sama dia, dia bukan tipe cowok idaman gue. Noted ya Sha, gue nggak akan mau pacaran sama berondong!"
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong(TAMAT)
Romance"Sorry, saya nggak level sama berondong," -Mitha Tri Wahyuni- "Saya bisa bikin kamu menarik kata-katamu barusan," -Revan Widyatama- *** Mitha mengibarkan bendera perang dengan Revan sejak awal lelaki itu menjabat sebagai CEO baru di kantornya. Men...