Happy reading!!!
Sebulan sudah bekerja dengan Revan—atasanku, aku merasa sangat lelah. Bayangkan saja, hampir setiap harinya pekerjaan yang dia berikan melebihi kapasitasku sebagai seorang sekretaris. Belum lagi, kadang aku harus ikut dia bertemu client di luar kantor. Tak jarang aku lembur atau melewatkan makan siang di luar. Aku memilih untuk makan siang di meja kerjaku supaya pekerjaanku cepat selesai—tanpa harus melewatkan makan. Menyebalkan sekali bosku itu.
Sikap atasanku itu sering kali membuatku menggerutu kesal. Dia galak namun, juga dingin. Kalau menurutnya apa yang aku kerjakan itu benar, dia tidak banyak omong. Paling cuma berdehem atau mengeluarkan satu dua kata. Tapi ketika mendapati sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, dia seperti Ibu kost-an yang lagi nagih uang sewa—galak.
Aku berada di dalam mobil bersama lelaki menyebalkan itu. Kami baru saja pulang dari tempat meeting. Dia tampak fokus menyetir, sedangkan aku duduk menghadap ke arah samping—melihat ke arah luar. Pemandangan di luar sana lebih menarik dari pada lelaki yang berada di sebelahku.
"Balik ke kantor?" tanyanya membuka pembicaraan.
"Iya," sahutku tanpa menoleh.
"Udah jam 5. Nggak langsung pulang aja?"
"Ke kantor dulu, ada yang masih mau saya kerjakan. Kalau lama selesainya, nanti Bapak malah marah," sindirku—meliriknya sekilas. Ekspresi wajahnya datar.
"Ya udah," balasnya. Mendengar jawabannya—aku rasanya ingin menjedotkan kepalanya ke pintu mobil. Dasar nggak berperihati-an. Bilang tunda dulu kek kerjaan itu atau suruh aku pulang gitu buat istirahat. Aku kan capek, masa dia nggak paham sih?
***
Pukul 19.00 aku masih setia menatap layar monitor di depanku. Sebelum lelaki angkuh itu yang menjadi bosku, biasanya aku jam segini udah santai di rumah—rebahan sambil memainkan ponselku. Namun, sejak 1 bulan belakangan ini kebebasanku rasanya terenggut. Waktu yang biasanya aku pakai buat bersantai, tersita dengan beberapa kerjaan darinya. Tak jarang aku menggerutu kesal di belakangnya—berbagai umpatan keluar dari dalam mulutku—tentunya hanya berani jika tidak di dekatnya.
"Belum pulang kamu?" Seperti biasa, bosku itu memang sering pulang telat juga. Aku tidak mengerti, biasanya untuk ukuran lelaki yang masih muda—mahasiswa sepertinya rela-relanya menghabiskan waktu di kantor dengan pekerjaan. Kadang di saat weekend juga, dia menyuruhku untuk datang ke kantor. Menyebalkan memang, mengingat waktu tidurku yang jadi berkurang. Biasanya—sehabis sholat subuh aku akan tidur lagi dan baru bangun jam 9 atau jam 10 pagi. Sekarang? Hampir setiap hari sabtu aku di suruh masuk. Kenapa aku mau? Simple, bayangan uang bonus melambai-lambai kepadaku. Tak munafik, aku suka uang. Realistis saja, banyak hal yang aku impikan dan semua bisa didapatkan hanya dengan uang. Punya mobil sendiri, membeli unit apartemen sendiri, liburan ke luar negeri dan banyak lagi.
Aku dari keluarga yang cukup berada. Namun, aku bukan tipe orang yang suka minta sama orang tua. Selagi aku bisa usaha sendiri, aku tidak akan merengek kepada mereka. Untuk mobil, sebenarnya Papa membelikannya untuk aku dan adikku gunakan secara bergantian. Karena adikku cowok, aku mengalah saja. Lagian juga, selama ini aku berangkat kerja juga bareng dengannya. Kecuali waktu itu, aku ditinggalkan gara-gara bangun kesiangan. Adik durhaka emang. Bukannya bangunin aku, dia malah berangkat duluan.
"Menurut yang Bapak lihat gimana?" ketusku—tanpa memandang ke arahnya. Mataku masih lurus menatap monitor.
"Pulang. Saya antar," balasnya.
Aku menoleh ke arahnya, "Nggak usah. Bapak duluan aja. Pekerjaan saya belum selesai,"
"Yang kamu kerjakan itu buat presentasi saya minggu depan," ujarnya kemudian. "Nggak perlu selesai sekarang."
Aku melongo mendengarnya. Aku sudah bela-belain lembur supaya cepat selesai tapi katanya dokumen itu masih seminggu lagi dipakainya.
"Bapak ngerjain saya?"
"Nggak," jawabnya santai. "Saya nggak bilang kan tadi pagi?"
Aku menahan emosiku untuk tidak meledak. Bagaimana tidak? Dia tiap kali memberiku tugas, dalam hari itu juga dia kan meminta aku untuk menyerahkannya. Tak peduli walau sudah malam hari juga. Aku sudah hafal kebiasaannya. Tidak terhitung kali dia marah padaku karena aku telat menyerahkan pekerjaanku. Halloo... aku cuma manusia biasa bukan robot yang bisa mengerjakan tumpukan dokumen yang dimintanya dalam waktu cepat.
Aku menyimpan slide presentasi yang sudah aku kerjakan lalu mematikan komputer. Aku menyambar tasku dan berlalu meninggalkannya—tanpa mengatakan sepatah kata pun.
***
Hampir 15 menit aku duduk di lobi, tidak satu pun taksi online yang menerima pesananku. Maklum lagi hujan begini, susah. Sekalinya dapat, driver-nya berada di posisi arah berlawanan dan tidak mau memutar balik—dengan alasan macet.
Gara-gara bos sialan itu, aku jadi telat pulang. Aku gengsi juga sih tadi menerima tawarannya untuk mengantarkanku pulang. Waktu keluar dari lobi, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Nasib, sekarang aku seperti orang terlantar duduk sendirian di depan lobi.
Sebuah mobil mewah berhenti tepat dihadapanku—yang lagi memperhatikan kemacetan di jalan raya sana. Barusan aku sudah minta jemput sama adikku, katanya setengah jam lagi baru bisa jalan dari rumah temannya.
Pintu kaca mobil di depanku terbuka—menampilkan sosok seseorang yang akhir-akhir ini membuatku kesal. "Penawaran saya masih berlaku," ucapnya datar.
Aku diam memikirkan tawarannya. Kemudian menganggukkan kepalaku—bangkit berdiri menuju mobilnya. Dari pada aku lama lagi menunggu Fero—adikku, yang masih berada di rumah temannya mengerjakan tugas kelompok.
Jalanan yang macet—membuat waktu rasanya berputar lama sekali. Jujur, aku malas berada lama-lama di dekatnya.
Kami sama-sama diam. Memang selalu seperti ini sih. Dia jarang bersuara jika dirasanya tidak perlu.
"Turun di halte depan aja, Pak. Kebetulan udah nggak ujan. Saya minta jemput Papa saya aja pakai motor. Rumah saya udah nggak begitu jauh dari situ," ujarku.
Bosku itu tidak menjawab. Dia terus mengendarai mobil—hingga melewati halte tersebut. Aku mendengus pelan. Tidak lama dia membelokkan mobilnya memasuki komplek perumahanku.
"Bapak tahu komplek rumah saya?" tanyaku penasaran. Apa dia pernah mengikuti pulang?
"Hmmm," dehemnya.
"Di depan sana belok kiri, Pak,"
"Udah tahu," jawabnya santai.
"Kok Bapak tahu? Ah, jangan-jangan Bapak pernah ngikutin saya pulang ya?"
"Kepedean kamu," balasnya.
"Terus?"
Dia menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. "Turun sana," titahnya.
"Issh... Bapak belum jawab pernyataan saya," sungutku.
"Penting?"
"Iya lah. Saya cuma mau mastiin kalau Bapak bukan penguntit," jawabku—menatapnya—menuntut jawaban.
Disentilnya jidatku pelan. "Bodoh!" ucapnya. Setidaknya saya tahu alamat beberapa karyawan saya. Kamu ingat data yang waktu itu saya minta di hari pertama saya masuk?"
Aku meringis. Dengan bodohnya aku mengira dia pernah mengikutiku. Apa untungnya bagi dia mengikuti gadis sepertiku.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Berondong(TAMAT)
Romance"Sorry, saya nggak level sama berondong," -Mitha Tri Wahyuni- "Saya bisa bikin kamu menarik kata-katamu barusan," -Revan Widyatama- *** Mitha mengibarkan bendera perang dengan Revan sejak awal lelaki itu menjabat sebagai CEO baru di kantornya. Men...