• PERI PADI •

12.4K 113 2
                                    

•Peri Padi
©® by Our Mate

::::

Seperti biasanya, pagi di Desa Saptaraga selalu sejuk. Cenderung dingin, dengan suhu kisaran tujuh belas sampai dua puluh satu derajat celcius.

Aku bergegas mengambil cangkul dan mengambil topi lebar dari bambu. Ini masih jam 5 pagi, ba'da shubuh. Langit-langit masih cenderung gelap. Tapi di desa ini, aktivitas memang telah dimulai sejak pagi-pagi sekali.

Oh ya, namaku Sandi.

Aku laki-laki.

23 tahun.

Buruh tani di sawah orang.

Yah, apa daya jika hanya ijazah SMA yang ada dan tinggal di desa dengan lowongan pekerjaan sangat minim. Pernah terpikir untuk merantau ke kabupaten atau kota untuk mencari pekerjaan dan uang yang lebih baik. Tapi aku tidak tega meninggalkan mamak--ibu-- sendirian di sini dengan sakit tuanya yang seringkali kambuh.

Aku mengambil piring berisi singkong kukus di balik tudung saji. Itu makanan sisa kemarin, pemberian dari Juragan Ramond. Beliau adalah orang terkaya di desa ini, atau mungkin kabupaten?

Tanahnya tersebar dimana-mana. Berhektar-hektar, dan menjadi ladang uang bagi sebagian besar penduduk kampung ini. Beliau terkenal baik dan dermawan walau sedikit emosional. Tidak hanya memiliki usaha di satu bidang saja, beliau punya pabrik garmen dan batu bata. Serta penyewaan rumah yang sekarang jadi tempat kos para mahasiswa kkn dan para pendatang di sini. Lahannya ditanami bermacam-macam jenis tumbuhan. Ada tebu, kopi, jagung, kacang, cabai, sayur, pohon jati, dan padi. Utamanya adalah tebu dan padi.

Beliau pengekspor beras dan gula terbesar di kampung ini. Orangnya sangat pekerja keras dan tegas. Mudah marah jika sesuatu melenceng dari plan yang sudah dibuatnya. Tipe orang perfeksionis. Tidak heran, beliau mampu menggerakkan usaha lain dengan serentak.

Aku menghampiri kamar mamak yang berada di sebelah kiri kamarku. Aku menyibak tirai yang menjadi pintu di kamar-kamar rumah ini.

"Mak, Sandi berangkat dulu. Mamak makan dulu, ya? Obatnya jangan lupa. Maaf, Sandi belum punya uang beli beras. Nanti pulang, Sandi bakal ngambil upah di rumah Juragan."

Aku menghela napas. Dua hari ini aku libur kerja demi menemani Mamak yang sakit. Tapi kami tidak punya cukup uang untuk bertahan lebih lama. Mamak butuh obat, dan kami butuh makan untuk kelanjutan hidup. Jadi hari ini, aku terpaksa meninggalkan Mamak yang masih terbaring lemah di atas dipan kayu dengan kasur tipis itu.

Mamak terbatuk, lalu tersenyum dan mengangguk.

"Maaf ya, le. Cuma bisa ngerepotin kamu dari dulu," ucapnya dengan raut sendu. Aku menggeleng.

"Mak nggak pernah ngerepotin buat, Sandi. Sandi berangkat, Mak. Assalamualaikum," pamitku lalu mencium punggung tangan dan keningnya.

.

.

Vote for next!

.

.

(Sandi)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Sandi)

Dark SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang