• CUTE STUDENT! •

8.3K 118 2
                                    

Cute Student
©® by Our Mate

:::

Ini seharusnya tidak pernah terjadi.

Tapi semua terjadi begitu saja.

Tanpa bisa kucegah.

Tanpa bisa kuhentikan.

Ini terlalu... nikmat untuk dihindari barang sesaat. Dan aku tidak bisa menolaknya. Kubiarkan setan dalam diriku menari-nari dipelupuk mata. Aku akan egois kali ini tanpa memikirkan benar atau tidaknya hal yang kulakukan.

::

(Hot Teacher)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Hot Teacher)

(cute student)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(cute student)

:::

18:38 WIB, Ruang guru A3.

Aku membereskan kertas-kertas ujian anak-anak kelas 12 yang berantakan di meja. Aku harus pulang telat karena harus mengoreksi jawaban mereka. Aku bukan tipe orang yang suka membawa pekerjaan ke rumah, jadi sebisa mungkin aku akan menyelesaikannya di sekolah.

Aku meraih hoodie hitam yang sedari tadi bertengger di meja kerja, lalu memakainya. Hoodie ini adalah pemberian salah satu murid perempuan di kelas 12 saat ulang tahunku. Yah, tidak hanya satu, tapi banyak. Murid-murid sering memberiku kado saat ulang tahun, hari guru, acara sekolah, wisuda, dan lainnya. Tidak heran jika mengingat keakraban aku dan mereka tidak hanya sebatas hubungan formal guru dan murid, namun lebih masuk ke ranah pertemanan. Mungkin karena usiaku yang tidak terlalu jauh dari mereka, kami jadi mudah akrab.

Guru-guru perempuan juga sering memberiku sesuatu, kadang makanan atau barang-barang yang "katanya" adalah oleh-oleh. Tapi aku tahu, mereka punya niat lebih selain "hanya sekadar" oleh-oleh. Dari gerak-gerik mereka, aku tahu mereka memiliki rasa lebih untukku. Tapi aku hanya berpura-pura tidak peka tentang itu. Selagi mereka tetap diam, itu bukan masalah buatku. Lagian, lumayan sekali hadiah-hadiah dari mereka.

Karena aku baik, aku tidak akan mematahkan hati perempuan-perempuan yang mencintaiku dengan menerima salah satu dari mereka. Jadi kejombloanku adalah bentuk ke-baik hati-an ku untuk para fans yang menghalu-kanku.

Aku menyibak poniku yang mulai panjang, ah sayang sekali sekolah sudah sepi. Kalau ramai kan aku bisa sekalian tebar pesona pada remaja-remaja cantik di sekolah ini. Kehebohan para wanita memang selalu menarik.

Aku menuju parkiran para guru, menghampiri moge hitam yang lebih cantik dari mantan-mantanku sekalipun. Cewek matre pemuja mobil mana tahu, kalau moge ini harganya lebih mahal dari mobil yang sering mereka naiki. Aku menyukai motor, dan moge ini salah satu favoritku setelah vespa antik berharga miliaran yang sering dikira vespa butut oleh orang-orang. Tapi itu tidak penting. Yang penting adalah, aku harus pulang dan cepat-cepat istirahat di rumah.

Aku memakai helm, menyalakan mesin, dan mulai menjalankan motor keluar dari gerbang sekolah. Tapi refleks saja tanganku menekan rem dan berhenti tepat di depan toko komik yang sedang tutup di depan sekolah.

Aku membuka kaca helm, "Kok belum pulang?" tanyaku sedikit keras karena suara yang terhalang helm.

Gadis berseragam khas SMA Daksana Cita itu pun menoleh ke arahku dengan raut terkejut yang tak disembunyikan. Aku menahan senyum karena refleksnya yang terlihat lucu.

"I-iya, Pak." Angguknya lalu menunduk dan menatap kedua sepatunya.

Aku memindai tubuhnya dari atas ke bawah, aku tahu dia salah satu muridku di kelas 12 MIPA C. Dia tidak terlalu populer, nilainya juga standar (tidak bagus dan tidak jelek juga). Dia juga bisa dibilang kuper dibanding teman-teman kelasnya yang lain. Aku sering melihatnya ke perpustakaan, ke kamar mandi, dan kantin sendirian. Sangat mandiri atau memang tidak punya teman, entahlah.

Tapi kupikir, dia bukan tipe anak nerd dan cupu yang pemalu. Dia lumayan tomboy, tatapan matanya tajam, dan berani melawan jika dibully. Tapi sayang, dia terlalu dingin dan pendiam. Terlalu misterius dan sulit didekati. Beberapa kali aku mencoba mengajaknya bicara, tanggapannya yah seperti tadi. Singkat, awkward, dan seolah ingin cepat-cepat kabur dari pembicaraan yang bahkan baru saja dimulai.

Awal masuk saat MOS, aku pikir dia tipe orang yang friendly. Dia rajin tersenyum dan menyapa banyak orang. Intinya pandai bergaul. Tapi hanya awal semester, setelah itu jadilah seperti sekarang yang seolah membangun tembok agar sengaja dijauhi orang lain.

Aku tahu dia menarik dan penuh pesona di usianya yang masih remaja, tapi seperti yang kubilang--dia terlalu dingin. Tidak ada cowok yang betah dengan sikap dingin seperti itu, kecuali cowok yang benar-benar serius. Tapi mencari keseriusan di usia SMA? Hah, itu tempat yang salah karena SMA masih banyak dihuni oleh remaja-remaja labil yang belum mengerti benar tentang konsisten dan komitmen jangka panjang seperti pernikahan.

Aku tahu dia sering dibully dan diejek dibelakangnya, itulah letak anehnya. Para pembully tidak berani terus terang membully di depannya, tapi gencar sekali menghujatnya dibelakang. Aku rasa itu adalah bentuk sakit hati para cowok yang diacuhkannya, serta para keirian cewek-cewek padanya.

Luar biasa, dunia ini memang tak terduga.

Aku tersadar ketika tetes hujan mengenai pergelangan kiri yang memang terbuka. Aku menoleh ke atas, langit gelap membuat mendung tersamarkan. Aku menoleh pada gadis yang masih menunduk dengan kaki kanan yang mengetuk-ngetuk lantai di bawahnya.

"Mau bareng?" tanyaku padanya. Dia menggeleng.

Aku menoleh ke sekeliling yang sepi, naluri kemanusiaanku berteriak tidak tega.

"Di sini sepi. Nanti kalau ada orang jahat gimana? Kamu cewek, sendirian lagi di sini."

"Saya masih punya kaki dan tangan untuk melawan. Bapak pulang aja."

Sial! Kenapa anak ini keras kepala sekali?

"Ck, Ikut saya atau nilai UAS kamu saya kurangi lima puluh." ancamku karena terlanjur emosi.

"Loh, Pak. Gak bisa gitu dong. Saya bisa laporin bapak ke kepala sekolah kalau bapak berlaku curang terhadap nilai saya!" Dia menatapku tajam dan sangat berani.

"Yakin berani?" tantangku dan tatapan matanya semakin tajam menatap mataku.

"Berani lah!"

Ok, aku tahu dia berani melaporkanku. Tapi aku yakin dia tidak akan melaporkannya. Dia terlalu apatis untuk memperpanjang masalah.

"Naik!" titahku dengan nada tegas yang pertama kali kutunjukkan. Dia sedikit terkejut dan hendak pergi, tapi aku terlanjur mencekal lengan kirinya hingga ia harus terhenti.

"Pak, jangan bikin saya jadi murid kurang ajar dengan keinginan saya mukul bapak."

Aku hampir saja tertawa mendengarnya mengatakan itu dengan suara bergetar yang aku yakin karena takut. Tapi matanya yang berkaca-kaca membuatku langsung merasa bersalah. Aku menariknya mendekat, hingga tubuh kami saling bersentuhan. Aku memeluknya--tetap dari atas motor, dan tak kusangka dia justru semakin terisak di pelukanku.

Kenapa rasanya dadaku juga sakit saat melihatnya menangis seperti ini?

Dark SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang