Dua Belas

12 1 0
                                    

Hampir dua jam lamanya Sarah pingsan. Tubuh mungilnya kini sedang tergeletak di atas ranjang Aisha. Sementara di sampingnya, Aisha tidak hentinya menangis sesenggukan, memijit-mijit pelan kaki dan tangan Sarah, dan memberinya minyak kayu putih, berharap dia segera sadar.

"Di mana aku?" Mata Sarah yang lebar mulai terbuka perlahan, berkeliling melihat suasana sekitar, tanpa mengingat kejadian yang membuat dirinya sampai di kamar Aisha.

"Sar, kamu sudah bangun?" Aisha memeluk tubuh Sarah yang masih lemas, belum bisa bergerak banyak. "Alhamdulilah, terima kasih Ya Allah. Aku sangat mengkhawatirkanmu, Aku sangat takut kehilangan sahabat sepertimu."

Di luar, Aurel yang sebelumnya telah dikabari Aisha tentang musibah tersebut, datang dengan agak terburu-buru, meninggalkan tempat magangnya lebih cepat dari jam biasanya, mengkhawatirkan kondisi adik semata wayangnya.

Selepas isya, petir bergemuruh dalam pekatnya malam di luar angkasa, mengancam akan meledak. Tetes-tetes hujan menimpa atap genteng rumah itu, tapi suara gemercik air yang bertumbrukan dengan atap rumah, tetap terdengar meski samar-samar, hingga air hujan terus berdatangan dalam curahan yang stabil.

Beberapa pembangkit listrik menyala di tengah kegelapan, mendenyutkan biru petir dan hijau neon ke dalam kawat-kawat penghantar listrik berbentuk jaring laba-laba di udara. Sebuah kendaraan pribadi melintas pelan melewati jalan kecil menuju kawasan Pesantren Al-Falah, tanpa menghiraukan serbuan air yang turun dari langit.

Pintu terbuka perlahan bersamaan dengan munculnya sosok Aurel. Perempuan berparas ayu itu mengucapkan salam sebelum melangkah masuk ke dalam. Sebelum bertemu adiknya, Aurel sedikit nostalgia bersama kedua orangtua Aisha, yang dia anggap sudah seperti orangtua keduanya, sama seperti Sarah menganggap mereka demikian.

Aurel bertanya tentang keadaan adiknya. Dia dikabari bahwa Sarah pingsan saat masih pada jam kantor, yang membuat Aurel begitu panik, sampai dia memutuskan pulang lebih cepat. Dia benar-benar khawatir dan ingin tahu keadaan Sarah. Jika Aurel tidak mendapati apa yang dicarinya, dia pasti tidak akan pulang ke rumah sampai benar-benar mengetahui bahwa Sarah baik-baik saja.

Keadaan Sarah membuat Aurel sedikit syok, tentu saja. Padahal, tadi siang dia bersama Sarah masih bercanda ria di kamar pribadi adiknya itu, berdiskusi tentang keinginannya menjadi seorang jurnalis yang telah mendapat restu dari ibunya, sebelum dia beranjak pergi ke tempat magangnya. Masih terasa jelas percakapan beberapa jam lalu di benak Aurel.

Saat Aurel telah berada di samping Sarah, dia tersenyum setelah melihatnya baik-baik saja. Tangannya menggenggam erat tangan adiknya yang dingin itu, dan berbisik di samping telinganya bahwa dia akan selalu menjaga adiknya.

"Aku akan menjagamu, setidaknya tak akan membuatmu mengeluarkan air mata, dan tak akan membiarkan siapa pun melakukannya," kata Aurel berbisik sampai dirinya pun tidak bisa mendengar ucapannya sendiri, dan semakin menggenggam erat tangan adiknya dengan kedua tangannya penuh kasih sayang.

Sarah tersenyum mendengar ucapan kakaknya.

Aurel tersadar bahwa di ruangan itu tidak hanya ada dirinya dan Sarah, tetapi masih ada Aisha. Dia mendekatinya untuk sekedar menanyakan penyebab Sarah pingsan. Aisha mengajaknya keluar kamar, tidak ingin Sarah tahu kejadian sebelum dirinya terjatuh bebas setelah menutup pintu mobilnya sore tadi.

Aurel mengikutinya di belakang.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi, Sarah berteriak 'pergi' sambil berjalan lunglai, sebelum akhirnya terjerembab," Aisha menjelaskan apa yang dia lihat sebelumnya. "Sepertinya Sarah dalam tekanan yang hebat."

Aurel tidak berkata apa-apa. Dia hendak kembali masuk ke dalam kamar, namun tangannya sudah ditahan sebelum sampai mendekat ke pintu, sehingga dia menghentikan langkah kakinya, juga niatnya.

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang