Dua Puluh Tujuh

11 0 0
                                    

"Kenapa lama sekali? Kamu bilang berangkat jam setengah enam. Ini sudah hampir jam tujuh," kata Aisha dari depan pintu rumahnya memandangi Sarah dan Aurel yang berjalan mendekat. "Sejauh itu kah tempat ini dari rumahmu?"

Sarah tidak menjawab. Dia hanya memerhatikan jam tangannya dan bergegas masuk ke dalam rumah setelah memberi salam kepada Aisha. Sementara Aurel hanya diam saja seraya menjabat tangan dan memeluk Aisha.

"Sarah kenapa, kak?" Aisha membuka pertanyaan. "Tumben banget datang ke sini tapi mukanya kayak baju belum disetrika. Kusut."

"Tau tuh. Tadi dia nyasar keliling Jogja, pas aku ingetin malah kena semprot," Aurel jawab sekenanya. "Oh iya, abangmu ada di rumah?"

"Bang Azis?"

"Memang kamu punya abang berapa?" Aurel bingung. "Kan cuma bang Azis doang."

"Enggak, eh iya. Maksudku bang Azis di Jakarta, kan kerjanya di sana. Pulang kalau lagi ada urusan penting saja."

"Malah pada ngobrol di luar," kata Sarah dengan nada tinggi dari balik pintu rumah. "Ngobrolnya di dalam saja."

Aisha dan Aurel spontan memutar kepala memandang Sarah yang sepertinya sedang tidak mood.

Aurel merasa bahwa dirinya-lah yang bertindak sebagai adik dari Sarah. Dia selalu menuruti apa yang adik sematawayangnya itu inginkan, setelah dia bertekad ingin mengubah diri dan berperilaku baik, terlebih dalam memupuk rasa simpati maupun empati pada orang lain.

Sejak tahun 2010, saat di mana terjadi ketegangan di atas Mavi Marmara, kapal yang membawa rombongan aktivis maupun relawan untuk menembus ketatnya blokade Jalur Gaza. Beberapa bulan setelah insiden itu, terjadi gelombang aksi massa di sejumlah negara, termasuk Indonesia, dan termasuk Sarah berada dalam barisan itu. Sejak saat itu simpati maupun empatinya terhadap orang yang kesusahan mulai terpupuk dan tumbuh subur.

Sarah adalah satu di antara orang-orang yang ikut menggelar aksi damai membela Palestina di alun-alun Jogjakarta. Bersama Aisha yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Sejak itulah Sarah mulai bertekad untuk tidak lagi berfoya-foya dengan waktu mudanya.

"Begitulah adikmu, kak Aurel," Aisha tersenyum simpul. "Tapi banyak orang yang tidak memahami perasaannya. Sarah begitu tulus ketika membantu orang. Di sisi lain dia sangat tegas terhadap orang-orang yang berbuat sewenang-wenang."

"Aku tidak lagi khawatir jika Sarah bergaul denganmu, dia memiliki seorang teman yang tepat," begitu Aurel memuji Aisha yang telah berhasil membawa pada lingkaran hidup menakjubkan, hingga kedua orangtuanya pun terheran-heran.

Aisha dan Aurel masuk ke rumah dan menuju sebuah ruangan dengan tulisan di pintu 'Perpustakaan Mashel', menemui Sarah yang telah lebih dulu berada di dalam.

Dari sini Sarah makin mengagumi keluarga sederhana Aisha. Mengaguminya bukan hanya karena seluruh anggota keluarga itu memiliki intelektual dan relijiusitas yang di atas rata-rata, tetapi juga pada spiritnya untuk terus berbagi ilmu, motivasi, dan apa pun yang mereka tahu ingin selalu mereka bagi.

Di mata Sarah, keluarga Aisha memang bukan sekedar keluarga biasa seperti keluarga-keluarga lain, tetapi sebagai keluarga panutan yang bisa memancarkan aura positif di lingkungan sekitarnya. Ini terbukti dari semakin ramainya musala di dekat kediaman Aisha, tepat di sisi pesantren yang dikelola keluarganya.

Saat mereka sedang fokus membaca buku yang mereka pilih dari rak-rak di perpustakaan tersebut, Arif Dermawan berdiri santai di depan pintu.

Semua tidak ada yang menyadari kehadiran Arif Dermawan, berkosentrasi penuh bagaikan membetulkan kembali pikiran-pikiran mereka yang kacau. Orang-orang ini terbiasa dengan perpustakaan, buku-buku sejarah dan misteri, menyamai para ahli.

"Abah senang melihat kalian begitu semangat membaca buku," kata Arif membuka obrolan. "Abah yakin kalian akan menjadi generasi yang bermanfaat."

Ketiganya kompak menengok asal suara, bahkan saat Arif belum menyelesaikan ucapannya. Aisha nanya, "Abah sudah lama berdiri di situ?"

"Tidak, belum terlalu lama," Arif berjalan mendekat. Dia meletakkan sebuah buku tentang Palestina. Tepatnya buku biografi seorang tokoh keturunan Zionis tulen tetapi membela Palestina. Arif meletakkan buku yang masih terkesan seperti baru itu di atas sebuah meja kecil di dalam Perpustakaan Mashel.

"Ini, kan?" Sarah terkejut, begitu juga Aisha. Sementara Aurel biasa saja tanpa ekspresi. "Ini kan buku yang sangat sulit didapatkan itu, bahkan untuk mencari di toko buku besar saja tidak mudah mendapatkannya."

Arif Dermawan duduk pada sebuah bangku kayu kecil, diam beberapa saat sebelum akhirnya mulai berbicara. Pertama kalinya Sarah melihat ayah Aisha itu begitu serius memandangi mereka bertiga. Sosok yang dikenal suka bercanda ini tidak pernah terlihat seserius itu, bahkan saat mengajar sekalipun.

Mungkin jika ada kontes penilaian guru yang humoris, tapi tetap berwibawa di mata murid-muridnya, Arif Dermawan bisa masuk nominasi sebagai finalis, atau bahkan menjadi pemenang kontes itu, begitu pikir Sarah.

Tapi hari itu sepertinya pria berumur setengah abad lebih yang ada di hadapan mereka bukanlah Arif Dermawan yang mereka kenal selama ini. Air mukanya dingin, dan wajahnya seperti seorang komandan upacara, tegas namun tetap menampilkan wajah damai nan teduh.

"Aku dan Sarah sudah beberapa bulan terakhir mencari buku ini, Abah," Aisha menyentuh buku itu, hendak membuka sampul depannya. "Bagaimana Abah menemukan buku ini?"

"Tidak sulit," katanya. "Memangnya kalian tau siapa Gilad Atzmon?"

"Jawab dulu, Abah. Dari mana dapat buku ini?"

"Abah mendapatkan buku ini dari penulisnya secara langsung saat dia membuat sebuah seminar tentang buku ini di dekat-dekat pesantren belum lama ini," jawabnya sambil mengangkat agak tinggi buku yang tidak terlalu tebal itu.

Buku yang dibawa Arif Dermawan adalah buku biografi seorang Gilad Aztmon yang ditulis oleh Buya Syafi'i Ma'arif sebelum akhirnya dicetak pada awal 2012 lalu.

Gilad Atzmon adalah salah satu tokoh kuat, bahkan fanatik, yang menyuarakan kemerdekaan Palestina, pemusik jazz dunia dan mantan personel dari Angkatan Udara Israel. Dia Yahudi sejati, keturunan Zionis garis keras, cucu tokoh sayap kanan organisasi garis keras Israel yakni Irgun, tetapi kini anti-Zionis dan pembela Palestina.

Keberadaan tokoh seperti Gilad Atzmon sudah diwanti-wanti oleh seorang penulis dalam sebuah kolom analisis media online Israel. Penulis tersebut mengingatkan akan bahaya dari orang-orang keturunan Yahudi yang menjadi kritis terhadap Israel. Bahkan dia menggambarkan orang-orang seperti Gilad Atzmon itu sebagai membahayakan hari depan dan eksistensi Israel.

"Tidak begitu banyak orang tahu. Tapi orang-orang Zionis pasti mengenalnya sebagai seorang pengkhianat bagi mereka," kata Aisha. "Sementara bagi orang-orang Palestina, dukungan dari tokoh seperti Gilad Atzmon adalah sesuatu yang sangat berharga, bahkan tidak bisa digambarkan dengan nominal angka, sebesar apa pun."

"Sama halnya seperti George Steiner, seorang kritikus sastra terkenal di dunia," kata Sarah menambahkan ucapan Aisha. "Steiner dikenal masyarakat luas karena pernah mempertanyakan hak hidup negara Israel."

Suasana di dalam Perpustakaan Mashel menjadi lebih hidup karena mulai adanya diskusi. Sementara Aurel yang memang bukan bidangnya hanya diam memperhatikan diskusi itu. "Aku tidak tahu kamu tahu banyak soal ini," Aurel menepuk pundak Sarah, dan memerhatikan wajahnya yang tampak ikut serius.

Ucapan Aurel tidak terlalu diperhatikan orang-orang yang ada di ruangan itu.

"Begitu pula Norman Finkelstein," kata Arif. "Ia adalah seorang sejarahwan Amerika keturunan Yahudi yang berkali-kali menulis dan muncul di televisi membela Palestina, dan bahkan mendukung secara terang-terangan gerakan Hizbullah di Lebanon."

"Aisha tidak tahu Abah begitu banyak mengetahui soal ini. Kupikir Abah hanya mempelajari ilmu-ilmu akidah dan fikih saja ketika di dalam kamar."

"Aku juga sama. Malahan sempat berfikir Abah itusosok yang tidak terlalu memperdulikan pengetahuan yang lain selain agamaIslam," Sarah menimpali. "Sarah ingin tahu lebih banyak siapa GiladAtzmon." (RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang