Dua Puluh Satu

9 0 0
                                    

Semakin Sarah mempelajari Palestina, semakin merasakan betapa sedikitnya pengetahuan yang dia miliki. Sejak dekat dengan dunia Palestina, Sarah merupakan tipikal muslimah yang tidak pilah-pilih sumber informasi, selama bisa dipercaya keabsahannya. Di sisi lain, dia juga tidak sembarangan menerima dan menyebarkan informasi yang dia dapatkan, minimal memilihnya sebagai konsumsi pribadi.

"Bentuk rumahnya berbeda dari terakhir kali kukunjungi beberapa waktu lalu," gumam Sarah dari balik jendela mobil yang masuk ke halaman sebuah bangunan dengan arsitektur kearab-araban. "Seperti bukan rumah Tante Nikita."

Salah satu ciri khas arsitektur bangunan Arab adalah dia tidak memiliki atap yang landai seperti di Indonesia, melainkan berbentuk kotak dengan atasan datar. Tiangnya yang lumayan besar, dibalut dengan marmer cokelat menambah eksotis bentuk bangunan itu.

"Memang benar, Sar. Ini tidak seperti rumah Tante Nikita. Walaupun kamu sering ke rumahnya, tapi kamu belum pernah ke bangunan ini, bukan? Bagi mamah, ini sudah keberkian kalinya datang ke tempat ini."

"Belum. Tapi, mamah nggak pernah cerita soal tempat ini kepada Sarah?"

Ibunya tidak menjawab pertanyaan itu. Sarah sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya.

"Bangunan ini meniru gaya yang ada di Arab sana, Sar," Ida Fauziah menjelaskan hal lain, sambil terus fokus menyerir. Tatapannya tajam ke depan. "Kamu seharusnya tidak terlalu terkejut melihatnya. Bukan begitu, Sha, Rel?"

"Iya," Aisha dan Aurel menjawab kompak. "Sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh orang-orang pinggiran kota," kata Aurel menambahkan.

Suasana hening sejenak.

"Kapan kamu terakhir kali berkunjung ke rumah Tante Nikita, Sar?" tanya Ida Fauziah.

"Sekitar tiga bulan yang lalu, saat aku masih memiliki banyak waktu. Belakangan ini sudah sangat jarang karena kesibukanku di kampus, mam," jawab Sarah malu-malu. "Namun, aku selalu berharap punya kesempatan berkunjung ke rumah Tante Nikita di kesempatan lain."

Tak sampai lima menit setelah melewati gerbang utama, mobil yang ditumpangi Sarah dan rombongannya tiba di pelataran rumah sederhana namun tak ada kesan kuno, lebih ke modern elegan. Halaman rumah itu tampak rapi dan bersih dengan beberapa kebun bunga di sudut-sudut, ditemani beberapa pohon mangga dan beberapa pohon buah lainnya. Mata Sarah tak pernah lepas dari salah satu sudut bangunan yang sepertinya dia pernah melihat sebelumnya.

"Ah, ponsel Aurel," katanya berbisik. "Foto ini ada di salah satu kumpulan gambar yang ada di galeri ponsel Aurel."

Tanpa pikir panjang, Sarah langsung mencolek Aurel yang hendak keluar mobil melalui pintu yang berseberangan dengannya. "Rel, aku mau pinjem ponselmu sebentar. Ada sesuatu yang sangat ingin kulihat."

Permintaan Sarah tak dibalas dengan pertanyaan atau ucapan apa pun. Aurel langsung menyodorkan ponselnya yang telah dalam kondisi menyala di homescreen. "Tapi lowbet."

"Enggak apa-apa, ini hanya sebentar saja," balas Sarah ringan. Tangannya aktif bergerak lincah menggeser layar ponsel tersebut, berharap menemukan apa yang sedang dia cari. Sarah sangat yakin gambar itu telah dilihatnya di ponsel kakaknya tadi pagi.

"Sudah kuduga. Ini adalah lokasi pengambilan gambarnya. Pantas saja aku sedikit terkejut tadi," pikirnya. Bangunan yang dimaksud Sarah adalah sebuah miniatur Masjidil Aqsa yang dibangun di sebelah rumah sederhana itu. "Sangat menakjubkan."

Kemudian perlahan-lahan, Sarah mengembalikan ponsel Aurel, meninggalkan kakaknya dan berjalan cepat menuju bangunan tersebut. Sarah sama sekali tak sedikit pun mengalihkan pandangannya ke arah miniatur Masjidil Aqsa itu, sesuatu yang sangat dia idam-idamkan bisa berziarah ke salah satu masjid yang direkomendasikan oleh Rasulullah Saw 14 abad silam itu.

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang