Tiga

77 6 0
                                    

Hampir setengah jam lamanya Sarah dan Aisha menunggu mobil yang mereka pesan melalui aplikasi pemesanan. Mereka telah berencana akan melanjutkan obrolan tentang Palestina di rumah Aisha. Biasanya, rumah Aisha saat waktu siang menjelang sore hari belum terlalu ramai, sebab kedua orangtuanya pulang menjelang maghrib.

Ayah Aisha menjadi pembina utama di salah satu pesantren tradisional dekat rumahnya yang didirikan oleh sang kakek sejak zaman penjajahan berlangsung. Ibunya menjadi guru les privat yang mengajarkan cara membaca Al-Quran yang baik dan benar, serta doa-doa pendek harian di kampungnya.

Sementara kakak satu-satunya, Azis Ibadurrahman, adalah seorang jurnalis di salah satu media massa berbasis Islam di Jakarta. Usianya hanya terpaut tiga tahun dari Sarah dan Aisha, atau tepat satu tingkatan di bawah Aurel.

Kebetulan pada hari itu, Azis sedang pulang kampung untuk menyelesaikan suatu urusan. Aisha sebelumnya sudah menceritakan tentang rencana kedatangan sahabatnya, untuk bertemu dengan Azis. Aisha bilang, kakaknya sedang meneliti tentang kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina.

"Ada surprise untukmu, Sar," Aisha menarik tangan Sarah masuk ke dalam mobil yang tadi dipesannya.

"Jangan tarik-tarik dong, Sha."

"Sudah, ikut saja. Kamu pasti suka," Aisha berjanji bahwa apa yang akan diperlihatkannya adalah sesuatu yang sangat dicari Sarah selama ini.

"Bukan tentang cowok, kan?"

"Lihat saja nanti. Pokoknya kamu bakalan suka."

Mobil Avanza warna biru agak kehitaman berjalan pelan menerobos kerumunan mahasiswa-mahasiswa yang juga sedang menunggu jemputan. Satu-dua kali suara klakson dibunyikan. Beberapa di antaranya asyik membaca buku di halte-halte atau tempat duduk yang telah disediakan di trotoar yang cukup luas itu. Suasana kota Jogja memang tidak seramai Jakarta, namun nuansa yang diberikannya membuat orang jatuh hati.

Setelah mobil yang ditumpangi Sarah dan Aisha keluar dari kerumanan orang, kecepatannya sedikit bertambah, melewati jalur-jalur utama, hingga akhirnya sampai pada salah satu gang masuk ke rumah Aisha. Jaraknya tidak dekat, juga tidak terlalu jauh. Jika berjalan kaki, butuh waktu hingga setengah jam untuk mencapai lokasi.

Sarah berulang kali bertanya tentang alasan Aisha pindah ke kampus yang sama dengannya. Jawabannya selalu saja tunggu saat sampai di rumah, dan berjanji akan menceritakan semuanya kepada Sarah. Tak sampai sepuluh menit, mobil sampai di halaman depan rumah Aisha yang cukup luas dijadikan tempat parkir kendaraan roda empat.

"Sepertinya ada orang di dalam rumahmu? Apakah mungkin mamahmu pulang lebih cepat, Sha?"

"Bukan. Tapi sedang ada tamu spesial dari kota. Kamu sudah mengenalnya, kok."

Aisha tersenyum simpul sambil meletakkan sepatu sport putih dengan garis warna pink di rak sepatu yang ada di sisi kanan pintu masuk.

"Siapa?"

Sarah penasaran, menoleh kanan-kiri memerhatikan sekeliling rumah Aisha yang sudah cukup lama tidak dikunjunginya. Dia belum melepaskan sepatunya, masih celingukan di luar rumah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," balas suara lelaki dari dalam rumah dengan suara ramah.

"Bang Azis, ini temanku yang kemarin malam kuceritakan lewat sambungan telepon itu."

Azis Ibadurrahman, kakak kandung Aisha, sedang duduk di kursi seraya memegang beberapa tumpuk koran, sedang mencari-cari sesuatu. Sepertinya dia sedang mengecek berita-berita tentang Palestina di koran-koran tersebut.

"Bang Azis?" tanya Sarah bingung sekaligus kaget, nadanya agak tinggi namun sedikit ditahan. "Bukannya kakakmu sedang di kota?"

"Masuk, Sar."

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang