Empat Puluh

144 6 1
                                    

Sebulan sebelum acara serah terima RS Indonesia dari rakyat Indonesia kepada rakyat Palestina, Sarah mendapati kabar bahwa Aurel telah dilamar seseorang. Dia belum tahu siapa lelaki yang telah beruntung akan mendapatkan wanita secantik dan sepintar kakaknya itu. Sebenarnya Sarah tidak terlalu peduli siapa lelaki itu, namun dia menjadi sangat ingin tahu saat kakaknya itu memberitahu bahwa lelaki tersebut sudah sangat dikenal baik oleh Sarah.

Aku tidak mungkin menanyakan langsung kepada Aurel, katanya dalam hati, yang kudapat bukan jawaban pasti, malahan tantangan untuk menemukan jawabannya sendiri.

Sarah tersenyum sendiri dalam lamunan. Ketika kebahagiaan terpancar di wajahnya, matanya tiba-tiba terlihat beralih entah ke mana, ke suatu lingkaran pikiran yang lain. "Pasti orang itu bukan orang sembarangan." Kalimat itu tiba-tiba muncul dalam benaknya. Dia hanyut dalam lautan pertanyaannya sendiri.

"Apa yang kamu lakukan, Sar?" Lusi tiba-tiba bertanya.

"Eh."

"Kenapa kamu senyum sendiri?" tanyanya lagi. "Kamu sedang bahagia?"

"Tidak. Bukan. Aku baru saja mendengar kabar dari rumah bahwa kakakku telah dilamar orang."

"Itu yang membuatmu bahagia? Bagus, dong. Kamu tidak lama lagi akan segera memiliki abang ipar."

"Ya. Aku bahagia mendengarnya. Di sisi lain aku juga gelisah, sebab aku khawatir akan mengacaukan semuanya."

"Tidak baik berburuk sangka, meski pun terhadap diri sendiri. Lebih baik kamu doakan mereka lancar sampai hari yang telah ditentukan."

Seakan mengonfirmasi kata-katanya, Sarah hanya mengangguk, tanpa memandang wajah Lusi yang berada tepat di depannya.

Lusi semakin tidak mengerti dengan tingkah Sarah. "Tapi, apa yang membuatmu khawatir?"

Perempuan itu terdiam sejenak, kemudian duduk di sebelah Sarah, mengamati mimik wajahnya, mencari peruntungan untuk bisa menemukan jawaban dari sana.

"Aku bingung," kata Sarah lirih. "Lelaki yang telah melamar kakakku adalah orang yang dekat denganku."

"Bukankah itu bagus, kalian akan mudah saling menyatu," kata Lusi spontan.

"Itu masalahnya."

"Masalah?"

Sarah bergerak lemah untuk mengambil cangkirnya, memberi tanda bahwa rongga dadanya kering dan memerlukan cairan. Lusi mengambilkan cangkir itu dan memberikan padanya. Dia tidak dapat memegangnya dengan stabil, dan akhirnya Lusi-lah yang memegang cangkir itu untuknya. Begitu selesai, dia kembali bersandar terkulai tak berdaya seperti boneka kain.

"Kamu sakit?" tanya Lusi dengan wajah agak panik.

"Aku tidak apa-apa."

"Tapi mengapa?" dia bertanya dengan suara parau, bingung. "Bila tidak terjadi apa-apa, mengapa tubuhmu begitu lemah?"

"Ntahlah. Mungkin saja," setelah sesaat, dia menambahkan, "hanya sedikit butuh istirahat."

"Kalau ada yang menganggu pikiranmu, kamu boleh ceritakan kepadaku. Semuanya."

"Lain waktu aku akan menceritakannya kepadamu."

Untuk sesaat Sarah berdiri tak bergerak, memerhatikan ruang kantornya, kemudian berjalan menghampiri rak buku di sudut ruangan dekat jendela, mencari-cari sebuah buku di tempat itu. Dia beberapa kali mengambil sebuah buku dari deretan yang ada, lalu mengembalikannya.

Untuk beberapa detik pandangan mata Lusi fokus pada tubuh Sarah di depan rak buku, dan kemudian mengalihkan pandangan. Beberapa buah pertanyaan dilontarkan padanya seperti rentetan tembakan, tetapi Sarah mengabaikannya, menolehkan kepalanya ke sana kemari, senyum tersamar membuat kedua ujung mulutnya berlipat, sebelum memutar kepalanya ke beberapa arah. Tangan kanannya membawa sebuah buku tipis, menandakan dia telah menemukan apa yang dicarinya. Dia kembali berjalan menuju tempat asalnya.

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang