Tiga Puluh Lima

9 3 0
                                    

Sarah sudah duduk di depan komputernya yang diletakkan di atas meja kaca tebal membulat. Cukup lama dia sudah terjaga. Benaknya melompat-lompat bagai kerikil yang dilempar ke permukaan air. Azis mengantarkan secangkir teh hangat. Padahal dia bukanlah pengantar minuman, apalagi petugas kebersihan. Azis adalah kepala liputan di minanews.net.

"Tidak perlu repot-repot. Aku bisa melakukannya sendiri," kata Sarah berbisik di dekat Azis.

"Tidak mengapa," jawab Azis yang masih berada di hadapan Sarah, "lagi pula kamu masih baru di sini. Jadi wajar jika kulayani dirimu."

Sarah hanyut dalam pikirannya. Tangannya membalik-balikkan halaman demi halaman koran yang dipegangnya. Ini adalah tugas pertamanya di kehidupan yang baru, tempat yang baru, atau bahkan rumah yang baru. Dia sama sekali tidak ingin membuat kesalahan pertama, tentu saja.

Sejak bertemu dengan lelaki tua yang kemudian Sarah ketahui sebagai pemimpin redaksi di minanews.net itu, dia menjadi semakin yakin tempat itu cocok untuknya. Tempo hari, lelaki tua itu cukup banyak bergurau tentang pekerjaan wartawan. Dia juga banyak bercerita tentang keluh kesah dan cerita-cerita unik saat dirinya masih aktiv menjadi wartawan di lapangan.

Saya sudah berkunjung ke 27 negara di seluruh dunia, kata lelaki berumur yang tempo hari ditemuinya. Ucapan itu masih terngiang-ngiang jelas di benak. "Apa-apaan itu! Jika seperti itu, seharusnya mudah saja wartawan datang ke Palestina," suara dari sudut lain benaknya ikut mengomentari klaim dari lelaki berumur itu.

"Apa yang sedang kamu pikirkan, Sar?" tanya Azis dengan penuh keheranan, "kok ngelamun?"

"Oh tidak," jawab Sarah sedikit terkejut, "sedang bingung mau nulis apa."

"Soal itu," Azis mengambilalih koran yang dipegang Sarah, "kamu bisa mencari beberapa isu yang sedang jadi fokus utama media-media lain. Lalu kamu bisa menyisir dari sudut pandang lain."

"Berarti nanti isu yang diangkat akan sama dengan media lain, dong?"

"Tidak, bukan begitu. Isu boleh sama, tetapi kemasan tulisan itulah nanti yang membedakan," jawab Azis santai, "itu tergantung bagaimana kita mengolahnya."

"Caranya?"

"Begini, kita punya satu isu sama, Palestina misalnya, media lain mengangkat dari sisi jumlah korban atau jumlah kerugian dalam peperangan dan konflik di sana—"

"Itu bukan peperangan, tapi pembersihan etnis," kata Sarah memotong ucapan Azis, "peperangan itu dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki peralatan dan perlengkapan perang. Sementara dalam kasus ini, Palestina punya apa?"

"Bukan itu maksudku. Kita berbicara tentang redaksi tulisan berita yang akan kita muat."

"Penggunaan diksi yang tidak tepat juga akan mengubah isu, bukan?" tanya Sarah, "kamu yang mengajarkannya kepadaku."

"Oke baiklah," Azis mengalah. "Tapi, bisakah kita lanjutkan pembahasan sebelumnya tanpa berdebat?"

"Tentu saja. Ya."

"Kita dan media lain punya isu yang sama. Isu Palestina seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, media lain mengangkat dari sisi jumlah korban dan kerugian akibat konflik di sana, maka kita bisa mencari dari sisi lainnya, bisa dari kisah yang menarik, humanis, feature misalnya seperti dari sisi sosok pejuang-pejuang wanita, atau keberhasilan-keberhasilan yang dicapai Palestina. Itu lebih menarik, bukan?"

"I, iya juga, sih."

Sepagian itu, kedua tangan Sarah mulai bekerja sama, mulai dari mencari bahan dalam koran, website online, maupun dari video yang ditayangkan media lain di media sosial mereka. Sesudah itu, dia memikirkan apa yang akan dia catat.

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang