Tiga Puluh Enam

20 2 0
                                    

Di hari pertamanya tugas sebagai calon wartawan sekaligus pada hari keduanya di ibu kota, menuntun Sarah ke dalam pengalaman yang baru, bukan hanya tinggal cukup jauh dari anggota keluarganya, tetapi juga berjalan di atas kaki sendiri, sesuatu yang tidak dilakukannya selama ini.

Sarah mungkin menyangkal ini momen istimewa, tetapi dia terlihat bahagia dengan keadaannya sekarang. Dia bertanya-tanya apakah Azis akan menemaninya setiap waktu untuk memudahkan tugasnya menulis naskah berita, atau hanya hari itu saja. Tapi mungkin saja Azis akan lebih sibuk dari hari itu, mengingat dia adalah pemegang komando peliputan di minanews.net.

Di tempat itu, Sarah bukan satu-satunya wanita yang punya cita-cita menjadi wartawan hebat. Ada empat sampai lima wanita lain yang semuanya memakai jilbab tak kalah lebar dari Sarah. Itu memudahkannya dalam bersosialisasi, bukan karena tidak senang dengan wanita tak berjilbab, tetapi lebih kepada memiliki kesamaan visi dan misi.

Selain Sarah, ada Siti Hajar, Raudhatul Jannah, Hilyatul Aulia, dan Lusi Karohmah. Dari keempat orang itu, Sarah cenderung dekat dengan Lusi. Bukan saja sesama dari Jawa, tetapi juga karena dia masuk ke minanews.net bersama Sarah. Sementara tiga lainnya telah lebih dulu datang ke sana, sehingga pengalaman mereka setingkat di atas Sarah dan Lusi.

Lusi juga sepertinya rileks dan menikmati suasana. Saat mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing, dia menghibur mereka dengan cerita-cerita aneh tentang mistis di Jawa kuno yang cukup terkenal. Dia kadang bergidik sendiri ketika menceritakan itu.

"Aku tak peduli dengan cerita mistismu itu," kata Siti Hajar yang tampak terlihat paling dewasa di antara mereka. "Lebih baik kamu selesaikan tugasmu."

"Makin lama makin jelas," ujar Lusi. "Apa yang kubaca hari ini tentang primbonku membuatku percaya ceritanya akan semakin menjadi kenyataan."

"Kamu seorang muslimah," sahut Siti Hajar. "Seharusnya tidak mudah percaya dengan hal-hal seperti itu, atau mengeluarkanmu dari ajaran Islam."

Sarah melirik Siti Hajar. "Tidak perlu terlalu keras seperti itu. Aku yakin Lusi tidak serius mengatakannya."

Siti Hajar mempertimbangkan beberapa detik. "Bagaimanapun, dia telah mengucapkan kata-kata yang bisa mengeluarkannya dari ajaran Islam."

"Benar," ujar Sarah, "tapi bisa mengatakannya dengan lembut. Tidak perlu sampai keras seperti itu."

"Sudah jangan bertengkar. Ini salahku," Lusi mendamaikan suasana yang tampak mulai panas di tengah teriknya matahari di luar gedung.

"Ini hal yang biasa dalam dunia wartawan, berdebat dan saling berbeda pendapat," Azis yang entah sejak kapan dia mengamati keributan itu. "Tapi yang harus kalian pahami, berbeda pandangan itu hal yang sangat wajar, jika sudah kontak fisik, itu sudah berbeda lagi."

Sarah menaruh telapak tangannya di telinga gelas teh hangat, dan jemarinya yang kokoh menelusuri pola yang diukir di gelas kaca itu sambil melamun. Matanya tetap terpaku pada Azis yang berdiri di sisi meja kaca bulat penuh dengan wanita-wanita muda yang siap menjadi wartawan itu.

Siti Hajar mendorong kursinya ke belakang dan berdiri. "Dia yang memulai. Tidak mungkin aku membiarkan ada kemungkaran di tempat ini."

"Kita tidak dalam kapasitas menghukumi seseorang karena ucapannya," kata Azis. "Tidak perlu sampai ribut begini. Kupikir masalahnya telah selesai."

"Jadi, bagaimana, Bang Azis?"

"Begini saja," mata Lusi yang masih tertuju pada Azis, perlahan mulai bergeser ke arah posisi Siti Hajar. "Aku minta maaf. Aku yang salah."

"Itu lebih baik," ujar Azis. "Aku jadi teringat sesuatu."

Sebelah alis Sarah terangkat penasaran. "Ingat sesuatu?" lanjut Sarah, "memang beda kelas antara yang sudah pengalaman dengan yang masih baru seperti kita."

"Jangan begitu. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengalaman atau tidak pengalaman."

"Jadi, apa yang ingin Bang Azis sampaikan?"

Azis diam sejenak. "Ingat kejadian saat pembagian ghanimah (barang rampasan perang) di Madinah oleh Nabi Muhammad Saw.," lanjut Azis, "ketika ada seorang yang memprotes apa yang sudah ditetapkan Nabi Muhammad Saw. soal pembagian itu. Dia sama sekali tidak meminta maaf, apalagi merasa bersalah. Kalian ingat kisah itu, bukan?"

"Samar-samar," kata Siti Hajar. Sebenarnya dia mengingatnya dengan jelas. Dia adalah lulusan pesantren, sementara kisah tersebut sudah banyak diceritakan di pesantren. "Kisah yang menggelikan. Bagaimana bisa mempertanyakan keadilan Nabi Muhammad Saw. yang terkenal dengan julukan 'Al-Amin'?"

Bagi Sarah, itu adalah pertama kali dia dengar kisah tersebut. Maklum saja, Sarah tidak pernah merasakan bangku pendidikan di pesantren.

"Aku ingat bagian itu," timpal Jannah.

"Maksudku," kata Azis, "lebih baik meminta maaf ketika salah, jangan terlalu keras kepala. Boleh saja kalian keras dalam memegang pendapat kalian selama itu bukan dalam urusan agama. Jika sudah dalam koridor itu, lebih baik tidak berdebat."

Mereka tidak mengatakan apapun setelah itu, mulai kembali pada kesibukan masing-masing di layar komputer mereka.

"Aku sudah membagikan tugas untuk kalian di dalam grupWhatsApp. Kerjakan tugas itu dengan semangat dan kesungguhan yang kalianpunya." (RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang