Prolog

421 24 0
                                    

Oleh: Rendi Setiawan

Peace in Palestine = peace in the world” —minanews.net

Dentuman suara bom terdengar cukup keras beberapa kali di sejumlah titik hamparan luas lahan kosong yang telah dikerumuni banyak orang. Mereka berkumpul menjadi dua kubu yang saling berhadap-hadapan.

Para fotografer berdiri menyebar di salah satu sudut yang berada jauh di luar garis batas zona aman wilayah itu. Kamera mereka yang membelalai panjang telah siap siaga dimoncongkan ke depan, nafas mereka mengepul bagaikan uap panas.

Debu berterbangan di atas penutup kepala dan pundak. Jari-jemari yang terbungkus sarung tangan perlahan mengusap lensa kamera, dan sekelebat pendengaran, terdengar serbuan bunyi klik-klik yang tak beraturan, mengamati kerumunan orang yang sedang berhadapan dengan puluhan serdadu, ditemani mobil-mobil lapis baja dan kendaraan taktis lainnya.

Mereka tengah bersiap memotret setiap kejadian epik yang akan terjadi saat itu.

Di sudut lain dari lokasi yang menjadi tempat kerumunan padat fotografer itu, berhamburan orang-orang yang membawa peralatan ala kadarnya, seperti ketapel dan batu dari berukuran kecil hingga besar.

Pemuda-pemudanya menutupi muka dengan baju, tubuhnya hanya dibalut singlet tipis, masih nampak bentuk tubuh mereka yang atletis. Bendera Palestina berkibar bebas berkelebat mengikuti arah langkah kaki para pemuda yang membawanya dengan berlari.

Bendera-bendera Israel dalam ukuran kecil berdiri lesu, tanpa gairah, di atas kendaraan taktis mereka. Suasana amat mencekam dan tidak seimbang di daerah konflik tersebut.

Petugas medis berulang kali mendekati para korban yang berjatuhan akibat terkena serpihan roket maupun terkena peluru sniper Israel. Sesekali para fotografer itu membidik kejadian dengan hati-hati layaknya seekor singa yang tengah menunggu momen terbaik menangkap mangsanya.

Mereka tahu bahwa tugas peliputan di daerah konflik seperti Palestina-Israel bukanlah sesuatu yang main-main.

Sesekali waktu, mereka berganti posisi untuk mencari dan mendapatkan sudut pandang yang lebih lebar, agar bisa menjangkau seluruh kekacauan di sudut Jalur Gaza itu. Pertikaian yang sudah berlangsung puluhan tahun itu menjadi tontonan sehari-hari masyarakat di sana.

Beberapa stasiun televisi mancanegara sudah mengabarkan peristiwa itu beberapa jam yang lalu. Puluhan anggota sayap militer perlawanan Palestina telah bersiaga di sisi yang berseberangan dari jajaran kendaraan taktis yang tampak kokoh dan berbaris rapi yang hanya dibatasi kawat berduri.

Sekelompok pemuda baik laki-laki maupun perempuan terus membalas tembakan meriam dengan lemparan batu dari ketapel yang mereka telah siapkan.

Koresponden dari berbagai kanal berita 24 jam terus menerus menyampaikan komentar dan spekulasi di sekitar sedikit fakta yang mereka ketahui.

Liputan peristiwa konflik berdarah itu telah menyisihkan berita-berita politik, bencana, serta ekonomi dunia, dan tiap versi dihiasi foto-foto wajah sempurna sejumlah pemimpin kelompok perlawanan Palestina yang telah gugur.

Dalam beberapa jam saja, sedikit fakta yang diketahui jurnalis telah menyebar bagaikan ribuan lebah yang siap menyerang entitas manusia di seluruh penjuru dunia.

Hasan Sinwar, seorang warga sipil Palestina berteriak kencang memanggil-manggil nama Salwa berulang-ulang, anak perempuan semata wayangnya yang dia tinggalkan sendirian di kediamannya. Sementara rumah satu-satunya harta benda yang dia miliki telah rata dengan tanah.

Tentu saja tindakannya langsung memancing perhatian jurnalis mendekat, untuk menjadikannya nara sumber yang akan mereka terbitkan—dalam bentuk tulisan berita di media cetak, online, maupun tayangan newsflash. Para buruh media massa dunia itu berlomba-lomba mendapatkan pernyataan langsung darinya.

Smartphone yang menjadi alat tempur para jurnalis telah siap menjalankan perintah untuk merekam semua ucapan yang akan dilontarkan nara sumber penting mereka di tempat konflik tersebut. Suara-suara keras yang keluar dari benturan roket dan tanah tandus berulang kali berhasil membuat nyali para jurnalis yang sedang melakukan pekerjaannya sedikit mengendur.

Dalam beberapa menit kemudian, mereka kembali tersadar untuk tetap berada di lokasi kejadian, sebab menjadi jurnalis di wilayah konflik bukan sekedar bekerja, mendapatkan berita, lalu pulang ke rumah, tetapi juga menguak kejahatan kemanusiaan dan meminimalisir area-area yang dilindungi menjadi korban pertikaian, seperti objek warisan sejarah dan budaya.

Hari itu hari Selasa, tanggal 8 Juli 2014. Jurnalis mancanegara mencatatnya dalam berita utama mereka sebagai awal dimulainya konflik Palestina-Israel 2014, di mana Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melakukan Operasi Perlindungan Tepi (baca Inggris: Operation Protective Edge) di Jalur Gaza.

Sebuah kerumunan dalam volume besar, berkekuatan beberapa ribu orang berhimpitan di sepanjang perbatasan Palestina-Israel, penuh sesak—laki-laki dan perempuan, tua dan muda, pejuang maupun rakyat biasa—sebagian memegang spanduk dan plakat, yang lainnya memegang foto berbingkai orang-orang yang tewas dalam kekerasan dan kejahatan Israel.

Dalam kerumunan itu tampak Hasan Sinwar memegang erat sebuah spanduk berisi wajah anaknya yang hilang dibumbui dengan tulisan 'Kalian merebutnya dariku, aku akan mengambilnya dengan paksa atau kalian kembalikan dengan kesadaran'. Wajahnya abu-abu dan basah oleh peluh.

Akhiri kekerasan... pengorbanan atas nama perdamaian... kebencian atau harapan...

Beberapa kali diiringi dengan gema tegas suara takbir 'Allahu Akbar' yang membumbung tinggi ke angkasa dari orang-orang yang berkerumun itu. Hasan Sinwar hanya mendengarkan suara dari kerumunan itu sekilas saja, hanyut dalam pikiran pelik sendiri.

Hasan Sinwar jatuh tersungkur dalam kepayahan. Namun dia tetap berusaha bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang masih bersemayam di dalam tubuhnya. Pandangannya kabur melihat spanduk dengan lukisan wajah Salwa, anak yang begitu dia cintai, masih terlalu muda untuk merasakan kepedihan hidup.(RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang