Enam

41 3 0
                                    

Malam yang penuh drama melankolis itu telah berlalu, berganti dengan hari penuh semangat baru. Suara alarm dari beker di atas meja bersebelahan dengan tumpukan buku, tepat pada pukul setengah tiga pagi, berdering lumayan keras hingga memenuhi isi seluruh ruangan.

Mata Aisha mulai terbuka perlahan, sementara Sarah masih belum keluar dari dunia mimpinya. Parasnya yang ayu tetap terlihat cantik meski dalam keadaan tidur.

Goyangan yang ditimbulkan dari gerakan aktif Aisha membuat Sarah terbangun. Mulai hari itu, dia sudah meniatkan diri untuk bangun pada sepertiga malam terakhir, melakukan salat Tahajud dan mendoakan rakyat Palestina, seperti yang sering dia baca tentang kisah sukses seorang panglima Islam Salahuddin Al-Ayyubi dalam membebaskan tanah Palestina dari pasukan Salib.

Sarah sudah terlalu sering mendengar dan membaca kisah tokoh pejuang Islam satu ini. Namun, dia belum pernah mendengar ada satu pun pemimpin di negeri-negeri Islam yang memerintahkan masyarakatnya untuk bangun malam dan melakukan salat laiknya Salahuddin. Dari situlah muncul niatan untuk mengikuti jejak sang pahlawan itu. Mulai dari dirinya sendiri.

Selain dirinya dan Aisha, Sarah juga mendapati Azis tengah melantunkan ayat-ayat Al-Quran, dia seperti sedang mendengarkan suara rekaman murottal yang sering diputar di masjid-masjid, beberapa menit menjelang azan. Saking merdunya. Dia belum pernah mendapati laki-laki seperti itu sebelumnya. Jika Islam mengizinkan, rasanya dia ingin semakin mengenalnya lebih jauh.

Tapi apa daya, selain dilarang dalam agama, ibunya juga selalu berpesan untuk tidak mengenal cinta sebelum waktu yang tepat tiba. Dan, Sarah menahan diri tidak berani mendekati redline yang telah dipasang ibunya.

"Koran, koran. Ada berita baru dari dalam negeri!"

Seseorang dengan suara agak berat, bersama sepeda onthel tua dalam pelukannya, melemparkan sebungkus plastik berisi beberapa eksemplar koran ke teras rumah Aisha. Pagi masih sangat buta. Kira-kira setengan enam. Orang itu meraih kendali sepedanya, berlalu pergi begitu saja, sibuk dengan tumpukan koran-koran lain yang ditaruhnya di sela punggung sepeda untuk didistribusikan kepada pelanggannya.

Azis memungut koran itu dan segera membuka plastik yang melindunginya dengan perlahan. Dia tak ingin koran tersebut rusak hanya karena tidak berhati-hati saat membukanya. Diperhatikannya satu per satu setiap halaman dari masing-masing koran tersebut, dan melingkari beberapa judul yang dianggapnya penting dengan pensil yang telah dia siapkan.

Di tempat lain, Sarah hanya menyaksikan moment itu dari balik pintu kamar pribadi Aisha yang sedikit terbuka, tidak berani sampai mendekat, apalagi menyapanya.

"Sar, sebelum Bang Azis kembali ke Jakarta sore nanti, pagi ini kita ngobrol santai dengan dia, yuk."

"Sudah mau kembali ke Jakarta? Bukankah kamu bilang dia baru datang hari kemarin? Kenapa bisa buru-buru begitu?"

"Iya, urusannya di kampung sudah selesai, dan abangku harus segera kembali lagi."

"Hmm.. begitu. Baiklah."

Sejam berlalu, Siti Aminah menyiapkan pisang dan singkong yang telah digoreng, beberapa di antaranya direbus, bersama teh hangat dalam teko yang cukup untuk lima sampai tujuh cangkir. Suasana pagi, cahaya mentari yang masih samar-samar, ditemani nyanyian merdu dari burung-burung kecil yang amat riang terbang bebas, membuat keadaan menjadi cukup eksotis, dan terlalu sayang untuk dilewatkan berkumpul bersama keluarga.

Semua makanan ringan, untuk sekedar mengisi waktu bersama pada pagi hari itu, diletakkan dalam sebuah piring yang cukup besar daripada normalnya ukuran piring yang lain. Piring berisi penuh pisang dan singkong goreng itu diletakkan di atas lantai teras. Seluruh penghuni langsung merapat, dan mengelilingi makanan itu sambil duduk bersila pada dinginnya ubin lantai teras itu.

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang