Tiga Puluh Tujuh

15 3 0
                                    

"Rakyat Palestina adalah saudara kita, saudara seiman, juga saudara sesama manusia. Ingat ini selalu. Penderitaan mereka tidak berada jauh atau abstrak. Dia adalah penderitaan kita juga. Ketika rumah mereka diruntuhkan buldoser, itu sama saja adalah rumah kita yang dibuldoser. Tatkala perempuannya dianiaya, itu adalah sama saja dengan kaum perempuan kita yang dianiaya. Ketika anak-anak mereka dibantai, itu artinya anak-anak tercinta kita yang dibantai."

Suara Syaikh Maulana Yusuf yang nyaring dan berapi-api bergema di seputar ruang redaksi. Tidak mengherankan, sebab, setiap dua pekan sekali digelar semacam pengajian untuk wartawan minanews.net. Kali ini pengisinya adalah Syaikh Maulana Yusuf, seorang lelaki tua yang sudah menimba ilmu di banyak pesantren. Dia cukup terkenal di kalangan para aktivis Palestina yang ada di Indonesia.

Sementara beberapa wartawan muda dari yang sudah pernah Sarah lihat maupun baru pertama kali bertemu semuanya fokus mendengarkan apa yang dikatakan ulama itu. Bahkan kata 'syaikh' yang dia sandang adalah pujian dari seorang ulama Palestina ketika mereka bertemu dalam sebuah kongres Palestina di Bandung pada 2012 lalu.

"Tugas kitalah sebagai muslim membantu mereka, menentang setiap kejahatan Israel dengan segala upaya yang kita punya," lanjut Syaikh, suaranya melengking tajam, jari-jari yang kurus mengepal dan meninju di udara. "Karena mereka adalah bangsa yang bebal; bangsa serakah, pendusta, dan pembunuh urat nadi kemanusiaan."

Meski umurnya tidak muda lagi, tapi semangat apinya masih seperti orang berusia 20 tahunan. Dia berjanggut lebat yang sudah ubanan, berpakaian gamis putih dengan kopiah hitam di kepalanya dengan jahitan sederhana.

Bukan wartawan namanya jika tidak kritis. Setidaknya itulah yang Sarah temukan pada sore itu, bukan lagi pengajian, tetapi berubah menjadi sebuah diskusi yang intens antara Syaikh Maulana Yusuf dengan sejumlah wartawan yang hadir di sana. Sementara Sarah hanya memandangi mereka penuh perhatian, mulutnya terkunci rapat. Apa boleh buat, Sarah hanyalah anak baru di tengah banyak wartawan senior yang telah memiliki jam terbang tinggi.

"Bukankah kejahatan mereka di Palestina telah terjadi puluhan tahun?" Azis membuka pertanyaan setelah sebelumnya meminta izin untuk bertanya. "Bagaimana bisa hal itu terjadi?"

Syaikh tidak langsung menjawab, dia tampak menunggu yang lain melemparkan pertanyaan. "Pertanyaan bagus. Ada yang mau bertanya lagi?"

Di sebelah Azis, seorang lelaki yang tampaknya lebih muda daripada kakaknya Aisha itu, mengangkat lengan kanannya, hendak bertanya. "Jumlah umat Islam bisa dikatakan mayoritas, tetapi apa yang membuat mereka tidak berani menekan Israel? Bahkan kita sesama media berbasis Islam kadang tidak satu suara dalam isu tentang Palestina."

Sarah memandangi lelaki itu. Meski tampaknya dia seumuran dengannya, namun nalar kritisnya lebih baik darinya.

Syaikh sepertinya akan langsung menjawab semua pertanyaan sore itu. Dia memulainya dengan membaca basmalah, lalu dengan tenang membuka jawabannya. "Yang pertama, mengapa penjajahan Israel atas Palestina bisa terjadi selama puluhan tahun, sementara umat Islam diam saja? Inti pertanyaannya begitu, bukan?"

Azis mengangguk, tanda dia menyetujuinya.

"Ini pertanyaan yang bagus, dan mungkin saja jawabanku tidak akan memuaskanmu. Tapi yang kupahami selama ini, mengapa hal seperti itu bisa terjadi adalah karena umat Islam telah lama jauh dari ajarannya. Sementara mereka justeru mengamalkan ajaran Islam. Ini penting kita bahas bersama."

"Maksudnya, mereka lebih islami dari orang Islam itu sendiri?"

"Ringkasnya seperti itu," ujar Syaikh. "Sejarah telah mencatat bahwa umat Islam maju saat mereka mengamalkan ajarannya, dan umat Islam mundur saat meninggalkan ajaran mereka. Bagaimana ketika Rasulullah membawa umatnya kepada kemajuan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Lalu, khalifah Abu Bakar Ash-Shiddik turut melanggengkan kemajuan itu, karena beliau menanamkan nilai akhlak dan moral terhadap umat Islam. Kemudian khalifah Umar bin Al-Khattab juga memimpin umat dengan penuh kasih sayang dan ketegasan, sampai-sampai dikatakan bahwa fitnah yang terjadi di dalam tubuh umat Islam mulai terjadi selepas beliau wafat. Kemudian ada juga khalifah Utsman bin Affan dan khalifah Ali bin Abu Thalib. Empat khalifah inilah yang kemudian disebut dalam tinta emas sebagai masa Khulafaur Rasyidin."

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang