Dua Puluh Dua

11 0 0
                                    

Sarah memeriksa jam tangannya: hampir pukul 09:00. Empat puluh lima menit lagi akan ada jam kuliah pertama di hari itu, hari penuh kesibukan, tetapi tidak dengan kakaknya, Aurel, yang saat itu tidak ada kesibukan apa pun kecuali jadwal yang telah dia buat sendiri.

Jarak waktu yang harus Sarah tempuh dari rumah menuju kampusnya sekitar dua puluh menitan dengan menggunakan kendaraan. Masih ada cukup waktu baginya untuk menyiapkan kelengkapan yang mesti dia bawa.

"Jadi—hari kemarin hari yang hebat, bukan?" Sarah bertanya pada Aurel dan ibunya. "Banyak hal menarik yang kita pelajari."

"Ya, menarik adalah kata yang tepat menggambarkannya," Aurel mendorong kaca mata di batang hidungnya ke atas. "Banyak pelajaran yang kita terima. Dan, seharusnya kita masih terus belajar tentang itu. Sebagai rasa terima kasihku karena sudah diizinkan ikut, aku akan mengajakmu ke tempat—"

"Aku berangkat kuliah dulu, ya. See you."

"Ya," Aurel menganggukan kepala. "Padahal aku belum selesai mengatakannya."

Sarah pergi ke kampus tidak pernah menggunakan mobilnya. Baginya, ke kampus lebih asyik menggunakan kendaraan umum, atau taxi online. Tak sampai sepuluh menit, Sarah sudah berada di jalan utama Jogja menggunakan taxi yang dia pesan sebelumnya.

Beberapa saat kemudian, ponsel Sarah yang berada dalam persebunyiaannya di dalam tas kecil ditemani beberapa perlengkapan lain, tiba-tiba berbunyi memecah keheningan. Sarah yakin, pesan yang baru saja masuk adalah dari Aisha yang secara rutin menanyakan keberadaannya. Atau minimalnya, menanyakan sudah sampai mana.

Assalamualaikum, Sar. Kamu sudah lihat grup angkatan kita? Kalau belum, coba buka, dan lagi ramai juga.

Sarah sudah menduga itu pesan dari Aisha. Tapi isinya sepertinya sesuatu yang serius. Apalagi Aisha tidak mungkin sampai memastikannya kepada Sarah.

Banyak sekali WAG—WhatsApp Grup—yang diikuti oleh Sarah, namun kebanyakan adalah WAG kajian serta ODOJ (One Day One Juz). Lalu, Sarah menggulirkan jari jempolnya mencari-cari WAG angkatannya. Dia sangat penasaran setelah membaca pesan dari Aisha.

"Mereka bahas tentang Palestina. Tumben banget," pikir Sarah saat membaca satu per satu pesan baru dari WAG tersebut, namun dia belum mengerti asal muasal pembahasan itu.

Sarah melewati berpuluh-puluh pesan itu. Bahkan, dari mahasiswa yang jarang aktif di WAG pun ikut berkomentar, membuat Sarah semakin penasaran siapa yang telah sukses membuat grup angkatan itu menjadi ramai, dan yang membuatnya terkejut adalah topik tentang Palestina.

Sarah kembali dibuat terkejut saat dia menemukan pangkal pembahasan Palestina di grup angkatan pagi itu. Adalah David Sinaga yang menjadi aktor antagonisnya. Lelaki itu masih belum kapok setelah beberapa waktu lalh kena skak mat dari Sarah.

"Aku menantang mahasiswa-mahasiswi pendukung Palestina di angkatan ini untuk berdebat terbuka," tulis pesan David yang dibumbui sebuah gambar dengan latar belakang salah satu majalah dinding yang ada di kampus. Gambar tersebut juga berisi tantangan serupa.

Sarah menandai pesan tersebut, lalu membalasnya di grup angkatan. "Oke, aku terima tantanganmu."

Grup angkatan menjadi riuh, tidak seperti biasanya yang ramai saat ada tugas saja. Sarah sangat geram, tentu saja bukan hanya karena David adalah seorang keturunan Yahudi saja. Sebetulnya itu tidak menjadi masalah jika dia tidak mengusiknya dan menghormati pendapatnya.

"Kamu sudah gila, Sar? Meladeni orang seperti dia?" pop up pesan dari Aisha muncul di beranda ponselnya. "Terakhir kali kalian berdebat, kalian hampir membuat keributan di kampus. Mending batalin saja, Sar."

Sarah tidak membalas pesan itu. Lengannya dia letakkan di atas batasan antara pintu mobil dan kaca jendela, lalu telapak tangannya menjadi tumpuan dagunya. Sarah memandang ke luar mobil selagi kendaraan itu bergerak santai di tengah kerumunan kota.

Kendaraan yang ditumpanginya sampai kampus, sepuluh menit sebelum kelas mata kuliah dimulai. Dia melangkah cepat ke arah salah satu majalah dinding yang difoto oleh David. Sarah tahu tempatnya, tepat di depan kelasnya. Sepertinya David memang sengaja menempelnya di tempat itu supaya Sarah langsung bisa menemukannya.

Jangan lakukan, pinta Aisha, yang berjalan selangkah di belakang Sarah, seperti yang sudah sering dia lakukan. Tidak usah penuhi tantangan debat itu, Sar. Kamu malah akan rugi dan tidak ada keuntungannya sama sekali buatmu.

Kamu hanya akan diarahkan pada cerita-cerita konyol mereka, Sar.

Kamu hanya akan dicari kelemahan. Mereka tidak mencari kebenaran.

Sarah menghentikan langkah kakinya, menoleh ke samping.Dia mengamati raut wajah Aisha yang nampak khawatir. Sarah memahami perasaanAisha, namun tantangan itu tidak bisa dengan mudah Sarah tolak begitu saja. (RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang