Empat Belas

16 0 0
                                    

Sarah memberitahu Aisha bahwa dirinya akan beristirahat di kamarnya, mungkin sepanjang hari itu, saat seorang dari pemilik rumah tersebut berniat pergi ke pasar untuk membeli segala kebutuhan di hari itu, saat semua penghuni rumah sibuk dengan urusan mereka masing-masing di luar sana. Aisha telah memberinya kunci cadangan pada Sarah agar mudah mengamankan rumah saat hendak sekedar mencari angin di alam terbuka.

Hari itu Aisha tetap sibuk memasak kendati kedua orangtuanya telah pergi bekerja, sebab rumahnya memiliki dua tamu istimewa yang perlu dia layani.

Sementara Azis bersama teman Sundanya sedang berkeliling di seputaran komplek pesantren milik ayahnya. Melihat-lihat kebun singkong yang mulai siap panen, hingga menyasar pada perusahaan keripik sederhana yang sudah terdengar lantunan ayat suci Al-Quran, menandakan bahwa jam operasional telah dimulai.

Aisha sebenarnya agak khawatir dengan kondisi Sarah yang belum benar-benar fit dan dalam kondisi prima. Hal itu menjadi sinyal kuat betapa Aisha menganggapnya sudah seperti saudara kembarnya, kendati dalam beberapa kesempatan, keduanya sering berdebat sengit.

Sarah beranjak dari ranjang untuk melihat-lihat beberapa kaligrafi hasil tulisan tangan yang dipajang di dinding rumah itu. Sebelumnya dia sempat menyaksikannya, tapi tidak terlalu seksama dan detail. Kali ini dia lebih leluasa memperhatikan setiap inci pada kaligrafi itu, merabanya, dan merasakan makna yang terkandung di dalamnya.

Kaligrafi. Sarah sama sekali tak memiliki memori apa pun dengan kaligrafi-kaligrafi itu. Dia hanya pernah mendengar cerita dari Aisha bahwa dirinya sangat menyukai makna estetika dari seni budaya yang berasal dari Arab tersebut, namun dia tak pernah memperdulikannya. Kali ini situasinya berbeda, berbanding terbalik 180 derajat.

Hampir dua puluh menitan Sarah mencoba meresapi setiap makna tulisan dalam kaligrafi tersebut. Dia mengerti bahwa untuk merasakan sesuatu, untuk mencintai sesuatu dari hati, dia perlu memberikan perasaan yang sama, perasaan tulus untuk saling terikat satu sama lain. Hal itu yang telah dia lakukan dalam beberapa tahun kedekatannya dengan Aisha, sesuatu yang sempat dia pinggirkan pada masa remaja dulu.

Sarah beranjak lalu mendekat ke sebuah kamar yang pernah sempat Aisha kenalkan padanya. Namun sampai saat ini dia belum pernah memasukinya. Sebetulnya, Aisha pernah menawarinya saat mereka berkumpul merayakan kelulusan mereka, tapi Sarah menolaknya dengan alasan kuno bahwa perayaan kecil-kecilan itu sangat berharga, sehingga seluruh waktunya dihabiskan bersama keluarga.

Tangan Sarah telah berada pada gagang pintu yang terbuat dari kayu jati berusia belasan tahun itu. Pada bagian tengah atas terdapat kayu memanjang yang telah diukir sedemikian rupa, dan terdapat tulisan bahasa Indonesia dengan gaya tulisan yang sangat indah dan memukau 'Perpustakaan Mashel'. Sarah berpikir sejenak, sebelum menyadari nama 'Mashel' adalah kata terakhir dari nama panjang 'Aisha Syafiqah Mashel'.

Sarah jalan memasuki perpustakaan sederhana dalam rumah tersebut, dan betapa terkejutnya dia saat mendapati sebuah ruangan yang dari lantai hingga langit-langit dipenuhi dengan buku-buku yang jauh lebih banyak dari yang pernah dia lihat sebelum-sebelumnya. Meski tak seluas perpustakaan di kampusnya, Sarah yakin bahwa di Perpustakaan Mashel itu semuanya merupakan buku-buku pilihan dengan bobot nilai yang tinggi.

Buku-buku yang ada di dalam ruang tersebut sangat bervariasi dalam tiga bahasa—Arab, Indonesia, dan Inggris—dengan sisi rak yang berbeda-beda. Buku-buku tersebut didominasi jenis sejarah. Tak heran jika Aisha sangat pandai saat berbicara soal sejarah. Meski Sarah tidak menyukai buku selain tentang Palestina atau novel-novel Tere Liye dan Andrea Hirata, dia mulai merasakan ketertarikan pada mereka.

Yang tidak kalah menariknya dengan tumpukan buku-buku itu adalah serangkaian peta yang terpajang di sepanjang dinding yang terbuat dari kerajinan tangan, bukan dari mesin cetak atau mesin copy. Peta dengan beberapa nama negeri lain yang telah Sarah ketahui, tua dan baru. Beberapa di antaranya cukup asing baginya. Terbingkai di tembok seberang, di balik panel kaca, sebuah peta luas penuh warna yang disatukan dari lembar-lembar kertas terpisah.

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang