Dua Puluh Empat

8 0 0
                                    

Sarah tiba di rumah sekitar pukul delapan malam, tepat setelah salat isya. Dia menyelesaikan hari yang penuh kejutan tak terduga itu bersama Aisha, dan setelah itu mereka berpisah di perempatan jalan utama Jogja. Sarah belok kiri menuju arah barat, sementara Aisha terus lurus ke utara. Malam itu tidak terlalu sepi. Jalanan masih cukup ramai.

Aurel telah menghabiskan beberapa menit di dapur. Itu adalah tempat yang lumayan bagus untuk sekedar mengisi kepenatan setelah bekerja seharian. Itulah yang dia lakukan sembari menyiapkan masakan untuk makan malam, dan memotong sayuran untuk salad. Ketika Sarah pulang, dia baru saja mengaduk cokelat kejutan untuk makanan penutup.

Mata Sarah bersinar-sinar ketika melihat kreasi kuliner Aurel. Senyumnya berubah menjadi tawa ketika Aurel menggodanya untuk segera membersihkan tubuh sebelum duduk di meja makan untuk menyantap makan malam yang telah disiapkan Aurel.

Aurel mengisi bak mandi dengan air hangat.

"Terima kasih," ujar Sarah. "Atas dasar apa aku dimanjakan kali ini?"

"Anggap saja ini perhatian dan kasih sayang seorang kakak untuk adiknya."

"Aku tahu, begitu juga aku menyayangimu, Aurel. Tapi, tolong katakan padaku alasan sebenarnya untuk—"

"Alasan sesungguhnya?" ujar Aurel sambil merapikan santapan malam yang tengah disiapkannya. "Kamu pikir aku punya semacam permintaan tersembunyi?"

Sarah memandangi Aurel, memastikan sorot matanya tidak memancarkan kebohongan.

"Tapi kurasa aku tahu kamu memiliki sebuah permintaan tersembunyi. Aku sudah mengenalmu selama 22 tahun."

Terakhir kali Aurel menggunakan trik ini untuk mendapatkan keinginannya memang belum begitu lama, yaitu ketika ibunya mengajak Sarah pergi ke rumah temannya untuk melihat-lihat koleksi seputar Palestina di sana. Saat itu Aurel mendengar nama 'Tante Nikita' disebut-sebut.

"Sepertinya ini menyangkut laki-laki. Jika iya, aku tak bisa membantumu."

"Sudah ketahuan, ya?"

"Aku bisa merasakan apa yang sedang kamu rasakan, Aurel."

Aurel mulai bercerita. Dengan tenang dia mengatakan tentang sosok Azis Ibadurrahman. Mungkin dia telah keliru menilai Azis, namun selepas pelatihan penulisan berita beberapa waktu lalu, pandangannya tak bisa lepas dari bayangan Azis. Jatuh cinta? Entahlah, Aurel belum bisa menyimpulkannya, gejolak perasaan tidak sesederhana itu.

Sketsa wajah Azis terus menginvasi ruangan perekaman di dalam memori kepala Aurel. Itu pertemuan pertama kalinya setelah lima tahun berlalu, Aurel masih belum percaya dengan perubahan yang diperlihatkan Azis.

"Oh iya, Aurel sudah seperempat abad usia. Menurutku wajar jika menyukai lawan jenis," Sarah terkekeh.

Aurel menelan ludah. "Dia ini tidak begitu saja masuk ke dalam alam pikiranku."

Tiga puluh menit berselang, Sarah keluar dengan baju tidurnya, rambutnya terikat, tidak dia biarkan bebas terurai. Meski sedang tidak mengenakkan hijab seperti biasa saat di luar rumah, kecantikannya tidak sirna. Dia memiliki paras lebih mirip ibunya, tetapi wataknya mengikuti ayahnya. Berkebalikan dengan Aurel.

"Kamu jatuh cinta dengan Azis?" Sarah membuka pertanyaan setelah sempat tertunda selama hampir sejam tadi.

"Seperti yang sudah kubilang kepadamu, perasaan itu muncul dengan sendirinya tanpa kusengaja."

Dengan perlahan, Sarah mengambil beberapa hidangan yang telah disiapkan Aurel. Itu hanyalah masalah kecil. Sarah memberi tahu Aurel tentang foto-foto di ponselnya. Sarah membiarkan Aurel menyelesaikan ceritanya, tapi dia menatap Aurel dengan ekspresi seseorang yang tak sengaja menggigit cabai rawit.

"Yang kutahu soal Azis—"

"Apa?" Aurel menyergap pertanyaan Sarah tanpa menunggu adiknya selesai bicara.

"Aisha pernah cerita kepadaku, Azis bukan tipikal orang yang gampang jatuh cinta. Bahkan untuk urusan pernikahan saja dia mau selepas punya karya tulis sendiri," ujar Sarah sembari menyantap hidangan. "Tapi, bisa saja dalam waktu dekat."

Aurel sama sekali tidak menyentuh makanan malam itu. Dia terus fokus mendengarkan cerita Sarah, pandangan tak berkedip, mencoba menyimpan setiap untaian kata tentang Azis dari Sarah. Hal yang wajar untuk seorang wanita seusianya jatuh cinta.

"Apakah bukan hal yang tabu jika wanita mengungkapkan perasaannya kepada lawan jenis," Aurel berusaha tetap logis. "Atau bahkan melamarnya."

Sarah geleng-geleng kepala sambil terus menikmati hidangan yang telah disiapkan di hadapannya. Perutnya begitu kosong sejak perdebatan sore tadi. Terlalu banyak menggunakan pikirannya. Padahal Sarah tidak mendapatkan keuntungan sepeser pun dari perdebatan itu.

"Sudah, lupakan saja," Aurel mengalihkan pembahasan dengan mengambil beberapa sendok makanan. "Wanita yang jatuh cinta memang menyusahkan."

Sarah sudah tidak dapat menahannya lagi. Dia menghentikan aktivitasnya, memandangi muka kecut Aurel di sebelahnya.

"Bodoh!" sindirnya dalam suara yang tak terlalu begitu jelas terdengar, namun tetap menunjukan ketegasan. "Jangan pantang menyerah. Bagaimana kamu tahu soal kelanjutan ceritanya jika kamu tidak berusaha membacanya. Sebuah novel akan menarik jika dibaca seluruhnya."

Aurel yang menangkap sindiran itu membalas, "jika kamu tahu bagian ending novel tersebut, apa yang akan kamu lakukan?" kata Aurel, tubuhnya diam terpaku. "Kamu tetap akan membacanya sampai akhir kisah?"

Sarah berpikir sejenak. "Bagaimana kita bisa tahu ending novel akan seperti apa jika tidak membacanya secara utuh? Kamu mau membaca novel dari halaman belakang?"

Aurel tak menjawab pertanyaan itu, memandang Sarah penuh keheranan.

Sarah tidak memperdulikan. "Novel itu berisi rangkaian cerita, apakah itu berisi perjuangan, atau mungkin kesuksesan sejak awal. Ending kisah itulah yang menjadi puncak kisah dari novel tersebut. Kita tidak tahu akan berakhir baik atau tidak jika tidak pernah membacanya."

"Jika kita telah membaca semua dan mengetahui endingnya tidak baik?"

"Kepuasan tersendiri," Sarah menoleh ke sebelah kanan, tepat posisi duduk Aurel. "Jika kamu tidak ingin mengetahui cerita di dalam novel itu, kamu jangan memulainya. Jika kamu telah berada di dalam ceritanya, usahakan bisa kamu selesaikan. Sesimpel itu membaca kisah dalam novel."

Sarah memasukkan tangan kanan bekas dia menggunakannya untuk menyantap makanan malam ke dalam kobokan air yang diletakkan dalam sebuah wadah kecil. Dia berdiri, beranjak pergi meninggalkan Aurel di ruang makan, menuju ruang keluarga yang berada tepat di tengah bangunan rumahnya.

Aurel masih diam di tempat duduknya. Dia sama sekali tak menyangka Sarah begitu menyederhanakan persoalan perasaan, apalagi menyangkut orang lain, bukan hanya dirinya saja. Apakah dia egois? Tidak juga.

Dari pintu depan rumah bel berbunyi beberapa kali. Sarah melangkahkan kaki ke arah ruang depan, menggantikan pekerjaan Mbok Midah yang sedang izin pulang ke kampung halaman. Tampak sosok ibunya kepayahan dengan wajah yang sangat capai. Sarah bisa merasakan kesibukan yang telah dilalui ibunya seharian ini.

"Tumben pulangnya selarut ini, mam?" tanya Sarah sembari mencium punggung tangan kanan ibunya. Selepas itu dia meraih tas, membantu meringankan beban. "Biasanya mamah pulang lebih awal dari kita."

"Cukup banyak kerjaan hari ini. Tapi untungnyabisa mamah selesaikan semuanya di kantor." (RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang