Tiga Belas

17 0 0
                                    

Setengah sepuluh malam, dalam suasana hujan yang masih mengguyur bebas, Azis bersama salah seorang temannya dari Jakarta yang akan ikut memberikan pelatihan dasar-dasar jurnalistik tiba di rumah. Mereka diantar taksi, tepat setengah jam setelah Aurel meninggalkan tempat itu.

Imron Amrullah, begitu dia mengenalkan nama dirinya. Usianya tidak lebih tua dari Azis, tetapi cara bicara dan sikapnya seperti orang yang telah memiliki jam terbang perkenalan dengan orang yang begitu tinggi. Bahkan, Sulaiman dan istrinya yakin dia lebih senior ketimbang anak pertamanya sendiri.

Pria berkaca mata itu mengaku berasal dari Bandung. Sebelum memutuskan untuk merantau jauh ke Jakarta, dia menjadi seorang pengajar les bahasa pada sebuah lembaga pendidikan bahasa yang ada di kota kembang itu. Selama menjadi pengajar, menurut Imron, banyak sekali ilmu komunikasi yang dia dapatkan, termasuk cara bersosialisasi dengan suasana baru.

Jika melihat Imron, siapa pun akan tahu bahwa dia seorang yang penuh pengalaman. Dia memang memiliki gaya berpakaian dan bicara yang berbeda, dan bahkan lebih usianya muda daripada Azis. Wajahnya yang khas dengan orang-orang Sunda kebanyakan, namun penampilannya lebih mirip orang-orang Timur Tengah.

Mukanya tidak terlalu lebar, tampak oval, rambutnya tertata rapi, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan memiliki alis yang tebal.

Kata-kata Imron yang semanis madu, selincin mentega, dan sekeras baja, dia buktikan dengan sikap yang selaras dengan ucapannya itu. Sementara Azis langsung membawa kawannya menuju kamarnya, agar bisa langsung istirahat, setelah sebelumnya sedikit melakukan obrolan dengan Sulaiman dan istrinya.

Malam yang hampir menggegerkan dua keluarga telah berlalu. Sarah terlihat lebih segar daripada sebelumnya. Dengan perlahan, dia berjalan menghampiri jendela, kedua tangan terkait di pinggang, bersamaan dengan matahari terbit pada wajahnya dan bayangan pada punggungnya.

Sarah tampak berada pada dua sisi dunia berbeda, menjadi pembatas antara cahaya mentari pagi dan bayangan di belakangnya. Dalam lubuk hati Sarah, dia tahu bahwa sesuatu yang lain dalam dirinya berusaha menguasai jiwa suci miliknya. Dan dia bersumpah untuk tidak kalah dengan aroma kegelapan yang ada pada sisi lain dirinya itu.

Sementara bagian kecil dalam diri Sarah yang masih peduli kepadanya ingin menutup rapat kegelapan yang bersemayam di sudut jauh ruang jiwanya. Sarah bukan lagi seorang remaja belasan tahun yang mudah diperdaya oleh sifat egonya. Kini dia adalah perempuan 22 tahun yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga orang lain.

Hal itu Sarah buktikan dengan terus-menerus memikirkan kondisi Palestina. Dia tidak berniat menghentikan langkahnya hanya karena sebuah kerikil kecil, berupa ingatan masa lalu yang kembali membuntutinya. Masa lalu yang tidak pernah dia inginkan terjadi dalam dunia nyata, tetapi dia juga tidak menolak semua yang telah berlalu. Baginya, masa lalu tetaplah masa lalu yang memiliki lembar terakhir untuk ditutup.

Dengan lengan tersilang di depan gamisnya yang indah, Aisha memandangi Sarah yang sedang menikmati suasana pagi yang begitu tenang. "Kamu sudah baikkan, Sar?" kata-katanya jatuh ke telinga Sarah.

"Lebih baik dari semalam," jawabnya singkat, matanya tertuju keluar jendela, menatap dedaunan di taman yang masih basah, sisa-sisa hujan semalam. "Kukira, aku telah mengenal masa laluku yang kelam sebelum hari ini berputar. Aku salah. Tentang diriku sendiri, tentang segalanya."

Bisikan mendayu-dayu yang untuk pertama kalinya muncul dalam diri Sarah membuatnya sedikit terkejut, dan kepalanya berputar seperti kehilangan kendali, tapi entah bagaimana dia masih bisa bertahan pagi ini, setelah semua apa yang terjadi kemarin.

"Kakakku, papah, mamah, kamu, abah, dan umimu! Rasanya seratus nama meledak dari diriku, menggemakan semua yang telah berlalu. Mereka sangat berarti bagiku. Dan aku tahu masih ada ribuan lain, bahkan jutaan. Jutaan kesalahanku yang kulupakan," Sarah seperti berkata pada dirinya sendiri, tapi Aisha mendengarnya dengan seksama.

Dari balik pintu, muncul Siti Aminah membawakan secangkir teh hangat untuk Sarah. Aisha meminta teh yang dipegang ibunya untuk dia berikan kepada temannya. "Minum dulu, Sar. Kamu sepertinya terlalu memikirkan perasaanmu di masa lalu."

"Aku mengharapkan kebaikan, aku mengharapkan cahaya menerangi jalanku sekarang, tapi semuanya samar. Saat kurasakan tangan dingin di leherku, dan bisikan itu menghantuiku untuk pertama kalinya setelah semua yang kulakukan, aku tahu alasannya. Tapi aku tidak akan kalah."

"Sarah!" Aisha berusaha menyadarkan Sarah pada ucapannya. "Aku akan panggil Abahku."

"Jangan, Sha. Di sini saja menemaniku."

Sarah masih termenung di dekat jendela kamar, tatapannya tak pernah lepas dari dedaunan pohon rindang di taman, sesekali menari-nari menumpahkan buliran air yang telah bermalam di atas alas daun terhampar luas bak permadani terbang itu, tertiup angin pagi.

Terjangan rasa takut dansyok hampir saja menguasai Sarah tadi malam. Ingatan masa lalunya yang diaanggap kelam terus menghantui dalam isi kepalanya, berusaha merebut kendalipikirannya yang mulai kacau. Karena dorongan dan dukungan dari orang-orang disekitarnya, hal itu tidak membuatnya kalah dalam peperangan batin itu. Diasudah mantap dengan jalur yang dipilihnya sekarang. (RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang